Jumat, 31 Januari 2014

Random Text

Pasti bisa ditebak. Kalau saya sedang rajin menulis seperti ini adalah pertanda bahwa saya juga sedang lebih banyak membaca. Lebih sabar menyimak banjir kata-kata di dashbord tumblr. Lebih sabar menyimak paragraf-paragraf dari buku yang terhutang. Dan jika tulisan dalam blog ini kacau balau semrawut tegak miring tidak rata kiri kanan, maka hal ini juga pertanda: saya terlalu malas bersabar untuk menyalakan laptop.

Masih di penghujung Januari. Sepertinya saya overdosis tulisan galau. Saya juga bingung kenapa dashboard tumblr saya penub dengan tulisan galau khas golongan awal 20-an, haha. Okelah skip bagian galau. Saya hanya ingin sedikit bercerita ngalor ngidul. Tentang betapa saya sangat suka menyimak tulisan yang berisi curhat. Tentang pengalaman terhadap sesuatu. Tentang cerita-cerita orang lain. Rasanya seperti membaca banyak cerpen seru.

Bukan hanya membaca, saya juga tidak pernah keberatan menyimak cerita-cerita. Mulai curhat galau TA, galai karir sampai galau jodoh. Rasanya takjub mendengar banyak hal yang dirasakan oleh seseorang, apalagi yang saya belum pernah mengalami.

Salah satu hobi saya adalah menyimak curhatan di blog. Hal yang asyik dilakukan sembari menebak-nebak seperti apa penulisnya. Kalaupun penulisnya adalah seseorang yang sudah saya kenal, saya pasti masih saja akan terheran-heran: ada sisi lain yang berbeda, yang hanya muncul dalam tulisan seseorang tersebut.

Tidak jarang saya berdecak kagum, juga tertegun ketika meyimak cerita-cerita. Betapa hidup sungguh memiliki ribuan jalan cerita. Ada yang terlampau pahit, ada yang terlampau manis, tentu saja ada juga yang biasa. Belakangan seorang teman menyodorkan link cerpen yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Ceritanya cheessy sih, percintaan. Tapi latar belakang tokohnya yang seorang penderita depresi hingga melukai diri sendiri terasa begitu pelik. Juga cerita dunia kerja yang penuh mafia oleh sahabat dekat saya. Hidup orang-orang di luar sana tidak kalah pelik. Dan hal itu membuat saya banyak bersyukur dengan hidup yang begitu lurus dan sederhana seperti sekarang. Bahagia, aman, sejahtera.
Sepertinya ada yang bilang bahwa umur kita tidak akan cukup untuk mengalami segala hal. Maka belajarlah dari pengalaman orang lain. Tidak perlu ikut mencoba loncat dari jurang untuk tahu apakah sakit atau tidak. Tanya saja pada yang sudah pernah, hehe.


Jadi, dengan menyimak tulisan Agustinus wibowo, Pramoedya Ananta Toer, Salim.A. Fillah,anonim atau siapapun yang menuturkan banyak hal yang kita belum mampu mengalami atau mengambil hikmah darinya, bisa menjadi sebuah charger isi hati dan kepala. Aah..saya selalu merindukan perasaan seperti ini. Perasaan ingin berkata, perasaan syukur karena mengetahui sesuatu yang baru. Perasaan yang seringkali tanpa diundang muncul berlompatan karena terusik sebuah paragraf atau selarik kata. Hmm..sudah ah. Saya semakin random membahas macam-macam, haha..selamat akhir bulan .

Kamis, 30 Januari 2014

Perjalanan: Tidung di Bulan Desember

Heeeeuuuu!ini adalah postingan pertama saya di bulan Januari, setelah tahun baru yang besok akan menjadi sooo..yesterday. Tulisan ini ditulis sembari rerebahan di kasur di depan komputer, di ruangan yang lebih mirip kosan daripada back office studio. Here we go, sedikit cerita akhir dan awal tahun saya yang nano-nano kaya rujak buah di alun-alun!

Di penghujung tahun 2013 kemarin saya mendapatkan dua buah perjalanan yang luar biasa. Bukan hanya luar biasa randomnya, tapi juga luar biasa ngaconya. Sebenarnya saya ingin menceritakan dua perjalanan tersebut satu persatu, tapi gimana ya? yasudah satu satu saja lah! *nyengir takut ditimpuk.
Jadi cerita pertama adalah tentang perjalanan ke pulau Tidung, di bulan Desember. Yaak, yang ingin mencaci maki kebodohan penulis dengan melaut di bulan desember boleh teriak sekarang. Semua ini memang karena saya yang keras kepala ingin ke Pulau Tidung dulu sebelum pulang ke Madiun. Lha gimana lagi, kan nanti jauh kalau harus berangkat dari Madiun. Sempat beberapa kali diagendakan sebelum bulan Desember sebenarnya, tapi karena kesibukan kantor tidak memungkinkan saya untuk cuti jadilah belum kesampaian sampai Desember. Maka sekarang lah saatnya, sebelum saya semakin jauh dari wilayah barat, saya harus berangkat!


Awalnya anggota rombongan perjalanan ini tentu saja hanya saya dan Niken. Dengan rencana perjalanan seadanya, ngeteng ga jelas, nginep dimana ga jelas. Tapi ya kita berdua memang sudah sering berada dalam situasi yang tidak jelas, jadi yasudahlah..nothing to worry. Sampai saya menceritakan rencana tersebut di grup kelas bunga matahari, semuanya antusias ingin ikut lalu tercengang atas kebodohan kami berdua terhadap rencana yang tidak jelas di atas. Dari komentar "Ini Desember woy, serius mau ke laut?", " Kalian beneran mau tidur di masjid aja?? berdua cewe-cewe???",
Akhirnya Imon, menengahi dengan menawarkan jasa mencari biro perjalanan agar perjalanan ini one step closer dari rencana ngawang-awang khas pemuda labil.


Info biro perjalanan sudah di tangan. Sekarang perdebatan siapa yang jadi ikut menjadi agenda baru. Yang awalnya antusias ikut satu persatu mengurungkan niat. Dari yang alasan tiket tidak di acc, bentrok jadwal ko ass sampai berbagai alasan indah lainnya. Oke baiklah, saya mendongkol. Saya sudah bertekad, mereka berangkat atau tidak saya akan tetap berangkat. Kengawuran saya kambuh.
Ancaman tersebut berhasil. Akhirnya formasi rombongan terbentuk. Imon dan ibunya menjadi tamu istimewa jauh-jauh dari Surabaya. Yang lain tentunya penghuni wilayah barat: Emon, Ocha, Niken dan saya sendiri. Sampai hari H, saya dan Niken sudah siap sedia menunggu travel yang ternyata telat hampir dua jam karena perbaikan jalan tol. Rencana sampai sebelum gelap otomatis batal. Yang lebih parah lagi, rupanya Ocha juga berangkat dari Bandung selesai dinas luar. Hampir menjelang jum'atan bahkan dia belum memastikan apakah bisa menyusul.

Dalam situasi yang semakin tidak terduga, saya dan Niken bersikeras menggunakan bus transjakarta menuju Sunter, pos pertama tempat menginap malam ini yang tidak lain adalah rumah budhe Imon. Dan rupanya, rute yang harus kami tempuh luar biasa panjang. Akhirnya hampir pukul 22.00 kami sampai di Sunter, disusul Emon 15 menit kemudian yang berjalan kaki, lalu Ocha yang masih menyeret koper dengan setelan rapi. Anggota lengkap. Siap berangkat esok pagi.

Adzan subuh belum lagi terdengar, Imon sudah semangat 45 membangunkan kami. Setelah bersiap, jam 5 pagi kami berangkat menuju Muara Angke. Sesampainya di sana, wangi khas pasar ikan menusuk hidung. Kapal-kapal yang hendak memuat penumpang menuju kepulauan seribu sudah siap berjajar. Langit sempurna abu-abu. Hujan turun gerimis. Kami sibuk foto-foto norak.
Bagi saya dan Niken yang memang menjadikan perjalanan ini misi akhir tahun tentu saja luar biasa. Saya menatap puas ke lautan yang semakin lama berubah menjadi hijau-biru. Cuaca cukup menyenangkan, kami melewatkan setengah jam perjalanan pertama dengan membicarakan banyak hal. Maklum, ini semacam reuni kecil. Hampir satu tahun kami tidak bertemu satu sama lain.

Reuni syahdu kami terhenti mendadak. Tiba-tiba hujan turun gerimis. Laut yang semula tenang mulai bergolak. Saya terpaksa mengungsi ke lambung kapal karena goncangan yang semakin kuat. Saya masih sok cool dan sok asyik. Berdiri menjaga keseimbangan lama-lama membuat saya pusing juga. Cuaca tak kunjung membaik, padahal sudah hampir satu setengah jam perjalan. Nahkoda kapal akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak menunggu cuaca membaik, kapal ditambat di dekat pulau Burung. Saya yang sedari tadi bosan dan mual berada di bawah menyusul Emon dan Ocha yang sekarang basah kuyup karena tadi sok keren tidak bergeming di bagian depan. Kami akhirnya berpindah ke sisi samping hingga kapal kembali diberangkatkan.

Cuaca rupanya memang tidak bisa diajak kompromi. Gelombang kembali meninggi, kapal berkali-kali dihantam ombak dari samping hingga oleng. Saya, Emon dan Niken yang semula di luar sekarang mulai mlipir ke dalam kabin nahkoda. Suasana di kabin nahkoda ternyata lebih horor, terdapat penumpang ibu-ibu yang sudah mulai merapal doa-doa. Nahkoda tampak gugup, berkali kali menyalakan rokok dan membuangnya ketika masih separuh. Saya juga tidak kalah panik dalam hati. Membisu sambil berdoa dalam hati adalah satu-satunya hal yang saya bisa. Nahkoda kembali menghentikan kapal, kali ini rupanya beliau kehilangan arah. Rute yang diambilnya memang berbeda dari biasanya, apalagi kalau bukan demi mengakali gelombang besar. Perjalanan baru separuhnya ketika asisten nahkoda berteriak knalpot kapal meleleh, situasi semakin tidak menentu sepertinya. Nahkoda sudah berkali kali berterial kesal, dia kehilangan arah petunjuk menuju pulau. Dari jauh sebenarnya pulau Tidung sudah tampak, tapi tetap saja, kapal belum bisa melanjutkan perjalanan karena gelombang besar. Kabin semakin riuh oleh surat-surat pendek. Niken tetdiam pucat, saya dan Emon sesekali berpandangan, Ocha masih bertahan di luar. Saya merapal doa apapun yang saya bisa ketika ombak kembali menghantam kapal, Emon tampak membaca kutipan dari Al Kitab. Waktu itu pikiran saya sudah kemana-mana. Antara takut dan pasrah. Kalau kapal ini terbalik, saya akan berakhir di sini. Apalagi yang bisa saya harapkan, pelampung jauh di bawah sana, berenang saya tidak bisa. Ah..saya bahkan tidak pamit bapak dan ibu sebelum pergi, saya tidak akan sempat mengucapkan selamat tinggal.

Nahkoda sekuat tenaga menyesuaikan arah kapal dengan gerakan ombak. Sesekali kami masih di hantam gelombang. Tapi rupanya badai berhasil dilalui, kami sampai setelah 5 jam terombang ambing di tengah laut. Tepat sebelum pukul dua belas siang waktu Tidung. Kami beriringan menuju penginapan dengan perasaan lega luar biasa. Tuhan memberikan kesempatan untuk sampai di pulau kecil yang ternyata ramai ini.

Penginapan kami tepat di pinggir laut. Dari teras terlihat lautan lepas biru toska. Subhanallah sangat indaaaah! saya sempat menuntaskan satu juz sembari menikmati semilir angin laut. Menghadap ke hamparan biru toska. Menjelang sore kami bersiap menuju area snorkling. Saya tidak sabar menunggu- nunggu bagian ini. Saya ingin membuktikan perkataan teman-teman saya: Siapapun bisa snorkling!. Benarkah? saya ingin membuktikannya.

Peralatan lengkap sudah terpasang. Ocha, Emon, Niken, sudah lebih dulu loncat ke laut. Tinggal saya yang dipaksa-paksa Imon untuk segera turun. Waittt!!! saya takut setengah mati, tapi masa sudah jauh-jauh kesini saya melewatkan kesempatan untuk snorkling? bulankah saya sudah pakai pelampung? bukankah semua orang pasti bisa mengambang? baiklah saya loncat!dan apa yang terjadi? saya rupanya tidak bisa snorkling saudara saudaraaa...penonton kecewa, saya juga kecewa dan memilih segera naik ke perahu. Menikmati angin sore sembari menatap iri semua teman saya yang asyik memandangi ikan dan karang. Tapi Niken dengan bijak menghibur: "Seenggaknya kamu udah nyoba kan, Ko. Bahkan aku nggak nyangka kamu mau ikutan nyebur," . Oke, cukup menghibur.
Sisa sore setelah bermain air kami diajak bersepeda menuju pantai dengan agenda melihat matahari terbenam. Kami menyusuri jalanan perkampungan yang hampir semuanya dijadikan homestay menuju lokasi. Perjalanan yang cukup mengasyikkan kecuali kenyataan bahwa matahati terbenam tidak terlihat karena tertutup mendung.

Keesokan paginya hujan sudah mengguyur pulau sejak subuh. Padahal masih ada satu agenda lagi sebelum meninggalkan pulau jam sepuluh pagi: mengunjungi jembatan cinta. Akhirnya di bawah gerimis kami mengayuh sepeda menuju jembatan cinta. Saya penasaran dengan namanya, ada apa sih di sana kok disebut sebagai jembatan cinta?. Kami memarkir sepeda di tepi pantai dan dilanjutkan berjalan kaki menuju jembatan cinta. Jadi ini toh jembatan cinta yang tersohor itu. Jembatan melengkung berwarna merah muda disambung jembatan panjang yang mebentang di antara Pulau Tidung dan Pulau Tidung Kecil. Dibeberapa tepiannya terdapat beberapa shelter dengan atap, hujan yang semakin deras tetap saja membuat kami basah meskipun di bawah shelter yang padahal sudah mirip payung raksasa. Angin kencang menusuk-nusuk badan saya yang waktu itu masih kurus hingga ke tulang.

Akhirnya setelah hampir satu jam terjebak hujan kami memutuskan untuk kembali ke pantai. Hujan tidak kunjung reda hingga kami kembali ke jembatan merah muda. Ocha, emon dan mbak Anin malah menyempatkan diri loncat dari jembatan cinta tanpa pelampung, saya yang sejak tadi sudah kedinginan semakinembeku bergidik ngeri setengah pengen melihat kelakuan mereka. Iri hati lagi.
Hampir pukul sembilan kami kembali ke penginapan dengan baju basah kuyup. Satu jam lagi kami sudah harus meninggalkan penginapan. Kami terburu buru mandi dan berkemas sebelum menuju pelabuhan.

Pukul 10 lewat sedikit kami akhirnya angkat kaki. Kapal sudah berjajar rapi. Pihak biro menjanjikan kapal dengan tempat duduk untuk kali ini, bukan seperti kapal yang kemarin kami tumpangi. Saya yang sebenarnya masih agak ngeri diam-diam menyiapkan mental. Semoga kali ini perjalanan lancar.
Pukul 12 kapal akhirnya berangkat. Saya meringkuk menahan mual di lambung kapal. Orang-orang sudah mengambil posisi bergelimpangan memenuhi lantai. Lho, katanya kapalnya berkursi??, good question. Tadi kami disuruh pindah kapal tanpa alasan yang jelas, sepertinya ada oknum yang tidak bertanggung jawab. Imon sudah berkali-kali komplain tentang hal ini, tapi apa daya. Toh kapal sudah berangkat sekarang. Kami kembali menuju Muara Angke. Di luar dugaan laut hari ini cukup tenang, biarpun gerimis sepanjang siang. Saya bisa tidur nyenyak nyaris bermimpi ketika di kapal. Pukul empat sore kami sudah kembali berada di Sunter.

What a relief. Akhirnya saya kembali ke daratan. Ocha dan Emon berpisah dengan kami dari Sunter. Emon kembali ke kosan, Ocha ke Cilegon. Saya, Niken, Imon, tante dan mbak Anin akan melanjutkan perjalana ke Bandung esok harinya. Akhirnya perjalanan ke Tidung berakhir. Dan saya punya cerita seru tentang banyak hal baru. Tepat di penghujung tahun, di bulan Desember.