Rabu, 14 Desember 2011

Beruang Belum Juga Turun, Tapi Benarkah Harus Turun?


Hingar bingar teriakan orasi menggema di depan kampus. Aksi mahasiswa, dengan jumlah massa yang cukup besar. Langka? memang..mahasiswa ITB? bukan..bukan juga mereka.

Ini adalah "undangan", undangan bagi mahasiswa ITB untuk ikut turun ke jalan mengkritisi kasus Sondang yang dianggap telah menjadi pahlawan. Mahasiswa-mahasiswa ini tegak berdiri di bawah terik, berteriak lantang menghakimi 'kami' mahasiswa ITB yang dirasa enggan turun ke jalan. Hmmm... sepertinya suatu ketepatan sekali, belum genap satu bulan lalu saya eneg membahas pergerakan mahasiswa di Boulevard.

Kemahasiswaan. Mahasiswa. Mahasiswa ITB. Terkadang memang sebuah ironi ketika kami ini tidak mau ikut berteriak. Meneriakkan apa dulu? inilah yang perlu dikaji dan direnungi kembali. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Bandung berkumpul mendatangi kampus di tengah hari. Meneriakkan orasi orasi tajam tentang kebangsaan, persatuan, kesadaran dan banyak lagi. Urat-urat tertarik, peluh-peluh menetes, almamater-almamater yang lembab akibat keringat yang bercampur debu, dan tatapan-tatapan yang entah ingin mengatakan apa.

Tuntutannya satu. Mereka menuntut ITB turut serta dalam konsolidasi mahasiswa Bandung untuk mendemo pemerintah terkait aksi bunuh diri Sondang. Mahasiswa yang telah dianggap pahlawan karena kenekatannya membakar diri di depan istana negara. Nekat? ya, kata saya itu nekat. Tapi apa urusan kita?

ITB kini tidak lagi menjadi garda depan pergerakan mahasiswa tanah air seperti pada 1998 silam. Kalimat itu selintas terdengar di sela-sela suara yang timbul tenggelam dari megaphone. ITB tidak lagi...
Memang, jika dibandingkan dengan pergerakan di masa lalu kemahasiswaan yang sekarang terkesan lebih ayem. Tapi untuk kasus yang satu ini saya setuju dengan sikap diam 'kami'.

Sebuah cerita yang bahkan tidak meninggalkan selarik jejak untuk apa Sondang mati. Hanya Tuhan mungkin yang tahu, semulia apa tujuannya demi Indonesia. Tidak harus kita menyikapi semuanya dengan turun ke jalan. Tidakkah kalian berpikir dan bertanya pada nurani kalian? yang mneyebut dirinya mahasiswa... demi apa kalian berteriak dan berbuat yang justru tidak seperti mahasiswa? mengacungkan jari tengah ketika tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan. Mahasiswa macam apa yang tidak memiliki etika dalam berperilaku kebangsaan? dimana nilai sembilan kalian ketika dulu menjawab soal kewarganegaraan tentang arti 'toleransi' 'tenggang rasa' saling menghargai'?

Yang didemo juga jangan sok ekslusif. Sok sibuk mentang-mentang lagi UAS. Miris juga mendengar bisik-bisik "yaelah kita mah mending uas daripada mikir beginian,"
Bagaimanapun kita mahasiswa. Maha di depan siswa, berat sekali menyandangnya. Kita dalah tumpuan rakyat, yang salah-salah nanti jadi penindas rakyat. Kita sekolah dengan uang rakyat, yang salah-salah tak pernah sadar dari mana asalnya. Membuka mata, tugas kita, bergerak dengan tindakan nyata kewajiban nyata. UAS bukan pembenaran, akademis bukan persoalan. Bukan masalah demo nggak demo nya, tapi apa alasan dibaliknya. Toh, semua tergantung niatnya..niat apatis mah beda lagi. 
Ya Allah nak..hidup bukan sebatas tulisan di atas kertas. Dan hidup juga bukan semata mata teriakan di jalanan. Kita jadikan hal ini sebagai sarana untuk mengkoreksi diri.

Tanyakan kembali, untuk apa kalian berteriak. Demi Sondang atau demi harga diri kalian? Demi mahasiswa atau demi genngsi kalian? Jika yang bakar diri bukan Sondang, jika Sondang bukan mahasiswa, apakah kalian akan menuntut hal yang sama? sesungguhnya demi siapa kalian berjuang? koreksi bagi kita semua lah ya...

Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater...

*Jangan lupa membersihkan sampah yang ditinggalkan, sebuah akhir yang sangat menarik bagi sebuah aksi demonstrasi.

3 komentar: