Sabtu, 25 Mei 2013

Manja


Hari ini, kalender rupanya berwarna merah. Bukan lagi kejutan karena memang sudah sejak lama sengaja diingat-ingat. Satu minggu terakhir, ah tidak..sepertinya satu bulan terakhir alhamdulillah didera kesibukan yang rasanya tidak bertepi. Lelah?lelah sekali, hingga tanpa sadar membuat sesumbar berbagai reward apa yang harus diberikan pada diri sendiri atas aksi 'jungkir balik' belakangan.

Semudah itu rupanya untuk menjadi lelah. Lelah terhadap rutinitas dunia, lelah dengan kondisi yang menjemukan, lelah membimbing diri sendiri. Belakangan, di dalam deraan kesibukan, rupanya keluhan terlalu mudah diratapkan. Mengeluh betapa 'sibuk' nya satu hari duduk-sampai-capek di kantor juga 'sibuk' memanajeri mata yang melek-sampai-burem di depan komputer, yang bukan saja pedas bukan main tapi juga mengantuk bukan main. Mengeluh betapa sedikit-nya jatah "me-time" yang tersisa sembari diam-diam mengutuki berbagai macam orang dan keperluan yang tidak sudi meninggalkan kesunyian di kamar.  Mengeluh betapa waktu begitu cepat bergulir tanpa mampu menikmatinya, bahkan untuk sekedar tidur siang. Wah, panjang juga rupanya daftar keluhan ini.

Sampai di tengah siang bolong, sembari duduk merosot di kursi tulisan seorang sahabat  menampar pipi saya. Sakitnya di hati, tertohok antara malu dan. .malu lagi. Betapa sang sahabat, yang hidupnya didedikasikan untuk umat masih mampu menuliskan dengan semangat betapa nikmatnya mengurus banyak hal. Kepentingan jamaah, umat, misi dakwah, yang diprinsipkan menjadi lebih utama dari 'nafsu' pribadi menjadi spirit booster yang luar biasa. Beliau hampir tidak memiliki waktu bagi dirinya untuk sekedar menikmati waktu luang, "teringat ada banyak hal yang harus diselesaikan. ." tulisnya. Betapa luar biasa? bagaimana bisa? Seketika, di kepala muncul berbagai kelebat pikiran dan pertanyaan:
Jika yang seperti ini saja, yang selalu disibukkan oleh urusan jamaah, tanpa peduli siang-malam,liburan atau tidak libur. Selalu dan selalu memikirkan umat, pekerjaan mulia yang begitu mendasar dari seorang manusia saja, tidak kenal dengan kata lelah. Lantas, dapat hak prerogatif dari mana seorang manusia sok sibuk-pengejar eksistensi semu-penuh sesumbar hedonisme dunia ini mengeluh pada pada Tuhannya?


Oh, tidak juga sekedar mengeluh. Bahkan juga merengek lewat doa-doa kilat selepas sholat yang jiwanya terbagi. Merengekkan dunia dan isinya, mengeja keinginan yang boro-boro menyangkut umat. Betapa memalukannya, yang mengeluh lelah hanya karena seminggu terakhir kurang tidur karena -proyek-entah-apa dan sumpah-demi-apa-itu. Betapa memalukannya, yang mengeluh karena satu dua tanggal merah terinterupsi acara silaturahmi, yang mengeluhkan dua jam halaqah untuk peningkatan kualitas diri. Betapa egoisnya diri ini sebagai seorang manusia? Betapa manjanya? menuntut dan terus menuntut pada Sang Pencipta tanpa terlebih dulu melaksanakan kewajiban.
Ah, iya terlalu manja. Sedikit saja diberi kesibukan mengeluh. Sedikit saja diberi tanggung jawab melenguh. Takut menanggung resiko lah, tidak mau ambil pusing lah, dan entah berapa juta alasan lagi yang akan dilontarkan. Tapi sebenarnya hanya satu: Manja. Badan yang tidak lagi dinavigasi oleh jiwa yang sehat ini harus segera direvitalisasi! bergerak, bergerak, bergerak! bukan hanya badan tapi juga pikiran. Bukan sekedar lari pagi melainkan kontribusi. Tersedia banyak pintu untuk menuju perbaikan diri, juga dari aksi 'sok manja' ini. 

Bukankah pula Tuhan telah berjanji takkan menguji di luar kesanggupan seorang manusia? menjadi manja hanya akan mematahkan langkah menjadi seorang yang lebih luar biasa.  Jadi, jangan cuma meminta dimudahkan saja, jangan manja!