Minggu, 20 Oktober 2019

Seminar Parenting: Meningkatkan Minat Belajar dan Prestasi Anak

Sabtu kemarin saya berkesempatan menghadiri seminar nasional parenting yang mendatangkan Mira Julia atau yang lebih akrab disapa Mbak Lala yang bertajuk sangat ambisius : Meningkatkan Minat Belajar dan Prestasi anak. Singkat mengenai mbak Lala, beliau adalah salah satu legend di kalangan keluarga penganut mahzab Home Schooling (HS) dimana putra pertamanya yang semenjak kecil tidak pernah bersekolah formal tetapi berhasil masuk FE UI dan merupakan pendiri rumahinspirasi.com, yaitu sebuah media belajar online.

Dalam sesi seminar mbak Lala banyak bercerita tentang hal-hal yang mempengaruhi proses belajar yang tentu saja berdampak pada prestasi belajar anak. Tapii..yang saya garis bawahi adalah kalimat mbak Lala yang berbunyi

" Kita mempersiapkan anak kita untuk hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya"

Nah. Lho. Sebagai generasi era 90-an yang dulu cita-citanya seputar dokter, guru, polisi dan pilot, tentu saja bahkan situasi pendidikan dan perkembangan keprofesian saat ini saja sudah jaaauh berbeda dengan era saya dulu. Jadi jangan heran kalau anak sekarang ditanya apa cita-citanya? Lalu menjawab: youtuber, vlogger, food photographer, dan banyak lagi istilah 'asing' lainnya. Kesemuanya itu bahkan tidak terbayang bagi saya sebelumnya..apalagi nanti 20 tahun memdatang? Seperti apa lagi perkembangannya? Ragam potensi dan lapangan kerja yang bisa bermunculan?

Sedikit kembali pada cerita HS yang dipilih oleh keluarga mbak Lala. Keluarga mbak Lala sepakat untuk menerapkan HS Bagi anak-anak karena bangku sekolah formal dinilai kurang relevan dengan kebutuhan anak mereka. Mudahnya, ya buat apa mempelajari hal-hal yang kita nggak tau ngapain harus belajar itu. Well said sih, saya sekolah belasan tahun juga yang terpakai ilmunya hanya sekian persen saja. Lalu mengenai standar prestasi, kebanyakan sekolah formal menilai dengan indikator prestasi yang sama bagi seluruh siswa. Padahal, setiap anak itu dilahirkan dengan potensi berbeda yang tentu saja berarto bisa saja prestasinya bentuknya juga nggak sama. 

"Tugas orang tua adalah mengantakan anaknya menjadi bintang di langit. Dan bintang di langit itu banyaaak banget. Jafi setiap anak itu sejatinya adalah bintang" begitu kata beliau.

Uhuk. Tertohok lagi. 

Kebanyakan orang tua saat ini menuntut anaknya memiliki kredit yang baik dalam bidang akademis. Padahal..tentu tidak semua anak memiliki kelebihan dalam bidang tersebut. Kebanyakan orang tua juga mudah sekali 'baper' dengan 'prestasi' anak lain, lalu tanpa sadar membandingkan dan menginginkan anak mereka menjadi berprestasi seperti anggapan orang tuanya tersebut. Salah? Hmm..nggak salah banget sih kalau anak memginginkan anaknya berprestasi. Tapi apa sih makna anak yang  berprestasi?

Prestasi menurut mbak Lala adalah ketika:
1. Anak nyaman dengan dirinya sendiri
2. Anak mampu memahami kekuatan dan kelemahan dirinya
3. Anak memiliki kapasitas untuk menjalani keseharian dengan baik
4. Anak memiliki keterampilan untuk berkarya dan berkontribusi
5. Anak memiliki kapasitas untuk bertumbuh
6. Anak memiliki daya juang dan persistensi

Nah, beda banget kan dengan gambaran prestasi era 90an? Rangking 1 di kelas? Masuk sekolah favorit? Lulus dengan nilai sempurna? Trus blank nggak tau mau ngapain ...wkwkwk..

Sejatinya kita orangtua memiliki PR yang lebih besar dari itu. Daripada berfokus pada prestasi di atas kertas, akan lebih bijak jika orangtua mampu menyiapkan amunisinya, membentuk mental, kebiasaan dan perilaku dimana kelak nanti si anak mampu berjuang dan bertahan dalam kondisi apapun dengan 3 cara:
(1) Membangun budaya belajar untuk mengasah inisiatif dan komitmen anak terhadap proses.
(2) Membangun keterampilan belajar pada anak. Karena kalau anak terampil belajar maka kelak insyaaAllah dalam kondisi apapun anak terbiasa untuk beradaptasi hingga mampu menyesuaikan diri.
(3) Mengajarkan manajemen diri, sehingga anak mampu memahami tujuan, rencana, manajemen waktu yang sesuai serta dapat mengevaluasi diri.

Degg..wah terdengar beraaat ya. Tapi ya memang itulah tugas orang tua. Baik sekolah formal maupun non formal oran yua saja tidak bisa serta merta melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut karena pengajarannya tentu bersifat kontinyu. Nggak cukup dengan menyerahkan pada lembaga pendidikan atau kepada gurunya di sekolah thok.

Orang tua merupakan fasilitator utama dalam proses belajar anak, baik dalam hal akademis maupun non akademis. Terlebih dalam ketuntasan emosi dan pembentukan karakter anak, tentu saja orang tua memiliki peran yang sangaaaat besar. Jangan sampai orang tua lah yang justru mematikan potensi anak dengan salah merespon ketika anak menunjukkan minat atau periode sensitif. Karena anak itu sangat perlu diberi ruang untuk bereksplorasi lalu diapresiasi sembari didampingi. Dengan begitu insyaAllah anak-anak kita akan mampu bertumbuh menjadi anak-anak bahagia yang berprestasi dengan apapun ragam potensinya. 

Jadi kemarin pulang seminar itu rasanya langsung bertekad untuk lebih bersabar mendampingi Atha bereksplorasi, main-main dan selalu berusaha memberi respon positif terhadap apa yang ditunjukkannya. Tentu taaak semudah teori..tapi insyaAllah ummi selalu berusaha ya nak. Semoga bermanfaat :D