Minggu, 25 Desember 2011

21 Desember 2011

Bandung mulai mendung ketika saya terburu-buru mengangkut maket ke kampus. Sudah hampir jam 1 siang dan semuanya belum selesai. Sya mulai kesal sendiri, kesal pada diri sendiri. Kenapa..kenapa semua berjalan begitu lambat!

Sejak Senin sore ibu akhirnya datang. Ke Bandung, ke kosan. Ya, beliau dtang, setelah rengekan saya yang seperti anak TK minta dikunjungi menjelang libur. Padahal akhirnya saya juga ikut pulang, saya muak melihat kamar saya sendiri setelah smua hal tentang studio terjadi, hahahaha..

Dengan kamar yang penuh dengan barang-barang ce.ri.ta dicampur karton, komatex, dan berbagai perlengkapan perang lainnya, resmilah kamar saya berantakan seperti kapal pecah. Saya sempat sedikit membereskannya sebelum mas Iin menelepon mengabarkan mereka sudah sampai Bandung.

Yha..waktu berjalan, senin sore-senin malam- saya hanya menemani ibu tidur di kosan karena juga tepar karena kemaren cuma tidur dua jam. 
Selasa--
sejak melek habis subuh saya kembvali nongkrong di depan leptop, merevisi beberapa lokasi bangunan dan meletakkan komponen. Membuat laporan tertulis sekaligus menambah slide presentasi. Super multitasking, dan semuanya berkahir ketikatipa-tipa layar gelap dan semua belum di save. Ngacirlah saya ke kamar mandi dan tergesa desa mandi. Saya berjanji mengantarkan ibu jalan-jalan..tapi saya juga punya janji mengerjakan studio..yasudahlah...cabut ke pasar baru!
Belanja--belanja--belanjaa--blenjii..hal ini menjadi kegiatan favorit ketika ibu nyamper ke Bandung!
kami berdua sama-sama lupa waktu, padahal saya berjanji mengantar ibu ke rumah kakak juga selepas ini, dan saya juga masih penya janji mengerjakan studio, oh Nooo..akhirnya saya membiarkan ibu dijemput kakak sedangkan saya kembali berkutat dengan alteco.

Rabu--
Hari terakhir ibu di Bandung. Semuanya di luar dugaan, tugas-tugas belum juga selesai, saya juga grusa-grusu pengen semua cepat selesai. Ada satu janji lagi dengan ibu.
Mendung semakin gelap ketika saya bergegas memutar balik motor dari arah parkiran. Jangan..jangan hujan dulu Ya Allah..tapi hujan punya tugasnya sendiri. Satu-satu, jalanan mulai basah, saat itulah perasaan saya campur aduk. Saya merasa kalah, saya merasa jahat, saya tak tahan lagi menahan tangis di perjalanan pulang. Anak macam pa saya, yang bahkan tidak punya waktu sehari saja untuk menemani ibu, benar-benar menemani ibu.

Ibu sontak kaget melihat saya menghambur ke kamar dengan menangis, ada apa? ada apa? tanya beliau.
Ibu menanyakan apa aku terjatuh? apa tugasku terlambat dikumpulkan? 

Tidak..tidak..bu..Saya terus menggelengkan kepala sambil terus menangis.
Saya menyesali waktu yang saya sia-siakan ketika ibu berada di sini. Berapa ratus kilometer ibu tempuh untuk mendatangi saya di sini. Berapa banyak urusan yang ibu korbankan untuk berangkat ke sini, hanya untuk dibirakan begitu saja. Bahkan ibu ikut tidak sarapan karena Saya baru ingat makan menjelang jam 2 siang. 

Ibu hanya tertawa ketika mendengar alasanku. Tidak apa-apa ujar beliau. Lanjutkan saja apa yang harus kamu kerjakan. Saya semakin merasa bersalah..sangat sangat bersalah. Drama berakhir, kami segera pergi makan..dan hujan kembali tidak mau berkompromi. Kami menembus hujan demi menepati janji ibu membelikan oleh-oleh untuk bapak yang belum terbeli kemarin. 

Sore, lepas adzan Ashar. Taksi yang ditelepon mengabari tidak ada armada. Ibu panik, saya tidak terlalu. Akhirnya kamim memutuskan untuk naik angkot. Bandung sore itu luar biasa macet, pergerakan angkot yang kami tumpangi lambat! ibu semakin panik, saya panik! saya sempat turun sebentar mencari taksi, tapi tidak ada juga..terpaksa kami bertahan di dalam angkot, terus berdoa agar tidak tertinggal kereta.

Sukses, kami datang 30 menit lebih awal. Ibu menarik napas lega, saya hanya bisa mngempaskan tubuh ke kursi, kembali merasa bersalah karena tidak mendengar perintah ibu untuk menelepon taksi dari pagi. Satu penyesalan lagi, di akhir hari.
Dan setelah sampai Madiun, ibu jatuh sakit selama dua hari karena kecapekan. Maaf ibu..atas segala yang terjadi minggu ini, percayalah, saya juga ingin mengajak ibu jalan-jalan. Bukan sekedar melihat saya merutuki tugas di kkosan..

Selamat hari ibu..aku sayang ibu..
*satu hal yang bahkan tidak terucap kamis kemarin,


Perspektif

Dua orang teman saya merekomendasikan buku ini. Kata mereka " sia-siap saja menangis Ko,". Oke, jawab saya bersemangat. Saya tidak pernah menolak tawaran untuk terhanyut dalam sebuah cerita meski harus berakhir dengan mata sembab. Itu adalah bagian dari pelarian sebentar saya dari hidup, haha..

Ini novel Mitch Albom kedua yang saya baca, Tuesdays with Morrie. Kisah pria tua yang hidupnya sedikit demi sedikit diambil oleh ALS, penyakit yang memberikan vonis mati padi Morrie. Dalam sisa hidupnya Morrie bersama Mitch mengadakan sebuah perkuliahan tentang hidup. Setiap hari selasa di rumah Morrie, Tuesdays with Morrie.

Morrie bukan seorang kristiani, bukan seorang Budha, sempat menjadi seorang Yahudi dan bukan seorang Muslim tentunya. Tapi Subhanallah, dalam perspektif saya sebagai muslim, cerita Morrie memberikan banyak inspirasi.
Lihat bagaimana Morrie mengikhlaskan sisa hidupnya. Ia mengikhlaskan setiap kehilangan yang Ia sadari setiap pagi hari, dan mampu kembali menjadikannya sebuah rasa syukur karena Ia masih memiliki yang tersisa. Jika saja Ia seorang muslim, betapa Ia akan menjadi seorang panutan atas kersabaran dan keikhlasan.
Lihat bagaimana Morrie menekuri daun-daun yang begesek ditiup angin dan menikmatinya sebagai sebuah harmoni alam. Andai saja Ia Muslim..pasti mulutnya akan selalu basah dengan pujian pada Allah.
Lihat bagaimana Morrie begitu sabar menerima kunjungan kerabat di tgengah kesakitannya, berbagi cerita dan tetap tersenyum menyambut Mitch. Betapa manis ukhkuwah itu jika dibingkai dalam iman Islam..
Allah mencontohkan banyak hal lewat Morrie. Refleksi kepasrahan seseorang yang mempersiapkan diri menjelang maut. Bukan caranya yang harus diteladani, tapi bagaimana sikap pikiran Morrie yang dengan besar hati menyusun rencana menjelang akhir keberadaannya. Kesiapan yang membuatnya dengan kesadaran penuh menanyakan "Apakah hari ini?"

Siapkah kita? sebagai seorang muslim yang mengimani bahwa ajal dapat menjemput kita kapanpun dan dimanapun. Siapkah kita mengakhiri perjalanan kita di bumi Allah ini dengan akhir yang baik?

Pelajaran tentang kematian adalah kehidupan itu sendiri.

Hidup adalah perjalanan menuju kematian. Bola ada di tangan kita, akhir kita adalah apa yang kita kerjakan hari ini. Lalu, sudah membawa apa kita jika kita akan pergi hari ini?
Semoga Allah selalu melindungi kita, menjadikan perbuatan-perbuatan kita amalan surga. Kita harus bersiap, selalu bersiap.



Rabu, 14 Desember 2011

Beruang Belum Juga Turun, Tapi Benarkah Harus Turun?


Hingar bingar teriakan orasi menggema di depan kampus. Aksi mahasiswa, dengan jumlah massa yang cukup besar. Langka? memang..mahasiswa ITB? bukan..bukan juga mereka.

Ini adalah "undangan", undangan bagi mahasiswa ITB untuk ikut turun ke jalan mengkritisi kasus Sondang yang dianggap telah menjadi pahlawan. Mahasiswa-mahasiswa ini tegak berdiri di bawah terik, berteriak lantang menghakimi 'kami' mahasiswa ITB yang dirasa enggan turun ke jalan. Hmmm... sepertinya suatu ketepatan sekali, belum genap satu bulan lalu saya eneg membahas pergerakan mahasiswa di Boulevard.

Kemahasiswaan. Mahasiswa. Mahasiswa ITB. Terkadang memang sebuah ironi ketika kami ini tidak mau ikut berteriak. Meneriakkan apa dulu? inilah yang perlu dikaji dan direnungi kembali. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Bandung berkumpul mendatangi kampus di tengah hari. Meneriakkan orasi orasi tajam tentang kebangsaan, persatuan, kesadaran dan banyak lagi. Urat-urat tertarik, peluh-peluh menetes, almamater-almamater yang lembab akibat keringat yang bercampur debu, dan tatapan-tatapan yang entah ingin mengatakan apa.

Tuntutannya satu. Mereka menuntut ITB turut serta dalam konsolidasi mahasiswa Bandung untuk mendemo pemerintah terkait aksi bunuh diri Sondang. Mahasiswa yang telah dianggap pahlawan karena kenekatannya membakar diri di depan istana negara. Nekat? ya, kata saya itu nekat. Tapi apa urusan kita?

ITB kini tidak lagi menjadi garda depan pergerakan mahasiswa tanah air seperti pada 1998 silam. Kalimat itu selintas terdengar di sela-sela suara yang timbul tenggelam dari megaphone. ITB tidak lagi...
Memang, jika dibandingkan dengan pergerakan di masa lalu kemahasiswaan yang sekarang terkesan lebih ayem. Tapi untuk kasus yang satu ini saya setuju dengan sikap diam 'kami'.

Sebuah cerita yang bahkan tidak meninggalkan selarik jejak untuk apa Sondang mati. Hanya Tuhan mungkin yang tahu, semulia apa tujuannya demi Indonesia. Tidak harus kita menyikapi semuanya dengan turun ke jalan. Tidakkah kalian berpikir dan bertanya pada nurani kalian? yang mneyebut dirinya mahasiswa... demi apa kalian berteriak dan berbuat yang justru tidak seperti mahasiswa? mengacungkan jari tengah ketika tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan. Mahasiswa macam apa yang tidak memiliki etika dalam berperilaku kebangsaan? dimana nilai sembilan kalian ketika dulu menjawab soal kewarganegaraan tentang arti 'toleransi' 'tenggang rasa' saling menghargai'?

Yang didemo juga jangan sok ekslusif. Sok sibuk mentang-mentang lagi UAS. Miris juga mendengar bisik-bisik "yaelah kita mah mending uas daripada mikir beginian,"
Bagaimanapun kita mahasiswa. Maha di depan siswa, berat sekali menyandangnya. Kita dalah tumpuan rakyat, yang salah-salah nanti jadi penindas rakyat. Kita sekolah dengan uang rakyat, yang salah-salah tak pernah sadar dari mana asalnya. Membuka mata, tugas kita, bergerak dengan tindakan nyata kewajiban nyata. UAS bukan pembenaran, akademis bukan persoalan. Bukan masalah demo nggak demo nya, tapi apa alasan dibaliknya. Toh, semua tergantung niatnya..niat apatis mah beda lagi. 
Ya Allah nak..hidup bukan sebatas tulisan di atas kertas. Dan hidup juga bukan semata mata teriakan di jalanan. Kita jadikan hal ini sebagai sarana untuk mengkoreksi diri.

Tanyakan kembali, untuk apa kalian berteriak. Demi Sondang atau demi harga diri kalian? Demi mahasiswa atau demi genngsi kalian? Jika yang bakar diri bukan Sondang, jika Sondang bukan mahasiswa, apakah kalian akan menuntut hal yang sama? sesungguhnya demi siapa kalian berjuang? koreksi bagi kita semua lah ya...

Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater...

*Jangan lupa membersihkan sampah yang ditinggalkan, sebuah akhir yang sangat menarik bagi sebuah aksi demonstrasi.

Selasa, 13 Desember 2011

COPET KERETA

Sudah terang ketika saya melirik jendela setelah sepanjang solo hingga entah dimana ini saya terus tertidur. Cepat-cepat saya bertayamum dan solat subuh sebelum matahari terlebih dahulu muncul.

Saya mengedarkan pandangan ke depan, menuju bangku teman-teman saya dua baris di depan.
Sambil tersenyum simpul mereka berkomentar pendek 
" piko enak banget ya tidurnya,"
Saya hanya cengar-cengir dan mengiyakan. Memang semalam saya dapat jatah 2 kursi sekaligus, hehe, rejeki nomplok!

masih, seorang teman saya menimpali,
"ada copet juga gak nyadar lo ko, ihh..piko duduk sama copet!" yang ini juga masih gak ngerti juga saya maksudnya apa, lagi..saya hanya nyengir dan kembali tidur.

Saya kembali melek ketika kereta mendekati stasiun Kiara Condong, ebuset..saya tidur mulu..batin saya dalam hati, namun santai..itu kan esensinya berperjalalanan di malam hari. Cari posisi senyaman mungkin biar bisa tidur nyenyak, buktinya tak sedikit orang-orang yang memilih tidur di lantai dengan alas koran demi hari esok yang lebih baik, ahaha.

Masih..saya terus di ejekin gara-gara tidur di sebelah pencopet. 
Saya jadi mikir,  "Eh serius lo gue tidur di sebelah pencopet????" tanya saya panik.
Kadek, Dina, Tyo, Arya dan Lulut tertawa hampir bebarengan. Demi melihat muka saya yang semakin bingung Kadek akhirnya menjelaskan. Dan memang ada pencopet di sebelah sayaaa! uhwoow, muka saya menegang. Tangan saya sibuk mengubek-ubek tas mencari harta-harta yang tersisa. Kamera, ada. Dompet, ada. Handphone..handphone pinjeman..mana..manaaaaa?

Saya semakin panik, Dina terus-terusan meyakinkan saya untuk mencari lagi di dalam tas. Dina yakin, copetnya sama sekali gak menyentuh tas saya, dia yakin, semalaman memang dia tidak tidur sama sekali dan Alhamdulillah..ternyata ada, nyelip di bawah baju-baju! Legaaaa...gak lagi-lagi, saya sudah kehilangan handphone bulan lau, dan nyaris kehilangan handphone lagi kamis lalu (yang bahkan belum diambil sampai sekarang di orang yang nemuinnya), dan kalau handphone ini juga ilang???! Allah sayang sekali sama saya =____=

Kembali ke cerita copet. Memang, semalam saya sempat merasa dibangunkan oleh seorang mas-mas, dengan pipi sedikit chubby dan rambut pendek agak kriting. Saya yang merasa sebelah saya kosong ya spontan mikir "ini mas yang punya bangku kali ya," saya pun bangkit dan bergeser merapat ke jendela tanpa membuka mata lagi sampai pagi. Konon cerita teman-teman saya, semalam sempat heboh karena ada copet di kereta. Dan..dan..copetnya itu duduk pas sekali di sebelah saya yang dengan super gebleknya terus tidur sepanjang Solo-Bandung. Mas copet ini heroik sekali, di loncat dari kereta malam-malam buta, dan membuat seisi gerbong heboh.

Jadilah saya hanya terbengong-bengong mendengar cerita itu, copet kereta disebelah gue??
Aneh..memang aneh sih, kami berenam sama sekali tidak mendapat tempat duduk yang bersebelahan, tapi tempat duduk sebelah saya justru kosong dari Solo sampai Bandung, cuma sekali disambangi sama orang buat nitip tas yang ternyata hasil copetan =_________=, nggak ngerti lagi deh saya juga..yang penting, alhamdulillha..handphone pinjeman saya selamat wal afiat :)

Minggu, 04 Desember 2011

Bandung, Minggu Pagi

Bandung di Minggu pagi jujur saja, jarang sekali bisa saya nikmati. Kali ini saya memilih "turun ke jalan" dengan sweater gombrong dan training parasit biru sragam TPB serta sebuah sepatu pinjaman. Inilah hari minggu pagi,

Ditemani dua teman sekosan yang terpaksa bangun pagi karena ajakan random saya yang terdengar sangat menggiurkan :
"Besok lari pagi yuk! trus makan odading di Simpang," 
Dan terjebaklah mereka dengan ajakan "makan odading", hehehe.. 

Kami bertiga berangkat menyusuri jalanan Kebon Bibit. Tujuan pertama: Kampus. Lari pagi keliling kampus dengan seragam olahraga, eksis sekali kami hari ini. Tapi intinya bukan di lari pagi, bukan di kampusnya. Lalu apa? jangan penasaran..sebentar lagi saya akan bercerita tentang jalanan Dago di hari Minggu.

Dago, Minggu pagi.
Setiap hari Minggu jalan Dago ditutup hingga pukul 10.00, ada 'car free day' ceunah, artinya pejalan kaki, pengendara sepeda, in-line skater, hingga beneran para skater bebas berlalu lalang. Hari ini tidak terlalu ramai, kami menyusuri jalanan dengan berjalan pelan dan sesekali menghindari pengguna sepeda. Tampak beberapa kerumunan di beberapa titik. Sayup suara karinding terdengar dari jauh, inilah yang membuat kami berhenti, Karinding.

Karinding. Saya pun tidak familiar dengan kata ini. Kami mengangsur langkah ke depan sebuah pertunjukan dimana ada seorang lelaki setengah baya sedang seperti memainkan peran dengan serius. Setelah mendekat sepertinya Ia mengucapkan kata-kata perenungan, sepertinya juga doa. Yang jelas saya mendengar "Gusti Allah" dan "Sang Hyang Widi Wasa" di sebut sebut dalam bahasa sunda halus yang tentu saja tidak saya mengerti, mungkin hanya sepotong dua potong yang  bisa saya artikan. Namun menariknya, atmosfer yang terbangun di sekitar tempat pertunjukan mampu membuat para penonton terpekur di tengah keramaian. Mimik serius, alunan karinding yang dibawakan sekelompok anak-anak yang sepertinya masih di bangku SD dan SMP itu membuat banyak orang merapat menyaksikan pertunjukan. Yang subhanallah sekali, ada adek kecil sekitar 4 atau 5 tahun yang dengan cekatan memainkan Karinding meskipun dengan sesekali menoleh ke kanan kiri. 

Melihat pertunjukan ini, saya berpikir, 
Betapa kentalnya Islam dulu dengan adat istiadat kehidupan masyarakat. 
Tidak hanya di tanah kelahiran saya, tapi juga di tatar Sunda. Sayangnya seringkali masyarakat salah kaprah mencampur adukkan adat kesukuan dengan Islam, kalau tidak berhati-hati salah-salah bukan kehidupan agamis, tapi animisme dan dinamisme yang tumbuh subur. 

Lalu apa sesungguhnya Karinding? untuk apa masyarakat Sunda masih memegang teguh sebuah budaya yang terlihat sederhana ini?

Karinding
Karinding adalah alat musik tradisonal yang terbuat dari pelepah aren dan bambu yang digolongkan sebagai permainan rakyat. Menurut legenda, Karinding sudah ada sejak 300 tahun yang lalu. Kemampuan mengolah nada dan mengolah pernafasan menjadi salah satu syarat untuk memainkan Karinding. Karinding sering dimainkan ketika sedang di sawah, bersahut-sahutan bahkan dari bukit ke bukit. Selain untuk mengusir hama kerena sifat suaranya yang low decible,  Karinding juga dipergunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Uniknya, terdapat sebuah kepercayaan terhadap sebuah lagu yang tidak boleh dimainkan ketika malam hari. Lagu Dengkleng dianggap tabu untuk dimainkan di malam hari karena konon bisa mendatangkan macan Siliwangi.

Sejarah munculnya Karinding tertulis dalam naskah Sunda tertua, Siksakandang Karsian. Sedangkan menurut Kamus Ensiklopedi Sunda adalah karena cinta. Kisah cinta Kalamanda yang mengejar Sekarwati membuat Kalamanda menciptakan Karinding untuk memikat hati Sekarwati. Kini Karinding belum juga dikenal luas oleh masyarakat Indonesia umumnya, padahal kini karinding telah diabadikan di sebuah museum di Jepang. 

Usaha yang harus dilakukan masyarakat Sunda dan masyarakat Indonesia sepertinya harus lebih banyak lagi. Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, dimana setiap ragam budaya menjadi kekayaan yang menjadikan negara ini ada. Berbagai kisah luhur dibalik artefak budaya yang sering dipandang sebelah mata harusnya tidak hanya menjadi sekedar cerita. Namun bagaimana sebuah nilai luhur dapat menjadi bagian dari kehidupan bangsa.

***
Rupanya hari ini kami belum beruntung. Tukang odading yang menjadi motivasi sejak semalam sedang tidak berjualan. Kata bapak-bapak tukang parkir memang beberapa hari kedepan pun bapak odading belum akan berjualan. Akhirnya kami berakhir dengan choco top dan jamu kunyit asem di halaman parkir Mc.D Simpang.

Random...
ulang kami berkali-kali menertawakan diri sendiri.

Minggu, 27 November 2011

Tahun Baru, Resolusi Baru!



Tahun ini sudah berakhir, kalender Masehi juga sudah hampir mencapai garis finish putarannya. Semester ganjil juga hampir pula berakhir. Saatnya mengevaluasi dan mempersiapkan rencana kedepannya..

Hampir setiap tahun saya ingin sekali membuat resolusi. Sepertinya sudah berkali-kali juga saya mencoba membuat daftar target-target saya selama satu tahun tersebut tidak 'menghilang' entah kemana. Hmm..bahkan saya lupa, awal 2011 kemarin apakah saya membuat resolusi? sepertinya tidak. Tapi saya ingat sekali, saya sempat membuat daftar resolusi di awal semester 7, dan setelah dilihat lagi masih banyak juga yang bolong!

RESOLUSI: pentingkah? kalau Anda bertanya kepada saya, saya akan menjawab PENTING SEKALI!
dengan resolusi kehidupan kita akan semakin terarah, kita punya tujuan yang jelas sehingga segala aktivitas kita juga bisa terarah dengan jelas.

Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (di hadapan Allah) hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan; dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan”. [HR .at-Tirmidzi dari Abu Barzah r.a].


Hadist di atas mengingatkan saya untuk melakukan hal-hal yang terencana dengan baik. Karena apa? sesuatu yang  terencana pun akan sulit untuk dipertanggungjawabkan, apalagi yang tidak jelas juntrungannya? 


Resolusi membantu kita tetap berada di dalam jalur. Meskipun sering juga saya dibilang tidak fleksibel, hidup diatur jadwal..terkadang memang seperti repot sekali harus menepati ini-itu sesuai jadwal dan uring-uringan jika ada yang tertunda. Tapi bukankah begitu seharusnya? Amanah yang kita miliki jauh lebih banyak daripada waktu yang tersedia.


Meskipun terkadang stres dituntut memenuhi jadwal yang dibuat sendiri, tapi bukankah itu makna hidup? saya pribadi lebih merasa nyaman menuliskan apa saja yang harus dilakukan dalam satu hari. Jika sempat, di pagi hari saya akan menuliskan apa yang harus saya kerjakan, dan kembali mengevaluasinya ketika malam hari. Mana yang sudah dikerjakan, mana yang terlewatkan. Dengan begitu saya merasa telah melakukan 'sesuatu' hari ini.


Berbeda sekali jika sedang drop semangatnya. Bangun tidur telat, tidak mempersiapkan apa saja yang dilakukan dalam satu hari, hasilnya akan kacau balau. Saya akan bergerak lambat, ada banyak yang terlupakan dan waktu yang terbuang sia-sia. Oleh karena itu, saya lebih nyaman untuk menuliskan segala hal, paling tidak untuk meyakinkan diri saya sendiri : Saya telah menggunakan waktu dengan baik hari inYak! kembali ke resolusi! tahun baru telah tiba. Siapkan yang terbaik untuk menjelang setahun ke depan. Harus ada yang di check list di akhir tahun. Dengan resolusi, semoga kita bisa mengevaluasi diri kita, maju atau mundurkah kita?

Jumat, 25 November 2011

Berubah Lagi

Sebagai pembuka silahkan Klik di sini terlebih dahulu tentang Rancang Bangun Ruang Terbuka hijau di jalan Tamansari. Scroll ke bawah untuk melihat postingan yang dibuka denngan dua buah foto spanduk di Taman Sari.

(Kamis, 24/11/11)
Whups..saya setengah berlari menuju pintu ketika handphone saya menunjukkan pukul 09.15 menit, telat lagi! Bergegas saya membuka pintu sambil mengecek sms yang barusan masuk. 
Cepetan berangkat, angkot ga boleh lewat loh,

Ehh?! aneh, emang ada apa? balas saya

Liat aja sendiri, ada penggusuran fotokopian,

Deggg..hari ini ya? hari ini datang juga akhirnya..

Saya sontak setengah berlari menyusuri Kebon Bibit dan menuju kampus. Benar saja, semua kendaraan dialihkan dari depan Plesiran menuju Badak Singa. Taman sari atas dijaga polisi. Saya memepercepat langkah dan melihat kerumunan polisi, satpol PP dan tentunya warga. 

Benar saja, bangunan-bangunan di sepanjang Tamansari di depan pertigaan kosan lam saya satu persatu tengah dihancurkan. Astaga... saya merutuk dalam hati. 

Saya menembus kerumunan, terpana dan membelalak melihat pemandangan tersebut. Deretan fotokopian yang kemarin masih berdiri berderet dengan tumpukan kertas dan komputer berjejer jejer itu kini TIDAK ADA LAGI. Kerumunan ini bukan kerumunan mahasiswa-mahasiswa bermuka cemas takut terlambat karena terlalu lema mengantri. Tapi lihat saja, kerumunan pertugas berseragam yang mungkin hanya menjalankan tugasnya. Saya berjalan mundur hingga lewat sedikit di ujung Gelap nyawang sebelum berbalik dan mempercepat langkah. Saya sedih..tapi saya terlambat kuliah.

Lagi-lagi gtidak ada yang bisa saya lakukan. Saya merutuk dalam hati. Sms-sms himbauan untuk membantu pembersihan terus berdatangan dan saya hanya bisa memforwardnya ulang. Semoga rama memposting info tersebut di twitter, dan menggerakkan hati teman-teman lain.

Sore, ketika saya kembali berjalan melintasi Taman Sari, seluruh bangunan sudah hampir rata dengan tanah. Berdua dengan Fifa, saya menyusuri sepanjang jalan dan masih dengan pandangan tidak percaya saya menatp puinng-puing Tirta Anugrah, Dua Saudara, Ganesha Stationery, dan fotokopian-fotokopian yang selam ini sudah sangat akrab dengan laporan-laporan, UTS, UAS, bahkan Pra TA saya. 

Fotokopian di depan Taman Hewan

Rangka besi Tirta Anugrah 

Semuanya TIDAK ADA LAGI..

Dalam perbincangan singkat dengan Fifa kami mengingat kembali apa saja yang telah hilang dalam 3 tahun terakhir..
1.burung-burung di jalan Ganesha yang kini entah kemana. Dulu, sewaktu saya tingkat satu, melintasi jalan Ganesha adalah setengah mimpi buruk di siang hari. Bau, bau, dan bau. Kotoran Kuda, kotoran burung..tumplek blek memenuhi jalan. Dan sekarang? kemana semua burung itu pergi? tidak ada yang tahu..adakah yang salah dengan kondisi lingkungan?

2. Pasar Balubur. Beruntunglah dulu Balubur begitu dekat meskipun masih jauh juga rasanya jika dari gedung TPB FSRD yang letaknya hampir sampai gerbang belakang. Kini pasar di ujung jalan itu telah dipindahkan di depan rektorat, menjadi BALTOS_Balubur Town Square, apa banget lah itu..macet dan nyampah, sampai sekarang saya belum bisa menemukan seluruh kios lengganan selam di bawah. Sedang lahan lamanya konon akan dibangung sebagai lahan parkiran.

3. Fotokopian, yak..fotokopian yang diceritakan di atas. Kini, hanya tinggal cerita. Wacana pembangunan RTH di jalanan Taman Sari mengharuskan penggusuran lapak-lapak kecil tersebut. 
"Kenapa bisa begitu saja diancurin sih?" tanya Zen sewaktu mengantar saya pulang sore kemarin,
"Udah ada rencana sih emang, sempat rame juga" jawab saya
"Tapi apa mereka gak mikir gimana dampaknya? yang fotokopi kecil gitu, karyawannya mau dikemanain?
Dan saya terdiam, sejujurnya saya juga tidak tahu, hanya bisa menitipkan doa 
Semoga mereka mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.

Dan yah..banyak hal telah berubah. Padahal hanya 3 dalam tiga tahun saja, saya yang hanya 'numpang lewat' saja merasa kehilangan, apalagi masyarakat yang mengahbiskan sepanjang umurnya di sini. Entah, apa yang mereka rasakan.

Pak Walikota, semoga apapun yang Anda putuskan untuk Bandung tidak pernah salah. Semoga RTH ini benar-benar menjadi RTH, Babakan Siliwangi pun sama..jangan nekat menjadikannya mall atau restoran. Apapun yang Anda putuskan bagi masyarakat, semoga membuat semua orang bahagia, meskipun semua orang pun akan tetap merasakan kehilangan. Ada hal-hal yang tidak akan bisa tergantikan...

Jumat, 18 November 2011

Bukan tentang artis Taiwan

Rencana berweekend bahagia di tahun terakhir belum juga terlaksana. Justru banyak yang terjadi di bulan-bulan ini. Hati saya pecah berkali-kali dan harus berusaha menatanya kembali berkali-kali pula. Sering sekali merasa terhimpit, tapi dari situlah saya belajar mensyukuri setiap detail yang terjadi. Susah, senang, gelisah, takut, hanya fragmen kecil adti rangkaian momentum yang entah akan berujung di mana. Saya mencoba untuk tetap tegak menghadang badai yang mungkin ternyata hanya semilir angin...

Allah memeberikan saya kesempatan-kesempatan yang sangat istimewa beberapa waktu terakhir. Banyak sekali yang terjadi yang bahkan tidak bisa saya urai lagi satu-persatu. Hati saya semakin kompleks, mengalami komplikasi. Tapi sepertinya saya bahagia, saya ikhlas, dan yang paling penting saya belajar nrimo, satu hal yang dari dulu sulit saya lakukan.

Saya seriiing sekali merasa sendiri. Menjadi single fighter di tengah keributan dan lalu lalang yang jarang dipedulikan orang. Berat rasanya, tapi dari sana Allah membuat saya mampu memaknai sebuah hikmah. Memahami hal yang juga berat untuk dimengerti.

Saya sering merutuk mengharap waktu luang, lupa bahwa masih banyak yang lebih sibuk memikirkan umat. Bukan memikirkan "Kapan saya bisa menamatkan Black and White yang tokoh utamanya mas Vic Zhou yang super ganteng ini?" dan "Kapan saya bisa tenang membaca novel Mitch Albom yang spoilernya super bagus itu?". Ironis memang, tapi begitulah adanya.

"Tidak semua orang diberikan kesempatan melakukan semua hal yang kamu lakukan , nak"
yang ini pesan dari bapak saya ketika beliau berulang tahun, saya bukannya mendoakan malah nitip didoakan. Saya kembali merenung, dan memang benar..akan sangat sayang sekali jika semua hal yang harus saya lakukan ini berakhir sia-sia hanya karena saya memilih mas-mas ganteng di film Taiwan. Ya Allah, kuatkan hamba, berikanlah hamba kekuatan untuk mengimani setiap sabdaMu. Bersama kesulitan, terdapat kemudahan...

Sabtu, 05 November 2011

Malam Minggu Lagi, Ditemani Takbir

Saya lagi-lagi masih terpaku di depan laptop menyelesaikan editing beberapa tulisan. Suara Takbir memenuhi udara kamar saya yang masih terasa sangat dingin. Bandung gerimis sejak siang, meninggalkan basah, mengunci saya di dalam kosan. Saya sih..senang-senang saja. Hujan itu barakah.......

Besok Idul Adha. Lagi.
Berarti ini yang keempat kalinya saya menjelang Hari Raya di Bandung. Awalnya besok saya mau sowan ke rumah kakak, tapi sepertinya batal. Beliau ada acara, saya sih..santai saja. Toh, masih banyak pula yang harus saya kerjakan.

Suara takbir ini bukan hanya terdengar sayup-sayup. Tapi lantang, lantang terdengar entah dari mana saja..Yang jelas, ramai. Malam yang biasanya sunyi senyap kini dipenuhi seruan asma Allah, menentramkan. Syang sekali sejak tadi saya tidak berkesempatan menyimaknya dengan khusyuk. Saya diburu waktu, klise bukan? tapi benar, jika boleh memilih saya pasti akan memilih duduk terpekur menyimak takbir. Meskipun takbir selalu membuat saya rindu kampung halaman.

Saya ini anak desa. Lahir dan besar di sebuah desa di kota kecil, dimana surau-surau selalu hidup ketika malam hari raya. Dimana subuh masih menyuarakan kokok ayam di sela adzan. Ritme hidup teratur, tenang tanpa ancaman. Yah..jadi terkenang-kenag masa lalu. 

Dulu saya selalu bangun pagi-pagi ketika hari raya. Cepat-cepat mandi karena tak sabar memakai baju baru. Setelah siap, saya langsung melesat ke rumah tetangga, menunggu untuk berangkat bersama. Ramai-ramai saya dan teman-teman kecil saya akan berjalan menuju masjid, merencanakan hari ini mau kemana. Libur, itulah salah satu berkah hari raya yang selalau saya tunggu. 

Haa..jadi ingat mereka. Teman-teman sepermainan saya sewaktu masih kecil. Sudah lama sekali sepertinya tidak salaing menyapa. Bahkan saya tidak tahu di mana mereka sekarang. Kabarnya, banyak yang merantau juga seperti saya.

Teringat juga teman-teman seperjuangan di SMP dan SMA, dulu ketika Idul Qurban, seru sekali memotongi daging bersama. Anyir..tapi terkalahkan dengan wajah-wajah penuh harap yang tersenyum lega demi menerima kantong-kantong berisi daging. Allah punya cara-Nya sendiri untuk meratakan kebahagiaan dengan membagikan berkah.

Hhh..malam semakin dingin, hari ini saya cukup lelah menatap layar. Masih..masih ada suara takbirnya. Sepertinya mematikan lampu dan menikmati takbir di balik selimut merupakan ide yang cukup bagus. Malam ini malam minggu. Lagi. Dan tidak ada yang saya lakukan. Lagi.

Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar..ampunilah dosa-dosa hamba 2 tahun yang lalu dan dua tahun berikutnya. Semoga di tahun mendatang hamba telah mampu ikut berkurban, menunaikan ibadah demi mengharap Ridha-Mu.

Rasulullah ditanya: "Wahai Rasulullah, apakah Qurban itu?", Rasulullah menjawab : "Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim," Kemudian mereka kembali bertanya: "Apa keutamaan yang kami peroleh dengan qurban itu?" Rasulullah menjawab: "Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan," Mereka kembali bertanya: "Kalau bulu-bulunya?" Rasulullah kembali menjawab: "Setiap helai bulunya juga adalah satu kebaikan" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)




Minggu, 30 Oktober 2011

Berbincang

Mendung menggantung tinggal menunggu runtuh. Adzan berkumandang mengingatkan ashar telah tiba. Saya masih terpaku di depan layar mengetikkan beberapa baris kata hingga memutuskan beranjak sejenak...rehat dan kembali mengambil langkah. Sebentar..tunggu beberapa saat lagi, biarkan saya mengambil waktu untuk kembali berbincang dengan-Nya..

Ya Allah..beberapa bulan terakhir hamba tidak lagi menemui-Mu di penghujung malam. Kini begitu sulit hamba mengalahkan godaan untuk tetap terpejam ketika alarm berteriak nyaring di gendang telinga. Snooze, dan hamba kehilangan kesempatan, lagi.

Ya Allah, mungkin aku sama curangnya dengan para penjilat yang mendekati pejabat demi memuluskan kepentingan. Samakah denganku yang mendekat pada-Mu ketika gelisah membuat mataku sulit terpejam menanti esok hari? aku malu pada-Mu.

Ya Allah..bahkan aku lebih takut melangkah daripada seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Prasangka akan salah-benar, ketakutan akan omongan orang, harga diri yang berapa harga sesungguhnya? terkadang aku lupa, hanya nilai dari-Mu lah yang mutlak yang harus kuperjuangkan. 

Ya Allah, aku menciut ketika amanah besar menguji kekuatanku. Terkadang aku terpekur, terbungkam oleh kekhawatiran bagaimana aku mampu melakukannya? Sedang aku lupa, Engkau lah yang mengamanahkan kekuatan bersama setiap kekhawatiran.

Dan Engkau pula yang menggerakkan hati hamba. Mengingatkan melalui suka dan duka, menyelipkan semangat bersama teman seperjuangan, membisikkan doa bersama pagi. Dan kau memberikan malam sebagai kesempatan, sekali lagi..

Kamis, 27 Oktober 2011

Ini entri yang saya buat diluar kebiasaan saya menulis di akhir minggu. Hanya saja, saya takut melewatkan apa yang ingin saya tuliskan hari ini. Sesuatu hal yang selama ini jarang saya ingat, hingga seorang kakak menyebutkannya *lagi.

Di sebuah sesi curhat antar angkatan yang detailnya tidak bisa diceritakan. Hanya saja kami sedang serius sekali membahas "bagaimana nanti kedepannya".. yah..meskipun saya cukup lelah sore itu, saya masih mencoba berkonsentrasi. 
Ini cerita tentang ukhkuwah, yang sedihnya sebentar lagi akan terpisah jarak. Bukan, bukan berarti hitungan kilometer akan melunturkan ikatannya..hanya saja mungkin, tidak akan lagi bisa seperti ini. Ini tentang sisa waktu yang semakin sedikit, tidak pernah terpikir bahkan ini berkorelasi dengan tingkat empat. Saya masih terlalu sibuk dengan-entah-apa. 
Percakapan sore tadi membuka mata saya, tentang arti kontribusi, ukhkuwah, perjuangan dan sisa waktu yang ada. Inilah kesempatan yang hampir mencapai akhirnya. Sebuah kesempatan yang selama ini tidak termaksimalkan karena kelalaian. Sebuah kesempatan berharga yang nyaris menguap bersama tahun keempat.

"Nanti kita akhirnya akan saling berpisah satu sama lain, entah saya kemana, Erwan kemana dan Piko ke Jerman mungkin," saya mengamini doa ke Jerman keras-keras..

Tapi..sebenarnya ada sedikit rasa sedih yang terbersit. Mungkin kelak tidak akan bisa lagi berkumpul dalam forum seperti ini. Sekedar mengeluh dan meminta dinasehati, membagi rata kekhawatiran tentang satu sama lain, bertukar kabar dan saling menceritakan liburan di kampung masing-masing. Dan semuanya tinggal sebentar lagi Ya Allah... semoga sisa waktu yang ada ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. 

Ya..sebentar lagi. Tidak banyak yang tersisa dari sekarang, namun semoga Allah masih menguatkan langkah-langkah kami. Menghapuskan rasa lelah di hati-hati kami, dan menggantikannya dengan semangat dan harapan akan masa yang lebih baik. Ini bukan cerita pendek yang akan tamat dalam beberapa halaman, tapi semuanya merupakan sebuah proses panjang pembangunan peradaban. Dan mimpi-mimpi kami di sini adalah deretan batu pondasi yang berharap dapat terus menjulang ke atas menyangga sebuah bangunan yang kokoh. 

Dan semoga Tuhan akan mengabulkan setiap doa yang membumbung ke langit, mengukuhkan setiap mimpi yang terucap.

Sabtu, 15 Oktober 2011

#5 Me-Nyimpang

Sudah lama sekali saya tidak naik angkot. Apalagi menyusuri jalanan dago yang sering menguji level kesabaran. Tapi..hari ini lain ceritanya. Saya kembali menyusuri Dago-Tubagus Ismail- Dago lagi, fushion antara ngangkot dan berjalan kaki. WOW..rasanya..cukup menyenangkan juga berjalan-jalan seperti ini, nostalgia ala TPB ceritanya...

Bertiga kami memutuskan berhenti di tengah jalan. Tujuannya adalah simpang Dago, kawasan pasar ini tidak jauh dari kampus. Tapi, baru sekali dua kali saya menyempatkan waktu untuk mampir. Eh, bukan menyempatkan diri deng, memang terpaksa kali ya..heheh.

Disepanjang jalanan ini terdapat penjual makanan yang biasanya hanya saya lewati ketika bete kena macet. Habis bagaimana berpikir mau mampir, trafficnya bikin mood naik turun.Lebih baik saya pulang ke kosan dan melempar diri ke kasur. Tapi hari ini lain ceritanya..saya meninggalkan motor saya di parkiran kampus tadi. Survey tempat ini berakhir di semangkuk sop buah di simpang Dago.

Bagi yang belum pernah mampir ke Simpang, sedikit spoiler deh. Kawasan ini terletak di jalanan Dago, di pojok tikungan Jalan Tubagus Ismail. Sebenarnya, ada pasar di sini, itulah yang membuat daerah ini selalu ramai. Di depan pasar berjejer warung-warung makanan. Dari sop buah, es duren, es shanghai, tempe mendoan, zupa-zupa, jajanan pasar, ayam penyet, nasi goreng, dan..banyaklah kulinernya. Lumayan sih buat nongkrong-nongkrong galau seperti saya sore ini. Berawal dari keinginan random si nenek, jadilah kita memutuskan mampir minum sop buah. Saya yang lagi semangat-semangatnya ngemil langsung iya aja tanpa berpikir dua kali!

Here we go! turunlah kita dari angkot Caringin-Sadang serang. Berjalan di depan belakang ala kereta api kami bertiga mulai menyisir warung satu persatu. Awalnya kami mengincar es shanghai, tapi semuanya berubah ketika kami melihat gerobak sop buah dengan etalase penuh lemon dan stroberi. Dengan mantap kami berbelok dan memesan 3 mangkok sop buah.

Hmmm...ternyata menyenangkan juga menghabiskan waktu di sini. Saya mengamati kendaraan yang berlalu lalang. Sore ini Dago cukup lancar, masih bisa lewat lah minimal. Di samping kanan saya ada dua mas-mas botak yang sedang mengantri sop buah seperti kami. Suara musik lawas berdentum-dentum dari speaker yang entah punya siapa, mengundang komentar nenek : "Ini teh berasa makan di manaaa...gitu, " 
Ya..memang seperti di mana, meskipun lokasinya familiar tapi suasananya entah karena apa menyenangkan. Sore yang redup, dominasi warna biru-putih-abu, udara sejuk, berasa liburan :p
*di tengah kenyataan hectic UTS gak jelas*. 
Gerobak sop buah yang di etalasenya ada lemon!

sop buahnyaa
Ini sih rasa nyaman yang sederhana. Mungkin susah dijelaskan ataupun dimengerti. Hanya saja...hal-hal biasa seperti ini lah yang justru tidak biasa di lakukan. Jarang loh saya menyempatkan waktu buat sekedar minum es bertiga bersama pipit dan nenek seperti ini, setelah terakhir rame-rame norak mencicipi pasta di depan kampus. Hanya saja..kalau tidak sekarang kapan lagi? 

Sabtu sore, di minggu UTS. terkadang kita terlalu disibukkan dengan urusan kita masing-masing. Mengharapkan liburan mewah atau petualangan menyenangkan nun jauh di karimun jawa atau puncak semeru. Terkadang saya terlalu sibuk mengurus kepentingan saya, sms kalau butuh, nyamperin kalau butuh..di luar itu..kita teman bukan? butuh lebih dari sms tentang tugas atau jalan bareng karena survey. Hidup cuma satu kali..be nice to each other :). 

Terimakasih telah menemani saya sore ini, terimakasih atas waktu yang selama ini diikhlaskan untuk mendengar keluhan saya. Terkadang, ada hal-hal yang tidak terkatakan bahkan maaf ataupun terimakasih. Terimakasih telah mengerti apapun yang saya lakukan, *nyanyi yu know me so weeell~

Kamis, 13 Oktober 2011

Kali Ini Cerita Pendek Tentang Rembulan

http://eriek.wordpress.com/2008/04/24/bulan-purnama/

Mengapa pungguk merindukan bulan? apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? kesimpulan yang jelas bisa diambil dari pertanyaan tersebut hanyalah "sebenarnya saya lupa ceritanya.."

Sebenarnya yasudahlah..lewati saja bagian pungguk merindukan bulan. Malam ini Bandung cerah. Tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu diguyur hujan. Sekilas, tadi saya sempat terprovokasi status seorang  teman. Kurang lebih isinya, "yang di Bandung, coba deh liat keluar sebentar. Bulannya bagus,
Saya beranjak mengintip ke luar, huaah..benar. Malam ini, bulannya bagus, meskipun belum bulat benar..tapi cahaya kuningnya selalu terkesan "minta difoto banget", hehe.

Untuk apa bulan diciptakan? teori satelit-orbit-keseimbangan semesta dan segala ilmu yang pernah saya pelajari dulu sepertinya, semakin tipis bekasnya. Hmm..yang penting bagi saya, pasti semua orang boleh membangun persepsinya sendiri bukan? untuk apa bulan terlihat malam ini, oleh saya.

Langit Bandung memang sudah tidak seindah kampung halaman saya. Urusan pemandangan bulan yang paling spektakuler yang pernah saya ingat adalah ketika berada di Bantul beberapa bulan lalu. Sepertinya bulan yang itu sama bulan yang ini masih sama juga kan ya? tapi yang di Bantul, Subhanallah...saya terpaku menatap ufuk timur sore itu. Bundar dengan cahaya kuning lembut. Muncul dengan anggun senja itu, sepertinya masih sore, bahkan maghrib belum menjelang. Bagus sekali..saya memelankan laju motor agar bisa menikmatinya lebih lama. Indah..indah sekali..

Satu lagi tentang bulan yang pernah saya lihat. Yang ini di Madiun, jauh dari Bantul, apalagi Bandung, hehe. Bulan yang di sana memiliki halo waktu itu. Pendaran cahaya nya luaaaaas sekali..bapak selalu meminta saya mematikan lampu jalan ketika bulan purnama. Yang edisi spesial halo super indah lah..ada lingkaran seperti border yang berpendar, gugusan bintang kelap-kelip keren terlihat sangat jelas. Hal yang tidak pernah saya lihat di langit Bandung yang hampir selalu merah. (*sighs, pengen pulang)

Dulu, saya sering sekali menghabiskan waktu barang semenit dua menit duduk di teras memandangi bulan. Galau ya? mungkin...tapi hal itu menjadi sebuah zona nyaman tersendiri bagi saya. Hmmm..mmm...memandangi langit malam tidak pernah membuat saya bosan. 
Jadi sebenarnya, mengapa bulan begitu indah?
Semua orang memiliki jawabannya masing-masing bukan?

Selasa, 04 Oktober 2011

Detik, menit, jam, hari, minggu.

gambar: http://konsultasipelajar.blogspot.com/2010/12/belajar-pada-sebuah-jam.html















"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran" (Q.S Al-Ashr:1-3)

Terkadang ketika dihimpit berbagai urusan yang harus segera diselesaikan saya berharap hari itu tidak berhenti di pukul 24.00. Terkadang ketika sebuah hari terlalu menyesakkan dada saya juga berdoa, semoga hari ini berganti secepat saya mengedipkan mata. Tidak pernah puas, itulah manusia.

Tidak salah jika waktu diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Hanya ada pilihan bagi manusia, dikuasai atau menguasai, dikendalikan atau mengendalikan. Sayangnya, saya lebih sering dikendalikan daripada mengendalikan waktu, semoga saya bisa lebih banyak belajar.

Saya sangat salut pada orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu yang dimilikinya untuk segala hal yang berguna. Mendatangkan manfaat bagi umat, dengan sedikit mudharat yang sempat diperbuat. Semua itu karena mereka memiliki komitmen yang teramat kuat untuk menghargai waktu, satu hal lagi yang belum bisa saya perbuat.

Sering saya menunda pekerjaan hanya karena urusan sepele, berakhir dengan rasa penyesalan yang pun begitu midah terlupakan. 

Tapi waktu bisa menjadi pedang..

Waktu menghimpit dada hingga sesak ketika ia tidak mau lagi memberi kesempatan. Apakah kita harus menunggu waktu memberikan kita kesempatan, ataukah kita yang harus membuat kesempatan itu?
Saya lebih suka mengambil pilihan kedua. Meniatkan untuk meluangkan sedikit waktu adalah satu langkah untuk kita belajar berteman dengan kesempatan. 

Jika kita ingin membuat janji, bukankah kita akan berpikir terlebih dahulu, "Adakah waktu yang masih saya miliki?"
Keputusan selanjutnya hanya tergantung pada seberapa ingin kita membuat janji itu, seberapa penting sifatnya dan seberapa peduli kita terhadapnya. Jika dari awal kita hanya setengah hati, niscaya kita tidak akan membuat janji tersebut. 

Kita tidak mau menyisakan waktu.

Tapi coba pikir kembali, bandingkan jika kita memiliki kepentingan besar dalam janji tersebut. Bukankah kita akan sekuat tenaga meluangkan waktu? mengubah jadwal, membatalkan yang bisa ditunda jika perlu, menggunakan berbagai metide skala prioritas, dan entah sebagainlas.ya. Yang jelas mengusahakan semaksimal mungkin. Memang..butuh komitmen dan tekad yang kuat hanya untuk sekedar menepati janji untuk datang ke sebuah syuro' misalnya. Kembali lagi pada pribadi masing-masing...

Semoga Allah selalu memudahkan jalan saya untuk berkompromi dengan waktu. Berteman dengannya sebaik mungkin hingga tidak ada yang terbuang percuma. Menginfakkannya dengan ikhlas agar kelak ia mau membela saya ketika harus bertanggung jawab didepan-Nya. Semoga Allah masih memberikan saya kemampuan untuk memanfaatkan waktu yang saya miliki. Semoga Allah masih menkaruniakan hari esok bagi saya. Semoga tidak akan ada yang harus disesali di akhir nanti, tidak tentang hari ini, esok atau lusa. Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita akan hidup didinia..kita tidak akan pernah bisa memastikan apakah kita kan kembali berjumpa dengan kesejukan subuh esok hari..apakah kita masih bisa menemui kedua orangtua kita saat liburan nati? Hanya Allah Yang Maha Tahu atas segala ketetapan-Nya..

Semoga bisa menjadi renungan bagi diri saya sendiri. Semoga Allah selalu memberikan kesempatan untuk menikmati waktu yang dikaruniakan-Nya, karena waktu tidak akan pernah bisa kembali...


#4 Malam Minggu Rasa Keju

Glek!, saya menelan ludah melihat gundukan keju di depan mata. Bukannya saya kalap ingin segera menyikatnya sampai tandas, tapi saya justru meragukan kemampuan saya malam itu. "Gila ini mah..." batin saya dalam hati.

Bukan pertama kalinya saya melihat dengan mata kepala besarnya porsi mi rebus ditimpa keju di salah satu warung yang terkenal di Bandung ini. Hanya saja, seringkali saya lebih memilih roti atau pisang daripada segunduk mi rebus. Tapi malam itu, perut saya yang memang lapar menggoda saya memesan seporsi mi rebus keju yang berakhir dengan tatapan tidak percaya. "MasyaAllah...........banyak bener ini..."
Sesendok demi sesendok, saya berusaha menelannya pelan-pelan. 

Setengah jalan, makan malam saya ini serasa tantangan di reality show. Perut saja sudah mulai memasang alarm penuh. Muti, oknum yang mengajak saya makan di tempat ini hanya tertawa-tawa melihat muka saya yang tersiksa demi menghabiskan semangkuk mi rebus kuah keju ini. Bagaimanalah..saya bukan tipe orang yang bisa menyisakan makanan, maklum..sifat mahasiswa saya sudah sangat mendarah daging. Akhirnyaaaa....sampai juga suapan terakhir, dengan penuh perjuangan saya bisa menghabiskan porsi maut makanan ini.
Mie rebus tertimbun gunung keju

roti panggang tertimbun keju (lagi)
Ada yang tersisa, sepiring roti panggang yang tertimbun gundukan keju rupanya masih tersisa di depan kami. Awalnya kami sok-sokan menambah pesanan agar ada cemilan sembari menunggu makanan datang. Rupanya dugaan kami salah, seporsi roti panggang ini hanya tersentuh secuil kecil di pinggir kanan kirinya. Kami tidak memiliki daya kuasa lagi untuk menyentuhnya...tidak malam ini, setelah semangkuk penuh mi rebus dengan toping gundukan keju di atasnya. Tidak.

Akhirnya kami memutuskan untuk membungkus roti panggang yang tersisa, dan menghibahkannya pada Friska yang menerimanya dengan hati berbunga-bunga. Hmm..malam minggu itu masih berlanjut dengan berbagai adegan yang akan disimpan sebagai konsumsi pribadi :P. Terimakasih telah menyimak.

*Friska adalah adek kos paling muda yang selalu jadi korban pembulian di kosan.
**Kami makan mi bertiga setelah sempat berdebat ingin makan apa di sepanjang jalan kebon bibit hingga jalan Dago, dengan tokoh yang belum disebut: Niken.

Selasa, 27 September 2011

Matahari Sore dan Aston Tropicana

Tunggu..biarkan sejenak saya mengingat kembali fragmen memori sore tadi yang hampir terhapus oleh hujan. Ini dia..matahari tampak bulat penuh berlatarbelakang langit biru bersih. Semburat cahayanya oranye keemasan semakin berpendar lemah mengiringi senja yang beranjak turun. Bulat penuh, jelas terlihat. Jarang sekali saya bisa mengamati bentuknya tanpa harus memicingkan mata. Ini adalah secuil romantisme yang sering saya nikmati ketika sore hari, warna senja dan pendar tulisan "Aston Tropicana" di kejauhan. Ini adalah fragmen deskriptif tentang Kebon Bibit...

Jalanannya naik turun, beraspal bopeng yang tidak rata. Polisi tidur yang dibuat entah berdasarkan standar siapa, tingginya menyiksa vega saya yang sudah tua. Tapi, diluar itu semua jalanan ini bisa dibilang menjadi saksi tidak hidup kegalauan dan keluh kesah saya, hahaha.

Dahulu, saya pernah menangis terisak sepanjang jalan di bawah rintik gerimis. Saya pernah menerawang kosong menatap jalanannya. Saya pernah menerawang jauh ke langit di atas Aston Tropicana. Dan saya selalu menyadari jika salah satu lampu hotel itu mati sehingga tulisan yang terbaca "AST N TROPICANA".

Saya seringkali merasa takut jika harus berjalan sendirian melewati jalanan ini. Bukannya apa-apa..jalanannya sepi dan gelap. Apalagi bawah jembatan pasupati yang meskipun mulus jalannya, tapi miskin penerangan. Terkadang hanya terlihat nyala puntung rokok yang dihisap segerombolan ABG labil di bawah pilarnya yang menjulang. Jika terpaksa pulang sendirian tengah malam tanpa kendaraan, saya pasti mempercepat langkah..meningkatkan kewaspadaan 3 kali lipat.

Masih di jalanan Kebon Bibit dengan pemandangan Aston Tropicana di ujungnya. Di sini ada penjual batagor yang selalu ramai. Anak-anak SD Pertiwi selalu mengajak saya saingan mengantri. Sering sekali si Mang ini membuat saya berlalu dengan kecewa, kehabisan batagor di siang bolong. Terkadang, saya sengaja melalui jalur ini hanya untuk sekedar mampir membeli batagor, sebelum berangkat kuliah..setelah pulang kuliah..sesempatnya lah. Bahkan sepertinya secara tidak langsung saya sukses jadi agen promosi. Teman-teman saya ketagihan batagor ini juga setiap kali mampir ke kosan.

Masih di Kebon Bibit. Kali ini di pertigaan di depan pos jaga. Tidak jarang anjing berbulu keemasan itu muncul mengagetkan. Pagi hari..siang hari..malam hari...tak tahu juga sebenarnya kapan jadwal pastinya. Ia terlihat berlari-lari atau menggeletak malas di tengah jalan ketika saya melintas. Berjingkat-jingkat saya memelankan langkah, mencari rute paling jauh dari keberadaannya. Bukannya saya takut, tapi saya malas kalau dikejar dan sampai terjilat! tujuh kali campur pasir hey bersihinnya...malas sekali.

Hmm..masih belum beranjak dari Kebon Bibit. Setelah  pertigaan, jalanan akan kembali berbelok ke kanan. Memunculkan lagi sisa pemandangan Aston Tropicana dengan pendar lampu biru-merah nya. Dulu di sini ada warung kecil. Ingat sekali saya berteduh dari hujan sambil membeli beberapa snack ala anak SD ketika membantu Kak Rani pindahan. Di jalanan ini juga mobil tragedi mobil Arum terjadi, membuat kami semua kalang kabut dan batal datang presentasi. Berujung di sebuah pertigaan lagi yang semakin dekat dengan kosan.

Jalanan mulai menurun, satu tahun pertama saya selalu berhenti di gerbang atas, membuka satu persatu kunci dua lapis pintu sebelum masuk ke dalam. Tapi tidak sia-sia, taman hijau milik ibu Tati selalu bagai oasis di padang pasir yang seolah berbisik "Nyampe kosan, Kasur heeeey!"
Dan dengan langkat satu-satu menaiki anak tangga hingga berakhir dengan putaran kunci yang mengakhiri perjalanan sepanjang hari. Dan perjalanan melintasi Kebon Bibit dan bercengkrama bersama Aston Tropicana pun kembali berakhir.

Sabtu, 24 September 2011

#3 Here We Go Again!

Perjalanan ini dimulai dari stasiun Bandung, bersama seorang pendatang dari Surabaya saya menyusuri track menuju Taman Hutan Raya Juanda. Tidak lagi berjalan kaki seperti dua tahun yang lalu, saya kembali menyusuri jalan setapak beraspal di tengah hutan konservasi. Seekor burung yang terbang rendah membuat saya sesaat terkejut. Subhanallah sekali ya...

Awalnya saya sama sekali tidak yakin Vega kesayangan saya ini mampu mengantarkan kami hingga ke atas. Namun akhirnya kami sampai dengan selamat, tanpa ada adegan -dorong motor- yang menghiasi lembar perjalanan ke THR Juanda. 

THR Juanda, Dago Pakar
Berbekal sekantong cemilan dan sebotol air putih saya bersiap menjajaki medan. Bayangan saya akan jalanan setapak dengan semak rimbun di kiri kanan jalan ternyata salah. Begitu melewati loket, saya menemukan sebuah peta dipampang di sisi kiri, sesuatu yang tidak saya jumpai 2 tahun lalu. "Waaah.." seru saya pelan, ternyata ada petanya. Mungkin terdengar norak, tapi dua tahun lalu jangankan peta, penunjuk jalannya saja susah ditemukan. Memang, kali ini track-nya berbeda, tapi lumayan bikin pangling.

Kami melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian sebuah penunjuk bertuliskan "SELAMAT DATANG DI GOA JEPANG 100 M" membentang diantara dua batang pohon. 
"Lho, udah nyampe aja???"
Makin bingung saya, padahal dulu sepertinya saya harus berjalan cukup lama untuk mencapai lokasi ini. Huaahh...track pejalan kaki ternyata memang lebih panjang rupanya. Kami mengikuti jalanan berbatu hingga menemukan mulut gua Jepang, disambut adek-adek yang menyewakan senter. Segera kami segera memasuki lorong gua yang gelap. Dingin dan lembab, menyergap sesaat setelah kami memasuki lorong gua. Dulu saya takut-takut memasuki gua ini akibat cerita seram kakak kos sepanjang perjalanan. Kali ini, saya mencoba rileks menikmati cerita pemandu yang belakangan ternyata minta bayaran 25 ribu sebagai upah komentar. Huaaah..mahal, dengan menggunakan alasan mahasiswa, saya menawar uang guide menjadi 10 ribu dan..BERHASIL!:p

Kami menamatkan gua jepang yang memang tidak terlalu panjang. Kami melanjutkan perjalanan ke Gua Belanda. Jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi pertama, konon gua Belanda ini kalau diikuti tembus hingga Lembang. Jaraknya sekitar 5 km, 2 jam waktu tempuh jika berjalan kaki. Weitsss...kami mikir-mikir, kalau tembusnya Lembang..berarti mesti balik lagi 2 jam ke sini buat ngambil motor! 4 jam saudara-saudaraaa..itu bolak-balik Jakarta-Bandung via tol Cipularang. Oh No! kami mengurungkan niat.
Pemandangan di depan goa Belanda
Sebenarnya cukup penasaran dengan air terjun yang konon jaraknya 5 km lagi itu. Kami pun memutuskan mencoba berjalan sambil mengobrol ringan. Pemandangan di sini semakin lama semakin indah, suara serangga menggema bersahut-sahutan. Sesekali burung-burung terbang rendah mengeluarkan suara-suara yang membuat saya sedikit terkejut. Wusss...seekor burung terbang cukup rendah hingga membuat saya reflek merunduk. Subhanallah..

Kami sempat beristirahat sambil ngemil bekal, ngobrol ngalor-ngidul-seru. Cuaca hari ini memang agak labil, dominasi terik matahari membuat saya malas beranjak dari bayangan pohon. Sesekali mendung, sesekali panas, cepat sekali berubah. 

Jam setengah dua. Kami bergegas kembali, mencari mushola untuk sholat dhuhur. Seusai sholat kami memutuskan untuk menuju track "EXIT". Random saja kami memilih jalan, ada yang naik ada yang turun. Dari jauh tampak sebuah gerbang, kami bersemangat mempercepat langkah. Namun sayang sekali! bukan ini pintu masuk yang tadi kami lewati. Kami pun kembali menyusuri jalan, memutar langkah hingga tanpa sengaja menemukan patung setengah badan Ir. Djuanda. Yah..lumayanlah, ada objek lagi yang bisa diabadikan. Tak jauh dari sana juga ada sebuah batu semacam prasasti. Ternyata..ada kolam juga di sini, satu hal lagi yang baru saya tahu.


Setelah puas foto-foto, kami kembali mencari jalan keluar. Sudah satu putaran kami tidak juga menemukannya! hmm..mm..akhirnya demi mengamalkan kata pepatah "malu bertanya sesat di jalan" kami pun bertanya pada bapak-bapak di sekitar TKP. Ternyata...jalan yang kami ambil emang salah, hahaha..yang seharusnya belok ke kanan malah turun. Pantas saja nggak ketemu juga jalan keluarnya!

Setelah beberapa menit berjalan kami menemukan juga pintu keluar. Perjalanan hari ini pun akan segera berakhir. Masih ada semangkok lomie dan segelas es teh jumbo yang menutup perjalan kami hari ini. 

#2 Dari Punclut hingga Asia Afrika

Seperti kebanyakan warga Bandung yang memaksimalkan waktu weekend untuk mencari hiburan, saya sok-sok an ikutan meramaikan...mumpung sekarang saya masih sempat merasakan jadi "warga Bandung", maksimalkaaaaan!

Berawal dari sebuah ajakan dari teman lama di sebuah jejaring sosial, akhirnya kami membuat acara "reuni" kecil-kecilan yang seperti biasa diputuskan di detik-detik terakhir.  Selepas adzan maghrib dikumandangkan saya bergegas meninggalkan kampus, memacu sepeda motor menyusuri jalan Suci yang masih saja ramai. Tujuan saya adalah jalan Melania, tepatnya sebuah kosan yang tidak jauh dari ujung jalan.

Seorang teman, sebut saja Bebe tergesa membukakan pintu. Setelah memarkir sepeda motor saya menyusulnya masuk ke dalam kosan. Sampai lupa bersalaman Bebe tampak segera bersiap, saya santai saja menonton serial Sponge Bob yang kebetulan sedang ditayangkan. Bebe sudah siap, saya masih belum beranjak dari toples cemilan yang tadi saya buka karena lapar. Hmm..sebenarnya masih belum jelas kemana tujuan malam ini, belum ada kabar dari tiga orang oknum pencetus gagasan jalan-jalan super random 2011 ini.

Sudah hampir satu jam kami menunggu kabar, akhirnya diputuskan juga mau kemana, Braga Festival. Kabar baiknya..ada mobil yang bisa dipakai jalan-jalan! Horree..! segera saya putar balik ke kosan, memarkir motor dan tak lupa mengajak tambahan anggota. 

Hampir satu jam Saya dan Niken menunggu di teras rumah sebelum akhirnya rombongan Pandu, Cahyo, Bebe dan Dito muncul di depan pintu pagar. Kami segera meluncur menuju Punclut! ya..rencana ternyata berubah, berdasarkan rapat terakhir diputuskanlah tujuan pertama adalah berwisata kuliner. Mobil yang dikemudikan Pandu berjalan pelan menyusuri jalanan, Semakin ke atas kerlip lampu tampak semakin indah. Setibanya di Punclut, kami memilih sebuah tempat makan yang cukup sepi, di lantai dua kami langsung mengambil spot untuk berfoto sebelum menghabiskan ayam bakar, usus goreng, belut dan satu bakul penuh nasi. 

Punclut semakin dingin, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke Braga. Jalan cukup sepi, hanya ada satu mobil di depan kami yang berjalan lambat-lambat membuat Pandu sedikit mengomel tidak sabar. obrolan kami semakin ngalor ngidul di dalam mobil, dari cerita zaman SD sampai cerita hantu di radio. Puas berhaha-hihi tidak terasa sampai juga di Braga. Ramai juga Braga malam itu, mobil pun diparkir di jalan Asia Afrika sedikit di sebelah kiri Museum legendaris di kota Bandung, Museum Konperensi Asia-Afrika. Kami berjalan kaki menuju Braga, rupanya meskipun hari sudah malam keramaiannya masih terasa. Disepanjang jalan dipampang foto-foto menarik seputar kota Bandung. Dari gedung sate hingga masjid Agung Bandung, ditampilkan dalam frame menarik oleh masing-masing fotografernya. Jalan Braga malam ini menjadi sebuah venue pameran, diramaikan dengan sebuah acara wayang yang dikerumuni para pengunjung.

Dari kejauhan tampak sebuah gerbang yang terbuat dari jalinan ranting, dihiasi lampu-lampu berwarna kuning. Laris manis, spot ini menjadi background narsis para pengunjung. Tidak mau kalah kami juga mengambil beberapa gambar, minta difoto sebenarnya, hehehe. Sebuah pertunjukkan wayang menghentikan arus pengunjung di tengah-tengah area festival. Setelah berhenti sejenak di ikut menonton di kerumunan kami melanjutkan perjalanan. Saya mengeluarkan kamera digital dan mulai menjepret beberapa objek yang tampak menarik. Yahh..gambar yang tertangkap tidak sebagus aslinya, maklumlah..kamera pocket biasa. Beberapa gambar tampak buram karena sedikitnya cahaya. 
Jalan Braga 


Pameran Foto 
Disepanjang jalan Braga berjajar berbagai tempat hiburan. Dari tempat karaoke, bar, Tato booth, hingga restoran ada di daerah ini. Bisa dibilang daerah ini adalah salah satu favorit para turis mancanegara. Tak heran, dengan mudah saya bisa menemukan seorang bule cantik yang duduk galau di depan bar yang sedang memutar musik ajeb-ajeb dengan suara penyanyi yang bisa dibilang sumbang. Beberapa tempat hiburan menampilkan acara live music, tampak juga beberapa atraksi di sudut jalan. Kami berjalan sambil sesekali berhenti membaca deskripsi foto-foto yang dipamerkan, menikmati suasana Braga yang tidak biasanya bebas dari kemacetan kendaraan. Jejeran motor gede dari Brotherhood sesaat menarik perhatian. Pandu sejenak berhenti mengambil gambar dan minta diambil gambarnya bersama motor tersebut. 

Kami beristirahat sebentar di depan sebuah restoran yang didominasi lampu berwarna merah, entah apa namanya. Duduk melihat Cahyo asyik memotret saya tertarik mencoba kamera Pandu. Weks..ketauan cupunya! Cahyo mencoba mengajari saya bagaimana mengatur-atur agar bisa mendapat gambar yang bagus. Sayangnya..meskipun beberapa kali mencoba tetap saja gagal! haha..mahasiswa desain macam apa ini, buta fotografi ;p.

saung dan sawah artifisial di pinggir jalan


Perjalanan dilanjutkan di bagian jalan Braga yang lain. Disini banyak dipasang figur-figur yang menurut saya cukup menyeramkan. Ada juga sebuah miniatur sawah lengkap dengan saungnya, mengingatkan saya pada pasar seni tahun lalu. Acara "Sok hunting foto" pun kembali dilanjutkan. Kami memasang beberapa pose di depan saung lengkap dengan sawah buatan yang dibangun di tepi jalan raya. Di ujung jalan, foto-foto super besar orang-orang gila dipampang berjejer membuat saya sedikit bergidik ngeri. Satu hal baru yang saya tahu hari itu, ternyata bangunan tua diujung jalan braga itu kini dijadikan sebuah bank, menarik sekali sebenarnya detail arsitekturnya. Sayangnya, di emperan terlihat beberapa tunawisma yang bergelung di bawah kain lusuh. Entah harus miris atau trenyuh, Bandung masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Selamat ulang tahun kota Parahyangan, saya lupa menyebutkan bahwa acara-acara tersebut digelar dalam rangakaian ulang tahun Kota Bandung. Perjalanan kami di Braga hari itu pun berakhir. 







Kamis, 22 September 2011

#1 HARI ITU 17 AGUSTUS 2011...

Ya..Hari itu 17 Agustus 2011. Bertepatan dengan hari kemerdekaan tanah air tercinta, bukannya upacara kami malah berhura hura! lalalalala...

17 Ramadhan, 17 Agustus..hari itu sungguh penuh dengan berbagai macam peringatan. Dan saat itulah, setelah sekian lama kami kembali berkumpul. Loedroek angkatan 2008, cerita lama yang ditulis kembali. Dan beginilah hari itu dimulai.....

Sepakat kami menuruti usaha ketua angkatan untuk kembali berkumpul, mumpung hari libur ceritanya. Yah..kapan lagi, sudah tahun keempat. Dan entah seberapa lama kami mulai tidak saling tahu kabar masing masing, entah sibuk di himpunan lah..entah sibuk di unit lain lah..entah sibuk di KM lah..dan entahlah..ada juga yang tetap tanpa kabar.

Rencana besar hari ini adalah  "LD ONE DAY" Loedrok satu hari? yah..bisa dibilang begitu. Dimulai dengan belanja bersama di simpang, dan berakhir di rumah nunu. Kami menyusuri trotoar simpang yang penuh sesak, membawa kantong-kantong belanjaan, terhenti sejenak di beberapa kios dan sukses membawa pulang peralatan perang untuk membuat ta'jil nanti sore. Perjalanan diteruskan menyusuri jalanan cisitu lama, pertama kalinya sepanjang tiga tahun ini saya menyambangi kosan sang ketua angkatan dkk. Tetap saja, saya tidak bisa mengingat tepatnya di sebelah mana. Sembari menunggu kegiatan (kegiatan...) selanjutnya, saya transit di kosan Apin yang juga kosan Ragil. Lumayan, cukup untuk ngobrol haha hihi sampai jam 2 siang sebelum berpindah ke GOR Cisitu. Yak, kami berencana untuk main badminton..dipuncak waktu kelaparan di bulan Ramadhan. Ide bagus bukan?

Pukul 2 siang. Aisha dan Sang ketua angkatan akhirnya muncul untuk membawa kami ke GOR. Pertama kalinya juga saya kesampaian main badminton di GOR ini. Biasanya, janji-janji itu hanya terbang bersama angin, entah karena telat memesan, ataulah yang seharusnya memesan GOR ternyata ketiduran. Sungguh..ternyata Allah menghendaki saya menjejakkan kaki di GOR Cisitu..hehehe.

Saya pikir bermain badminton itu gampang. Segampang makan nasi pakai sendok. Lempar cock, pukul pakai raket, beres! Ternyata..kenangan saya bermain badminton sejak masa SMP itu amat sangat berbeda dengan masa sekarang. Begini realisasinya, lempar cock, ayunkan raket ..dan tuk! ternyata nyangkut di net, lempar lagi ternyata out, lempar lagi ternyata mleset dari raket! MasyaAllah...satu jam pertama saya dipermainkan badminton, bukan bermain badminton. Kegagalan yang bertubi-tubi tidak menyurutkan keinginan bermain saya. Diiringi teriakan-teriakan penuh kekecewaan dan sesekali seruan girang, tanpa sadar saya meloncat tinggi-tinggi ketika berhasil mencetak poin pertama. Sangat menyenangkan kawaaaan!
Satu jam berlalu, saya sudah kalah entah berapa set hingga memutuskan rehat dan menonton di pinggir lapangan. Teman-teman masih asyik memukulkan raket dengan sekuat tenaga, entah terlalu bersemangat atau sedang melampiaskan amarah yang harus ditahan karena puasa. Ya..puasa, kami harus bergegas mengakhiri olah raga tengah hari ini. Dengan bersimbah peluh dan badan pegal kami meninggalkan GOR Cisitu. Kami harus bersiap untuk agenda selanjutnya.

Pukul 16.30, setelah puas membanting diri di kasur Apin kami mulai berbenah. Agenda selanjutnya adalah buka bersama, di rumah Nunu. Dengan menaiki scoopy baru Momon kami beranjak, menenteng kresek berisi agar-agar yang akan dijadikan campuran es buah. Bertiga kami mengendarai Scoopy Momon, yak..satu motor untuk tiga orang. Nekat juga kami tanpa helm, tanpa sabuk pengaman, meluncur riang di jalanan Cisitu, menuju tujuan yang memang tidak seberapa jauh jaraknya. Saya menyetir dengan santai di jalanan dengan sesekali bertanya "belok kanan atau kiri?" karena memang ingatan saya yang cukup buruk mengenai rute perjalanan. Awalnya semua berjalan mulus, hingga kami melintasi pagar perumahan dengan kontur jalan yang menukik curam. Saya tidak yakin bagaimana ceritanya, setengah melamun saya meluncur cepat di turunan curam. Saya panik sekali! bagaimana saya harus menghentikan laju motor ini, dengan beban 3 orang, motor Momon melaju tak tertahan di jalanan. Saya berpikir kemungkinan terburuk saat itu...haruskah kami berakhir dengan menabrak pagar? Alhamdulillah...akhirnya saya mampu mengerem, TEPAT DI DEPAN RUMAH NUNU, hampir menabrak sebuah sepeda motor hitam yang terparkim manis di depannya, dan sedikit lagi kami terperosok ke selokan. DEG..DEG..DEG..pias muka saya waktu itu, Momon dan Apin sudah lebih dulu berteriak teriak sebelum saya mampu mengucap sepatah katapun. Lutut saya lemas...

Rumah Nunu hari ini dipenuhi perusak-perusak yang telah terbukti sepak terjangnya. Kami beramai-ramai mengupas semangka, pepaya dan beberapa buah lain untuk ta'jil. Kami sukses meracik minuman yang entah apa namanya, tertawa-tawa kami saling mencemooh berkata tidak akan ada yang sudi meminum ramuan buah yang kami buat. Tapi akhirnya..ketika Adzan berkumandang, sebaskom besar es buah yang tadi disangsikan kualitasnya ludes tanpa sisa. Dasar pembohong kalian semua..hahaha

Foto bersama di atas kasur Nunu yang beberapa detik kemudian," Glookkkk!" besinya melengkung. Jatuhlah satu korban 17 Agustus.

Selepas maghrib kami membuka forum bersama, saling menanyakan kabar, saling bercerita. Memang, angkatan kami sudah lama sekali tidak berkumpul seramai ini, paling pol biasanya 10 orang dengan formasi yang bisa dibilang..tidak pernah berubah. Kami dilantik sebanyak 28 orang, hari itu kami berkumpul 21 orang minus niken yang masih KP, Mbak Dini yang baru lulus dan masih di Tuban, Mbak Emi yang sedang dalam masa pemulihan pasca operasi, serta Areka dan juan yang entah tanpa kabar. Tapi..sungguh super sekali! Kami berkumpul lagi setelah sekian lama, bertukar cerita satu sama lain, untuk menjawab pertanyaan 

"Nang ndi ae kon, reeeeek?!"

Bertindak sebagai moderator Nunu memiliki otoritas untuk membully kami semua. Pertanyaan demi pertanyaan berlanjut, jawaban muncul bersahutan. Ternyata, banyak dari kami menjadi 'seseorang' di luar sana. Dari Kahim hingga anggota Kabinet, dari yang buka usaha sampai yang sebentar lagi berangkat ke Jepang. Semua punya ceritanya masing masing..hingga salah satu dari kami mengucapkan kalimat itu, "Aku sayang kalian semua..."

Kami masih saling menghargai dalam bingkai yang mungkin berbeda satu sama lain. Kami saling menguatkan dengan jalan yang mungkin tidak sama. Kami saling mengingat dengan cara yang mungkin kami pun tidak akan memahaminya. Tapi kami satu angkatan, Loedroek 2008. Dari sini kami saling mengenal, kita tidak bisa tiba-tiba lupa bukan? kecuali kalau amnesia akut atau memang benar sudah termakan usia. Kami memang mengambil jalan yang berbeda, tetapi masih ada persimpangan dan pemberhentian yang membuat kami bertemu kembali. Sungguh satu hari yang sangat menyenangkan, berjanji menjelang "hari itu" entah 2012 nanti, entah bersama sama ataukah hanya menjemput di depan sabuga. Semoga adek-adek kita berhasil menyelundupkan minyak tanah, hehehe. Dan momen itu..tidak akan terlewatkan begitu saja.



Farewell party Aisha dan Kodir, sebelum harus terbang ke Jepang

P.S Satu yang lupa belum disebut, Nana sekarang pindah ke UI :),
btw Makasih mas Pees, makasih mbak Odit. I know how difficult you face that hard time, hehe

* Kenapa tidak ada muka saya? -nasib juru foto-