Jumat, 14 Februari 2020

Belajar Menggendong dari Ahlinya

Sabtu minggu lalu akhirnya tamu istimewa yang saya tunggu-tunggu datang juga. Beliau adalah dokter Ika Fairuza, seorang anggota Indonesian Baby Wearing (IBW) dan juga satu-satunya konsultan menggendong di Pulau Batam. Ada agenda apa kira-kira?

Sangat tidak mudah menemukan jadwal yang pas untuk bertemu mbak Ika ini. Sekitar satu bulan setelah janjian akhirnya kami benar-benar bisa bertemu. Setelah selama ini saya hanya mengenal Mbak Ika lewat Instagramnya, akhirnya bisa bertemu langsung dalam kelas khusus menggendong atau yang beliau sebut home visit.

Berawal dari keisengan saya bertanya tentang gendong menggendong kepada buk Arum karena pusing harus jagain dua anak, eh malah berujung mendapat kiriman ring sling dan stretchy wrap-nya Foglia. Bagi yang belum tahu apa itu Foglia, Foglia adalah salah satu produsen gendongan lokal yang mengahadirkan produk gendongan yang kualitasnya kece badai dengan harga yang tetap ramah di kantong. Cocok lah buat ibu-ibu Indonesia ini yang maunya bagus tapi harganya murah, hehehe. Nah, buk Arum ini adalah sahabat seperjuangan saya dulu di Desain Produk juga di Kriya Nusantara yang adalah owner brand Foglia.
Sudah dikirim gendongan, saya juga dikasih bonus konsultasi dengan mbak Ika. Kenapa harus repot-repot konsultasi cara menggendong? karena Ruby masih bayi sehingga harus belajar dari ahlinya, gitu kata Buk Arum.


Sesi belajar menggendong kami tidak terlalu lama, hanya sekitar satu jam. Dimulai dengan perkenalan jenis gendongan, dan mengidentifikasi jenis-jenis gendongan yang saya punya. Ternyata di rumah saya ada cukup banyak gendongan, mulai dari jarik tradisional, jarik modern (yang juga disponsori oleh Foglia jaman Atha dahulu), Stretchy wrap berbahan kaos, Ring sling berbahan linen yang kokoh dan stretchy wrap berbahan Tencel yang diklaim breathable dan anti bakteri teranyar dari Foglia. Dari kesemua itu kami mencoba gendongan jenis ring sling dan stretchy wrap.

Mbak Ika meneliti satu persatu 'koleksi' gendongan saya, dan menyampaikan info-info terkait gendongan tersebut. Jarik tradisional maupun jarik panjang Foglia bisa digunakan sejak bayi 0 bulan dengan teknik yang benar. Stretchy wrap berbahan kaos sebetulnya kurang nyaman karena lama kelamaan akan 'melorot' jika digunakan, ditambah lagi bahannya panas sehingga membuat bayi tidak nyaman. Setelah itu saya diminta memilih kira-kira gendongan jenis mana yang akan sering saya gunakan untuk dicoba cara pemakaiannya.

Pilihan saya jatuh pada ring sling dan stretchy wrap berbahan tencel, karena saya sering kesulitan menggunakan jarik tradisional (bahkan dengan teknik jangkar sekalipun) karena ribet, susah di adjust apalagi jika harus lepas pakai karena menyusui. Stretchy wrap tencel pun ingin saya coba karena bahannya beda, ringan dan ukurannya tidak terlalu panjang, tidak seperti milik saya yang puanjang rempong, berat dan belibet makainya. Setelah itu mbak Ika mencontohkan cara memasukkan kain ke dalam ring, mengajarkan cara mengatur keketatan gendongan hingga memasukkan dan mengeluarkan bayi dari gendongan. Secara teori kelihatannya mudah dan gitu aja lah kayanya gampang, hingga akhirnya dicoba menggendong Ruby ternyata masih belum lancar juga, haha. Setelah beberapa kali percobaan akhirnya saya baru menemukan posisi yang pas dan enak dalam menggendong.

Selanjutnya kami mencoba stretchy wrap, dan langsungi dibuat jatuh cinta dengan bahan tencel! Ringan, lembut dan dingin ditambah motif dan warnanya yang MasyaaAllah cantik. Mbak Ika mengajarakan beberapa metode, salah satunya Front Cross Carry (FCC) menggunakan stretchy wrap. Menggunakan gendongan jenis ini jangan ragu-ragu untuk menarik kencang ketika membuat 'kantong' gendongan karena bahannya melar. Perlu waktu yang lebih lama bagi saya untuk mengikuti tutorial mbak Ika dengan jenis gendongan ini. Meskipun dulu juga sudah pernah mencoba, tapi selain faktor lupa juga pada dasarnya teknik ini lebih banyak menggunakan ilmu perasaan dan kemahiran karena kebiasaan untuk memasukkan bayi dalam kantong gendongan. Mbak Ika bahkan biasanya memasang gendongan sambil bercermin agar lebih mudah, yah apalagi saya ..apa kabar banget, nggak lulus-lulus. Tetapi konon keribetannya sebanding dengan ketahanan si bayi tertidur pulas dalam gendongan, betah!

Dalam menggendong, mbak Ika terlebih dahulu menyampaikan kepada saya bahwa posisi bayi harus menempel, kepala bayi harus cukup dekat dengan wajah kita sehingga kita bisa mencium bayi. Dan posisi bayi seperti itu paling maksimal didapatkan dengan gendongan tanpa struktur yang sekarang banyak sekali jenisnya dan sangat mudah dijumpai. Menggendong bisa membangun bonding yang kuat antara ibu dan bayi, membuat bayi tidur lebih nyenyak,bahkan bisa menjadi obat mujarab untuk baby blues. Penting untuk diingat bahwa posisi yang baik pada saat menggendong adalah mengikuti bentuk tubuh alami bayi, yaitu dengan posisi kaki membentuk M-Shape. Menggendong dapat menghindarkan bayi dari cedera tulang dan mengoptimalkan pertumbuhannya jika dilakukan dengan teknik yang tepat. Karena saya yakin, pasti banyak sekali ibu di luaran sana yang kena tegur atau dipelototin dan ditatap penuh tanda tanya oleh tetangga, sanak saudara atau bahkan ibu dan mertua ketika menggendong bayinya dengan posisi M-Shape atau pekeh dalam bahasa Jawa,nanti kakinya ngangkang, gak bagus!!!!! padahal ya posisinya yang benar memang seperti itu.

***
Pertemuan singkat antara saya dan mbak Ika ditutup dengan wejangan dari beliau untuk sering-sering menggendong agar semakin mahir. Boro-boro mau minta diajarin tandem gendong depan belakang, rupanya menggendong dengan ring sling saja saya belum sepenuhnya lulus. Masih terkadang lupa menahan punggung Ruby ketika memasukkan ke dalam gendongan. Teknik FCC pun harus saya hempaskan dulu untuk sementara waktu karena nggak mahir-mahir.

Dulu pada saat Atha bayi memang saya tidak sering menggendong karena takut 'bau tangan'. Sekarang rasanya kalau masih sanggup inginnya banyak-banyak menggendong Atha dan Ruby karena beneran masa-masa ini nggak akan terulang dan cepaaat sekali berlalu. Terimakasih banyak pada buk Arum atas segala support dan sponsornya yang sungguh tak ternilai harganya. Bagi yang ingin mengetahui lebih banyak tentang menggendong, silahkan mampir ke akun instagram (at)faridarum. Beliau sering membagi info dan tips tentang menggendong di akun instagramnya tersebut, atau juga bisa mampir ke akun (at)afifahmmnh yang juga aktif berbagi tentang menggendong dalam highlight : Baby Wearing Wednesday-nya. Beliau juga sahabat seperjuangan saya dulu di kampus, hihi.

Semoga Bermanfaat!
Mejeng bersama Mbak Ika pakai stretchy wrap Foglia :))



Sabtu, 08 Februari 2020

Menolak Menyerah pada Dugaan Batuk Rejan


Istilah batuk rejan mungkin sudah sering kita dengar. Penyakit yang juga dikenal sebagai batuk seratus hari atau pertusis ini bisa jadi bukan termasuk penyakit berbahaya. Tetapi lain ceritanya jika  penyakit  menjangkiti bayi, terutama yang belum mendapatkan vaksin DPT. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri bordetella pertussis ini merupakan penyakit yang harus mendapatkan penanganan serius karena bisa mengakibatkan henti nafas (apneu) sehingga menyebabkan kematian pada bayi. 

Serem? 

Saya tidak bisa tidur sepanjang malam setelah mendengar dugaan dokter terhadap Ruby. Saya 'ngubek-ubek' internet dan kanal youtube untuk mencari informasi tentang pertussis dan pengobatannya.

Apakah betul pengobatannya harus menggunakan antibiotik? Seberapa efektif pengaruhnya terhadap kesembuhan batuk? Apa kmungkinan terburuk jika tidak tertangani dengan baik? 

Dan hasilnya nggak ada yang melegakan. Sebaliknya, hampir semua artikel menyarankan agar bayi yang terpapar penyakit ini dirawat di ruang isolasi karena adanya resiko kematian mendadak. Saya juga nggak sanggup rasanya nontonin video-video para bayi pertussis. Sama seperti halnya ketika Ruby batuk, kalau bisa saya wakili biar saya aja yang batuk. Habis air mata saya nangis bombay malam itu. 

Dokter sempat meminta saya merekam batuk yang dialami Ruby untuk memastikan apakah memang pertussis atau bukan. Pada kunjungan ke-2, saya kembali membawa hasil rekaman dan mendapatkan kepastian bahwa secara klinis menurut dokter Ruby terpapar pertussis. Pemberian antibiotik adalah hal yang disarankan dokter, tapi karena saya masih saja bimbang akhirnya kami pulang tanpa menebus resep. Malamnya kembali saya memutar ulang video batuk Ruby, mengirimkannya pada beberapa teman meminta pendapat hingga berakhir pada kesimpulan untuk konsultasi ke DSA lain untuk mencari second opinion. 

Oiya, sebelum saya mantab mencari DSA lain saya mencoba meyakinkan diri dengan beberapa pertimbangan:
1. Potongan artikel yang dikirimkan oleh beberapa teman dari buku dr. Apin, bahwa pemberian antibiotik setelah lewat masa inkubasi hanya akan mencegah penularan pada orang lain, bukan mengobati penderita.
2. Batuk yang diderita Ruby tidak konstan. Memang terdengar seperti ada tarikan napas yang mendengking (whooping, dalam bahasa inggris pertussis juga dikenal sebagai whooping cough) tetapi batuknya hanya sesekali.
3. Mau kembali ke DSA pertama nggak bisa karena beliau ke luar kota, jadi terpaksa mencari DSA lain (antiklimaks banget ya, :))
4. Saya nggak tega dan nggak rela Ruby yang umurnya baru 13 hari harus terpapar antibiotik.

Akhirnya saya membuat janji dengan DSA di RS. Awal Bros Batam dalam rangka mencari second opinion dan berharap mendapatkan tindakan segera jika memang Ruby positif terpapar pertussis. Setelah lama menunggu dan  mendapatkan giliran periksa, saya sengaja tidak mengatakan terlebih dahulu dugaan pertussis yang dinyatakan DSA sebelumnya agar tidak mempengaruhi pemeriksaan dokter. 

Benar saja, ternyata hasilnya berbeda. Dokter menyatakan kemungkinan ada alergi bawaan dari orangtua, sehingga meyebabkan batuk.  Lalu saya menceritakan pada dokter diagnosa pertussis sembari menunjukkan video batuk Ruby. Setelah melihat rekaman video, dokter berpikir sejenak, lalu kembali berkata bahwa beliau lebih condong pada alergi karena kondisi batuk yang tidak terus menerus. Saya diminta meneruskan pemberian balsam pada Ruby, pengencer dahak, serta ditambah obat alergi. Selanjutnya meneruskan pantangan makanan terhadap kacang tanah, ikan laut, telur dan susu untuk sementara waktu hingga batuknya sembuh. Kami pulang dengan lega, dalam hati saya sangat ingin percaya bahwa Ruby benar-benar tidak terpapar pertussis.

***
Hari ini sudah lebih dari satu bulan setelah kunjungan terakhir kami ke DSA. Saya masih belum berani mengkonsumsi pantangan makanan, meskipun beberapa kali juga terlupa melanggarnya. Lalu bagaimana kondisi Ruby?

Alhamdulillah batuk sudah sembuh setelah beberapa hari saya stop memakan beberapa jenis makanan sesuai anjuran dokter, tidak ada lagi batuk yang konstan membuatnya sulit bernapas. Muntah ketika menyusu masih sesekali terjadi tapi karena tersedak. Obat alergi dan pengencer dahak juga sama sekali tidak saya berikan setelah kunjungan terakhir dari DSA.

Meskipun belum sepenuhnya mengetahui apakah batuknya alergi dan apa alergennya, saya hanya berharap semoga tidak ada lagi malam penuh drama berlarian membawa Ruby ke UGD. Karena rupanya melihat Ruby menangis kesakitan dan harus pura-pura strong itu lebih menyakitkan daripada sakit apapun.