Minggu, 13 September 2015

Hello Again!

Astaga. Lagi-lagi saya lupa dengan 'rumah' ini. Sudah terlalu lama mebiarkan berandanya berdebu, juga sudah lama membiarkan isinya usang tak bertambah, hehe. Janji-janji palsu ya akan menulis minimal sekali setiap pekan. Hari ini pun tergerak untuk membuka lagi karena ingin mengintip cerita terbaru persiapan pernikahan Imon. Baiklah, waktu berlalu dengan sangat cepat. Begitu juga sudah banyak sekian cerita yang terlewat. Untuk beberapa saat ke depan, akan ada banyak cerita yang terlalu mencengangkan. 

Juni, Juli, Agustus, September.
Genap 4 bulan ya, tidak update terbaru! cerita rafting baru part 1, padahal ada cerita Coban Rondo, kebun apel dalam Malang part 2, Tawangmangu, PopCon Asia di Jakarta Agustus lalu, hingga Weekend Bandung feat Supri dan Muti. 

Selain deretan trip-trip di atas yang belum sempat dituliskan semuanya, saat ini saya sedang menuju sebuah perjalanan besar dalam hidup. Sebuah kejutan yang datang di hampir penghujung tahun yang bisa jadi adalah kado dari Allah setelah berbagai hal yang membuat saya jatuh-bangun di awal tahun.
Sebuah akhir sekaligus awal yang..emm..besar. Yang meskipun begitu belum mampu membuat saya bangkit dari ke malas gerak-an ini, haha!

Ah, masih bisa menggunakan alasan lelah memikirkan Kelas Inspirasi ;p (Ohiya, ada juga hajat besar Kelas Inspirasi Madiun #3 yang baru saja selesai minggu lalu). Ternyata ketika diabsen banyak halo yang terjadi ya selama 4 bulan terakhir. Dan sepertinya tahun ini adalah tahun turning point saya banget. 

Dalam perjalanan yang saya lalui belakangan, surat Ar-Rahman selalu membuat saya berhenti sejenak. Allah Maha Baik. Dia menyertai saya dalam setiap fase naik turun yang saya lalui. Saya masih mengingat betapa suara saya bergetar pagi itu ketikan melantunkan Ar-Rahman, juga bagaimana saya dipertemukan kembali dengan surat ini dalam momen-momen penting yang membutuhkan suntikan kekuatan lebih. 

Kali berikutnya, saya akan menunggu dalam waktu bagaimanakah Allah mempertemukan saya kembali dengan Ar-Rahman. 

Halo, sampai bertemu kembali dalam persiapan menuju babak baru. :)

Minggu, 21 Juni 2015

Weekend Trip: Rafting di Akhir Pekan (1)

Tanggal merah berderet di bulan Mei sudah menjadi incaran dan topik bahasan sejak lama. Tapi manusia hanya bisa berencana. Dari 4 hari total hari libur (plus hari kejepit), akhirnya tetap saja perginya pas weekend. Lagipula, anggaran jalan-jalan sudah terkikis oleh beberapa liburan mendadak di bulan-bulan sebelumnya. Liburan jarak pendek, ke Malang menjadi pilihan yang tidak kalah menyenangkan!

Setelah beberapa  kali galau menentukan itinerary, akhirnya liburan kali ini Malang menjadi tujuan liburan. Ada apa di Malang? sebelum-sebelumnya saya tidak terlalu tertarik sebenarnya dengan Malang, tapi beberapa waktu yang lalu saya sempat mendapatkan info dari seorang teman kalau ada spot rafting yang sedang naik daun. 

Yak Rafting! sudah sejak tingkat 3 saya ingin sekali menjajal rafting, sampai ditempel pakai sticky notes di cermin. Tahunya baru terwujud sekarang, yang notabene 4 tahun kemudian. Sempat mencari-cari info rafting di Mojokerto (Obech rafting), di Magelang (Ello Rafting) juga, tapi setelah ditimbang-timbang yang paling memungkinkan dituju adalah yang di Malang (Kasembon Rafting). Selain jaraknya tidak terlalu jauh, di Kasembon, Kabupaten Malang yang paling barat, mepet banget dengan Kediri, Malang juga menawarkan penginapan gratis a.k.a rumah Niken kalau kepepet malas pulang. Tapi sebenarnya, kami berencana untuk camping di Coban Rondo untuk melewatkan Sabtu malam, anak hits banget nggak sih, haha.

Sekitar satu minggu sebelumnya saya sudah memesan dan membayar uang muka untuk jaga-jaga karena kebetulan bertepatan dengan long weekend. Biaya untuk rafting per orangnya 175.000, dengan fasilitas peralatan rafting, asuransi dan makan siang. Asiknya Kasembon Rafting ini adalah sistemnya cukup fleksibel, booking via CP, dan di hari -H tinggal tunjukkan bukti transfer. Tidak ada minimal orang pula, pengurangan jumlah peserta juga tidak masalah. Hal ini sangat melegakan karena awalnya saya booking untuk 6 tapi ternyata yang bisa berangkat hanya 4 orang. Saya kira pelunasan harus dilakukan untuk 6 orang eh ternyata tidak, kami hanya perlu membayar sejumlah yang bisa datang. 

Jarak tempuh Madiun-Kasembon sekitar 3 jam dengan mobil pri badi, nyetir santai tentunya. Sekitar jam 06.30 kami sudah masuk Kasembon dengan perut keroncongan. Karena jadwal rafting masih pukul 08.30, maka kami menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu. Selesai mengisi perut, kami meluncur ke basecamp Kasembon Rafting. Jangan bingung mencari basecamp ini ya, sesuai banget kok sama peta yang dicantumkan di Website, ada Indomaret di kanan jalan (dari arah Kediri), belok kanan dan ikuti jalan. Nantinya di setiap belokan akan ada penunjuk jalan lagi. Jalannya memang masuk ke areal persawahan, dan akhirnya kami di sambut oleh gapura Selamat Datang di Kasembon Rafting setelah menyusuri jalanan selama sekitar 10 menit. (Bersambung)

***

In Memoriam, Kadek Andana


Saya sedang membaca baik-baik petunjuk metode pengumpulan data alumni tracer di Whats*App, tentang jika ada yang DO, mengundurkan diri, atau meninggal maka silahkan ditandai. Ah, tidak ada yang perlu ditandai, kami lulus lengkap sesuai daftar absen. Semuanya baik-baik saja hingga saya menggulirkan mouse dan menemukan nama Kadek Andana.

Hati saya berdesir sesaat. Sampai sekarang rasanya masih tidak percaya dengan kepergian Kadek, rasanya seperti mimpi. Ya, Kadek adalah satu teman sekelas saya semasa kuliah. Kadek adalah seseorang yang memiliki kredit baik: Ramah, rajin, ringan membantu, murah senyum, punya adik cantik yang bahkan jadi presiden KM dan hobi beraktivitas di luar ruangan. 

Beberapa bulan lalu Kadek menikahi Alma, yang baru sekali saya temui di studio TA semasa rajin mengerjakan di studio dulu. Keduanya sama-sama mencintai kegiatan luar lapangan, sebut saja mendaki. Beberapa saat sebelum gempa Nepal terjadi, Kadek juga sempat nongol di grup Whats*App dengan riang gembira.

Beberapa lama kemudian, saya mengetahui kabar pendakian Kadek ke Himalaya melalui Facebook di jejaring sosial. Wow, bulan madu nih ceritanya..mendaki Himalaya, super anti-mainstream. Di Facebook pula, Kadek menyampaikan bahwa ia memulai pendakian melalui Nepal. Nepal, negara yang masuk wishlist kunjungan saya suatu hari nanti, makin..jawdropping.

Hingga kabar bencana gempa dengan kekuatan 7.9 SR memporak-porandakan Nepal bulan Mei lalu membuat kami semua terkejut. Grup WhatsApp, Line, ribut. Facebook gempar.

Bagaimana dengan Kadek dan Alma? Apakah keduanya selamat? 

Saya hanya mengikuti perkembangan pencarian tim evakuasi dari media online dan televisi. Alumni melakukan penggalangan dana untuk memberangkatkan tim pencarian ke Nepal. Hari berganti, minggu berganti hingga bahkan bulan berganti. Laman Facebook Kadek dipenuhi dengan doa-doa agar mereka selamat. Ibu Kadek, Lundi Farida masih bersikukuh bahwa Kadek baik-baik saja hanya tidak mendapatkan akses untuk menghubungi keluarga maupun kolega. Penyisiran dilakukan, harapan terus disemai hingga ditemukan KTP atas nama Alma di Langtang Village yang telah luluh lantak oleh tim SAR asal Spanyol. Setelah itu, kabar terakhir yang saya dengar adalah Sang ibu, telah mengikhlaskan putra tercintanya. 

Kabar terakhir yang saya baca di Facebook adalah sebuah komunitas menggelar penyelenggaraan shalat jenazah ghaib untuk Kadek dan Alma. Dan grup kami pun berhenti membicarakan Kadek selain mengiring doa dalam hening. Ah Kadek dan Alma, siapa yang menyangka kalian berdua akan pergi secepat ini?

Semoga Allah mengampuni dosa keduanya dan memberikan tempat yang terbaik. Dan jika keduanya hingga saat ini masih selamat, semoga segera ditemukan dan dapat berkumpul kembali dengan keluarga.

In memoriam, Kadek dan Alma.


Sabtu, 13 Juni 2015

*Untitled*

Hanya satu waktu.
Ketika kalimat-kalimat berlalu lalang di dalam kepala.
Ketika obrolan hanya tersampaikan lewat karakter-karakter yang berterbangan di udara.
Ketika hidup serasa melodrama.
Ketika enggan membersitkan penyesalan. 

Pertanyaan demi pertanyaan menguar. 
Ah, benarkah pertanyaan? Toh tidak terjawab juga tidak masalah.
Dalam riuh mengaharapkan hening.
Dalam hening mencari-cari asal suara. 
Ini pertanda apa? 

Satu waktu.
Ingatan melompat-lompat tak tentu arah.
Teringat seulas senyum.
Teringat tawa-tawa renyah.
Teringat langkah-langkah yang terseok berat.

Merindukan biru laut dan angin lembut yang membelai ombak.
Merindukan hijau pepohonan dan dingin yang menusuk tulang.
Merindukan haru biru mencium tanah menyungkur sujud di atas dataran tertinggi.
Merindukan rasa penuh dan takjub.

Sepi bukan tidak ada yang menemani.
Hening bukan berarti tiada yang peduli.
Hanya satu waktu.
Yang niscaya akan silih berganti.


Senin, 18 Mei 2015

10 Hal yang Perlu Diingat Suatu Hari Nanti


Setiap perjalanan bagi saya memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Repotnya, nyebelinnya, serunya, nyenenginya, pegel-pegelnya..semua berbeda. Dan masih dalam edisi perjalanan -yang sebentar lagi harus dihentikan sejenak dalam rangka melengkapi cerita hidup lainnya- maka kali ini saya ingin menuliskan hal-hal random yang dapat saya simpulkan selama perjalanan. Sepotong-dua potong kalimat yang perlu dicatat untuk diingat, atau untuk tidak dilakukan kembali.

1. Meninggalkan krim pereda nyeri ketika bepergian adalah benih penyesalan yang baru akan disadari di akhir hari, menjelang tidur di tempat asing.

Beneran deh, bawa aja kalau memang ada persediaan di rumah. Aktivitas outdoor yang kamu kira ringan-ringan kapas bisa berubah menjadi semacam olahraga kesiangan yang bikin pegal-pegal leher, pundak atau kaki. Dan kalau kamu kebagian shift nyetir, krim pereda nyeri pasti sangat..sangat membantu.

2. Coba lihat orang-orang yang naik Bianglala, wajahnya sumringah banget kan? padahal dia tahu bakal di puter, kadang di atas kadang di bawah. Hidup tuh gitu aja, simple, kaya orang naik Bianglala.

Sama banget kaya kehidupan manusia, kejayaan, kesedihan, kebahagiaan, dipergilirkan. Jadi buat apa suntuk mikirin masalah hidup. Toh, bersama kesulitan ada kemudahan.

3. Ketenangan itu sumbernya dari dalam diri. Nyari jauh-jauh ke gunung, ke laut atau ke air terjun juga nggak akan nemu kalau di dalam diri masih rusuh.

Udah mendaki capek-capek tapi nggak nikmat. Nyetir jauh-jauh cuman dapet capek. Berenang sampai gosong juga nggak gembira. Lari ke gunung atau laut nggak akan menyelesaikan masalah, jadi jangan jadikan acara piknik buat pelarian dari beban hidup. Hadapi dulu baru liburan jadi reward!

4. Perjalanan berjam-jam bisa jadi memang membosankan. Tapi bukankah saat itu pula muncul kesempatan untuk berbincang lebih lama? 

Perjalanan selama menuju destinasi adalah bonus waktu ngobrol yang kadang susah banget didapatkan. It ones of quality time beetwen friends or family, lho! Plis, buang gadget jauh-jauh kalau kamu nggak mau jadi super nggak asik.

5. Menambah koleksi foto wefie atau selfie bukan satu-satunya tujuan mulia untuk berperjalanan.

Simpan sebentar gadget kamu, stop online kalau nggak perlu-perlu banget. Take a deep breath, tebarkan pandangan, dengar suara sekeliling, hayati. Emang sih, seneng kalau lihat foto bagus-bagus selama perjalanan, dan melihatnya pasti bikin kangen kerena ingat semua cerita seru. Tapi, jangan sibuk sendiri ambil gambar tanpa sempat menikmati 'gambar' aslinya. Karena apa yang bisa ditangkap mata, nggak akan bisa semuanya tertangkap kamera.

6. Sabar itu nggak ada batasnya. Semakin bersabar, semakin mudah kok ngejalanin apapun.

Pesawat delay. Telat makan. Rencana gagal. Jalanan macet. Duit habis. Yang sabar..mau marah ke siapa? marah nggak akan menyelesaikan masalah. Better bicara baik-baik dan segera cari solusi.

7. Jawaban TERSERAH itu sama sekali nggak membantu.

Serius. Tapi emang sering males mikir sih ya. Jadi yasudah, jangan ngambek kalau hasil terserahnya nggak sesuai ekspektasi.

8. Coba sesekali mengambil inisiatif, dalam hal apapun.

Sesekali nggak ada salahnya buat memulai pembicaraan, memperkenalkan diri, atau sekedar nawarin cemilan. Karena kalau semua sama-sama gengsi dan jaim minta disapa duluan, yang ada kamu hanya akan ngobrol sama isi kepala, alias monolog. Ya gapapa sih kalau niatnya emang pengen kontemplasi.

9. Bertemu orang baru, tempat baru dan suasana baru itu semacam tantangan yang juga memerlukan taktik untuk menyikapinya.

Hal ini akan mengasah insting, meningkatkan skill adaptasi, dan menambah wawasan sosial-budaya kalau bisa dilakukan dengan tepat. Ada sih resiko tengsin, semisal sok-sokan ngajak ngobrol pakai bahasa Sunda tapi ternyata pas dijawab pakai full Sunda cuma bisa mlongo. Tapi serius, hal-hal baru itu meskipun agak bikin ketar-ketir sejatinya asyik buat dieksplor.

10. Sadari kondisi sendiri, jangan pernah memaksakan apa yang nggak bisa dipaksakan.

Jangan pernah lupa menganalisa dan mengenali kondisi diri biar nggak repot sendiri. Pantangan makan, bisa atau nggak bisa berenang, takut apa nggak sama ketinggian, tahan atau nggak sama dingin. Bilang kalau nggak bisa, karena bisa saja fatal akibatnya.

Hahaha, sedikit nggak penting sih tulisannya. Tapi, kadang kita menemukan banyak hal yang harus di hightlight, diingat-ingat, justru ketika kita berada di saat yang tak terduga. Semacam tiba-tiba merenung dan mendapat hikmah, atau juga nyeplos di tengah-tengah obrolan geje. Waktu-waktu seperti itu yang kadang bisa menjadi wake up alarm, jawaban dari langit atas pertanyaan yang berputar-putar di kepala.

Jadi, nggak ada salahnya kan menuliskan sebagian? mungkin akan ada lagi beberapa wangsit yang bisa ditulis setelah perjalanan atau kejadian selanjutnya.

"Tuhan memberikan jawaban atas setiap pertanyaan di waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Hanya saja manusia kadang tidak bisa membaca kalimat-Nya. Maka diperlukan tambahan waktu dan kesabaran, dalam perjalanan mencari jawaban"
***

Sabtu, 09 Mei 2015

Mendaki Piknik (Selesai) : Menapaki Jalan Pulang

Pagi semakin menghangat. Setelah sarapan pagi yang begitu 'fancy', kami segera berkemas dan menapaki jalur kembali menuju Desa Dieng. Di kejauhan, bukit teletubbies menjulang berderet. Tujuan akhir kami ditandai oleh sebuah tower yang terlihat kecil nun jauh di ujung sana. Yasudahlah, pokoknya jalan saja.

Bukit pertama saya daki dengan susah payah. Rasanya, kaki saya masih sama gemetar seperti di rute cacingan sepagi tadi. Tenaga saya tinggal sisa-sisa, padahal masih ada 4 hingga 5 jam lagi kami harus berjalan kaki. Kami berjalan lambat-lambat dengan berkali kali mengambil jeda. Di puncak bukit teletubbies pertama, kami disambut oleh pemandangan pedesaan di bawah sana yang begitu indah! Dari atas, terlihat telaga, yang apa namanya saya lupa, juga lautan awan yang bergulung, pokonya pemandangan dari atas begitu indah sampai akhirnya kami semua berhenti untuk foto-foto, hehe.

Perjalanan menyusuri bukit teletubbies yang jumlahnya entah ada berapa banyak itu dilanjutkan. Sesekali kami menguluk salam pada pendaki lain yang kami temui. Medan jalanan kali ini memang tidak sesulit jalur Patak Banteng. Jalanan naik turun mengikuti kontur bukit, jadi datar-naik perlahan-puncak-turun perlahan, terus begitu hingga sekitar satu setengah jam pertama. Bukit Teletubbies ini juga luar biasa indah lho! Semak bunga Daisy berwarna putih dan merah muda menutupi hampir seluruh permukaan bukit. Hanya ada sekitar satu dua pohon saja yang tampak menjulang. Disepanjang jalan juga kami temui beberapa tenda kemah para pendaki. Lembah dan bukit ini serasa surga banget, bahkan kami sempat rehat dengan tidur-tiduran di rerumputan. Bisa seharian itu  kalau nggak ingat jalan pulang masih sangat panjang. Bahkan Rijal berkata "Aku mau bikin rumah di sini aja", hahaha. 

Setelah melewati sekitar dua bukit teletubbies, kami menemukan jalan persimpangan. Berdasarkan informasi dari pendaki lain, jika kami mengambil jalur lurus menuju Desa Dieng, maka kami akan keluar dari atas patak Banteng, dengan jarak menuju parkiran sekitar 2 jam berjalan kaki. Sedangkan jika mengambil jalur yang berbelok ke kiri, kami akan sampai di desa apa saya lupa namanya, yang jelas posisinya masih lebih bawah jika dibandingkan dengan Desa Dieng. Estimasi jarak tempuh ke parkiran sekitar 45 menit. Akhirnya setelah menimbang, Mas Firman dan diamini oleh kami semua, mengambil jalur kedua yang  tentu saja menggiurkan karejna lebih dekat dengan parkiran.

Kami turun satu persatu dipimpin oleh Mas Firman. Dan sepertinya langsung merasa menyesal dengan pilihan yang diambil, haha. Jalan pintas ini nggak kayak nyontek pas ujian atau nyuap pejabat biar dapat SIM tanpa ujian, yang ini berat pak! jalanan hanya cukup dilalui satu orang, dengan medan licin, dan sangat terjal. Kecepatan menurun drastis, kami harus melangkah dengan ekstra hati-hati. Dan percaya atau tidak percaya, jalanan seperti ini terus-terusan kami tempuh selama 3 jam ke depan! Horay! *Nahan pipis dan nahan nangis.

Masih berjuang untuk menuruni jalanan yang menguras tenaga, kami berjalan diselingi keluhan, guyonan, teriakan putus asa, dan lebih sering dengan istirahat. Mas Firman sudah lebih dulu menghilang di depan sana, juga Yuni dan Niken. Yuni dari tadi sudah mrosot, lari, jalan cepat, baiklah kali ini memang usia tidak bisa bohong, haha. Saya bersama Imon dan Rijal masih tertinggal di belakang dengan berkali kali melempar guyonan, 'bikin rumah disini aja'. Rasa-rasanya pengen ngesot aja sampai bawah, tapi ya gimanalah baaang..

Saya menuntun Imon dengan syal, dan memilih-milih jalan. Imon daritadi sudah terlihat putus asa, Rijal berkali-kali hampir terpeleset. Dari jauh kami mulai melihat pohon carica! yey!harapan sudah mulai dekat dengan pos 1 kembali muncul. Tapi rupanya jalanan masih cukup panjang hingga kami benar-benar menemui ladang carica milik penduduk. Perlahan pepohonan mulai berganti dengan berbagai macam tanaman budidaya. Perkampungan mulai terlihat, saya bersorak dalam hati, kaki saya entah mengapa mulai terasa sakit. Kami berlomba dengan gerimis untuk mencapai akhir jalan setapak. Akhirnya, kami tiba di ujung rute!

***
Kami beristirahat sejenak di salah satu warung yang lengang. Segelas teh hangat dengan asap mengepul menemani kami mengambil jeda sebelum  melanjutkan perjalanan menuju parkiran. Mas Firman sudah entah berada di mana, setelah terakhir terlihat berjam-jam yang lalu. Segera setelah berpamitan kepada ibu pemilik warung yang juga telah menyediakan kamar mandinya bagi kami, perjalanan dilanjutkan.

Perjalanan terakhir menuju parkiran diisi dengan obrolan ringan dan canda tawa. Saya berjalan lambat-lambat dengan kaki yang mulai terasa sakit. Perbincangan mengenai apa yang didapatkan dalam pendakian menjadi tema ringan yang saya bicarakan dengan Zainul. Tentang Apa yang dicari?. Apakah tidak jera? Bukankah perjalanan seperti ini begitu melelahkan? dan teman baru saya yang satu ini menjawab setelah mengambil jeda sejenak: 

Memang pada setiap akhir perjalanan rasanya seperti tidak akan mau lagi melakukannya. Tetapi setiap kali 'kehidupan nyata' terlalu melelahkan, maka kau akan sangant rindu untuk melakukannya lagi: pendakian

Saya hanya tersenyum sembari berpikir: Sepertinya saya harus mendaki lagi suatu saat nanti. Bukan karena ketagihan, tapi karena saya belum menemukannya. Menemukan apa yang membuat orang-orang ini jatuh cinta dengan puncak dan setiap perjuangan untuk menaklukkannya. Pun kata Supri, bukan tentang menuju puncak. Pendakian adalah tentang perjalanan itu sendiri, bagaimana diri kita mampu menikmati dan menjiwai setiap langkah yang diayun tanpa mengharapkan hadiah utama. Juga kata Dito, pendakian semacam meditasi. Menuju ketenangan. Bagaimanapun, suatu saat nanti, saya harus menemukan artinya bagi saya sendiri, sebuah pendakian.

Akhirnya..Setelah syukur pada Allah atas segala kebaikan-Nya mempertemukan saya dengan kesempatan ini, terimakasih pada seluruh rombongan atas seluruh bantuannya. Imon yang sudah menjadi kompor, Niken, Zainul, Rijal, Yuni dan Mas Firman. Pun jika benar pada akhirnya saya tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaan, setidaknya perjalanan ini telah mempertemukan dengan orang-orang baru dan banyak hal baru. Semoga kita bisa kembali berperjalanan bersama, terimakasih lagi!

Rumpun bunga Daisy, cantik banget

Bunga Daisy, dimana-mana!

Itu ada telaganya

View kota tampak dari atas

Bukit Teletubbies

Mampir warung dulu, menyambung nyawa

Kamis, 07 Mei 2015

Mendaki Piknik (3) : Sunrise, ditengah Lautan Awan dan Manusia

Menunggu dalam diam selalu saja tidak menyenangkan. Kadang percakapan di dalam kepala terlalu riuh dan melelahkan. Begitupula menunggu dalam artian sebenarnya tanpa melakukan apapun seperti pagi itu membuat tangan dan kaki mati rasa. Dingin menembus jaket, dan sarung tangan yang sudah sejak tadi membungkus rapat. Kami menunggu dan terus menunggu.

Ufuk timur semakin terang. Sekitaran saya yang tadi lengang kini sudah dipenuhi manusia yang berebut tempat terbaik untuk menunggu matahari terbit muncul. Dikejauhan langit memang sudah mulai memerah, tapi kabut cukup tebal membuat tidak banyak pemandangan terlihat. Sudah cukup lama kami menunggu. Langit juga sudah hampir terang sepenuhnya, ah rupanya pagi ini matahari memang tidak sempurna terlihat. Meskipun begitu orang-orang tetap saja asyik berfoto, juga saya sendiri yang sibuk jeprat-jepret dengan kamera ala kadarnya.

Tak lama ketika pagi semakin terang, beberapa saat kabut mulai tersingkap. Didepan kami tampak bukit-bukit berjejer yang diselimuti kabut putih tipis. Tampak beberapa tenda warna-warni menyembul di ujungnya. Disisi kanan, jika cuaca cerah seharusnya akan tampak  Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro berjajar dalam satu tarikan garis. Tapi pagi itu kami hanya mendapatkan sepotong pemandangan puncak gunung yang tertutup kabut. Tapi tetap saja sih, meskipun terdistraksi oleh lautan manusia, pemandangan pagi itu adalah salah satu breath-taking scenery. Kami seperti berada di tengah lautan awan putih. Ketinggian selalu menciptakan pemandangan yang luar biasa.

Disekeliling mulai terlihat hamparan bunga Daisy berwarna putih yang tumbuh bergerombol hampir di setiap sudut lokasi. Yuni dan Imon sejak tadi sudah disibukkan oleh kamera sedang Mas Fajar dan Rijal duduk-duduk santai dan berjalan di sekitar lokasi kami meninggalkan ransel. Saya sendiri sebenarnya salting, nggak tau mau ngapain, mau foto juga susah nyari tempat longgar, mau tidur ya gimanalah, hahah.

Akhirnya Rijal, Zainul dan Niken mulai menyalakan kompor untuk memasak sarapan ala anak kosan: mi instan rebus rasa soto plus sosis siap makan. Kayanya mi rebus rasa soto selalu hadir di tengah perjalanan liburan saya deh *terharu. Urusan masak teratasi, yang menjadi masalah baru adalah: makan pakai apa? dan kok ya kami nggak kepikiran buat bawa alat makan, *failed. Akhirnya, mi rebus disantap bergantian dengan pisau serbaguna milik rijal, sedangkan Rijal sendiri memilih untuk membuat supit dari batang tanaman sebelum akhirnya niken membuat sendok dari botol minum bekas. Rasanya, mi rebus soto kali ini begitu lezat, baiklah ini pasti efek kelaparan. (Bersambung)

Ramai!
Menunggu dan menunggu
Sumbing dan Sindoro ganteng banget di kejauhan
Sunrise! itu yang kecil-kecil di puncak adalah tenda
Sunrise camp
Deretan perbukitan

*Melihat foto-foto tersebut saya kembali bisa merasakan euforianya. Dinginnya, lelahnya, ramainya, excitednya, dan ke-nggak habis pikirannya saya mempertanyakan apa yang mereka cari di sini. Tentunya juga apa yang saya cari hingga di puncak ini.
** Weekend yang sesuatu banget yang bertepatan dengan momen yang sesuatu banget. What a sweet escape lah ini.

Mendaki Piknik (2) : Menuju Sunrise Camp

Rasa bosan mulai merayapi pikiran saya. Malam masih gelap, jalanan tanah masih becek. Sesekali keheningan terusik oleh langkah kaki rombongan lain yang seperti kami, berharap berjumpa matahari di puncak. Dan kami masih belum juga menemukan pos 4, sunrise camp. Boro-boro nge-camp, jam sudah menunjukkan hampir jam 3 pagi sedangkan tanjakan ini seperti tidak akan pernah usai.

Dari kesemua track yang sudah dilewati, memang track setelah pos 3 ini yang paling sulit. Tanjakan semakin tinggi, jalanan semakin sempit, gelap malam membuat jalan serasa tidak berujung. Saya berusaha tidak memikirkan kapan sampai, pun kaki saya sudah mulai terasa gempornya. Tiba-tiba saja, jalanan berubah menjadi seperti undakan. Seperti ada bambu yang disusun untuk menahan tanah. Jalanan yang semula dikelilingi pepohonan perlahan mulai menampakkan landscape kota Wonosobo di bawah dengan kerlip lampu di kejauhan. Rombongan lain semakin berdekatan satu sama lain. Tapi tentu saja ritme langkah kami sama-sama lambat. Rombongan semakin sering berhenti untuk sekedar menyambung nafas. Dari kejauhan kami mendengar keramaian. 

Bayangan tentang sunrise camp yang sudah dekat rupanya hanya praduga yang tak berdasar. Undakan demi undakan kami lewati dengan menyeret langkah. Rijal beberapa kali terdengar mempertanyakan apakah benar ini sudah dekat dengan sunrise camp. Tiba tiba saja, di bawah kilatan lampu senter saya menemukan sebentuk familiar berkilat diterpa temaram lampu. Gilig, basah, dan menjijikkan: cacing tanah! Ewwwwurghh, saya sudah menahan teriakan dan berusaha kalem agar tidak berlari atau loncat kemanapun. Yang saya takutkan terjadi, Niken hanya berkomentar dengan datar: "kamu pikir dari tadi nggak ada cacing?"

Perjalanan berlanjut, perlahan medan menjadi semakin datar. Kami sejenak berhenti dan mengedarkan pandangan. Rupanya sudah sampai di Sunrise Camp! Beberapa meter dari tempat kami berdiri, puluhan atau bahkan ratusan tenda warna-warni berjajar tak beraturan. Riuh rendah suara para pendaki yang masih terjaga bergema dari kejauhan. Rasanya saya ingin segera berlari dan menemukan tempat untuk rebahan sembari menunggu matahari terbit! Tapi ya menurut ngana..kami melintasi lokasi pendirian tenda yang katanya di malam akhir pekan seperti ini itu dipenuhi oleh sekitar 3000 pendaki. Tidak heran jika dalam tulisan yang saya temui tentang Gunung Prau, sering disebut seperti pasar malam. Berjalan melewati tali, dan pasak yang hanya menyisakan jalanan setapak. Kami menuju sebuah tanah yang terlihat lapang yang bersih dari tenda. 

Lokasi yang kami tuju ini rupanya memang spot untuk melihat sunrise. Disini para pendaki tidak diperbolehkan untuk menggelar ponco atau mendirikan tenda. Akhirnya saya bersama Imon dan Niken duduk di bawah semacam tugu sembari menanti subuh. Dingin udara pagi pegunungan membuat sekujur tubuh menggigil. Untung saja tidak lama, adzan subuh berkumandang. Kami bergegas melakukan sholat subuh secara berjamaah dan bergantian. Ini kali kedua, saya mendirikan sholat subuh di tanah terjal pegunungan. Suara Imon bergetar melantunkan surat pendek, dari kejauhan, terdengar suara imam jamaah yang lain membaca surat pendek dengan lantang dan indah. Ah, Subhanallah, Allahu Akbar. Saya terharu, 2565 mdpl yang apalah jika dibandingkan Mahameru. Tapi tetap saja, konon, di puncak gunung yang lebih dekat pada langit seseorang akan lebih bisa merasakan Kebesaran Tuhan. Disinilah saya pagi ini, dengan kaus dan celana bersimbah tanah, menyungkur sujud. (Bersambung)

Rabu, 06 Mei 2015

Mendaki Piknik: Gunung Prau Wonosobo

Mengenali jalan yang harus dilalui ketika bepergian jauh itu nggak asik. Saya tahu pasti ketika jam 3 baru sampai Ngawi, Wonosobo masih nun jauh entah di mana. Hujan terlalu setia menemani dengan debit maksimalnya. Tengah malam, kami akhirnya tiba di pelataran parkir super ajaib. Selamat datang di Dieng.

Jadi ceritanya saya tetiba pengen nulis karena tadi siang habis diceritain mbak Euryka, seorang teman di KI Madiun yang desember kemarin habis muncak ke Semeru. Gilanya lagi, itu pendakian pertamanya brur, Semeru! yang bayanginnya saja saya merinding disko, pengen sih, pengen..mana ada yang selalu pamer-pamerin pulak itu semeru cakep banget. Hih, ntar deh ya..suatu hari nanti..

Lanjut ke cerita pendakian gunung Prau, dengan persiapan lari pagi ala kadarnya karena sempat nggak fit, akhirnya kesampaian juga acara weekend ceria ke Wonosobo. Perkenalkan anggota perjalanan kali ini: Saya, Imon, Niken, Zainul, Rijal, Mas Firman dan Yuni. Tiga terakhir yang saya sebut tentu saja kenalan baru yang baru hari ini saya temui. Nggak masalah, lanjut!

Malam sudah berubah menjadi super dingin ketika kami keluar dari mobil. Kami menyiapkan perlengkapan dan segera menuju pos pemberangkatan. Pos ini kabarnya sudah berpindah tempat setelah sempat ada perbaikan, yang semula di depan kantor desa, sekarang berpindah agak ke dalam. Tapi selow, banyak banget yang bisa ditanyain, nggak akan nyasar, pasti ketemu kok. Dari pos tersebut, kami mendapatkan peta jalur pendakian yang menginformasikan posisi pos pertama kedua dan seterusnya. Yasudahlah ya, rombongan kami segera berangkat karena sudah mulai dini hari, rencana membuat tenda pun sudah batal sejak beberapa jam lalu. Lha mau bikin tenda buat apa? masak sarapan?

Kami mengambil jalur Patak Banteng, yang terkenal sulit tetapi memiliki waktu tempuh lebih singkat dibandingkan jalur desa Dieng, yang memiliki medan landai tapi waktu tempuhnya sekitar 5 jam berjalan kaki. Baru saja berjalan beberapa langkah di kegelapan, tiba-tiba saja kami disambut dengan anak tangga yang membuat lutut gemetar. Baru juga 15 menit-an lah padahal..track menuju pos 1 rupanya memang intinya adalah anak tangga ini. Saya langsung ngos-ngosan, tapi masak iya mau langsung berhenti akhirnya saya sok asik sampai menemukan jalan yang kembali 'normal'. Setelah track tangga seribu tadi, kami disambut oleh pengecekan jumlah anggota dan himbauan untuk tidak meninggalkan sampah di gunung. 

Perjalanan kembali diteruskan ke pos 2 (Canggal Walangan). Kami melewati ladang. Asik lah ya lihat lampu-lampu. Sampai pada pos berikutnya, jalanan sudah mulai tidak bersahabat. Track semakin menanjak ditambah lagi bekas hujan membuat jalur semakin licin. Sepertinya di perjalanan menuju pos 2 ini Niken sempat berhenti karena pusing, begitu juga Mas Firman yang letih dan lemas. Akhirnya perbekalan dibongkar dan Zainul memasak air untuk membuat minuman hangat, setelah bistirahat sejenak perjalanan kembali dilanjutkan. 

Kami kembali berjalan beriringan sembari sesekali berbincang ringan. Jalanan gelap, apalagi saya tidak membawa senter karena rupanya senter kepala yang saya bawa tiba-tiba mati entah kenapa. Sejak tadi kami sudah aktif saling mengingatkan "jangan minggir-minggir' karena memang track berbatasan langsung dengan jurang. Karena kondisi yang gelap, kami juga tidak ada yang tahu pasti sedalam apa tebing yang menunggu di sisi kanan dan kiri. Enak-enak berjalan sambil mengobrol, tiba-tiba saja sesuatu terjadi. Dalam hitungan detik tubuh saya merosot ke bawah, "Sraak, brukk" Eh, ucap saya dalam hati, rupanya saya terperosok ke bawah, di bibir tebing! belum sempat panik sabil meraba-raba apa yang bisa saya jadikan pegangan, Niken, Zainul dan Mas Firman sudah terlebih dahulu berteriak untuk meminta saya mempertahankan posisi. Saya sempat bingung harus bagaimana, mencoba melompat tapi kok ya gagal, berat pak badan ditambah tas ransel isi cemilan. Akhirnya saya fokus ke instruksi: Diam aja di tempat. Oke, saya diam, trus apa? rupanya mas Firman dan Zainul kompak menarik badan saya ke atas, sedangkan imon membantu dengan penerangan. Yes, alhamdulillah, saya sudah sampai kembali ke jalan yang benar dengan celana dan baju belepotan tanah lempung. Terimakasih kakak-kakaak :D

Perjalanan kembali diteruskan. Pos 3 (Cacingan) yang kami tuju belum juga tampak. Rijal bersama Niken dan Yuni sudah jauh di depan meskipun sesekali berhenti untuk beristirahat. Jalanan semakin licin dan terjal. Beberapa kali kami dilewati atau melewati rombongan lain. Sempat untuk waktu yang lama kami sama sekali tidak bertemu dengan satu orang pun. Malam di tengah hutan, gelap, sepi, nggak berpikir ada dedemit sih udah untung saya, apalagi berpikir tentang cacing beneran -hororr. Saya melewati setiap tanjakan dengan berhati-hati. Sebisa mungkin memilih pijakan dan mengatur langkah, Ngos-ngosan, keringetan, dan kaki sudah mulai pegal tapi pos 3 belum juga terlihat. Zainul sih asik-asik aja loncat sana-sini, mas Firman terlihat sangat 'ngoyo' di belakang saya sembari mengikuti cahaya senter. Tapi di luar dugaan, tingkat ngos-ngosan ketika mendaki gunung Prau ini tidak sehebat ketika menyusuri tanjakan ijen. Perbedaan tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan belerang, ijen yang merupakan gunung belerang memiliki tingkat oksigen yang jauh lebih tipis daripada Prau, sehingga lebih mudah menguras nafas.

Dijalur yang terjalnya membuat saya nggak habis pikir, tiba-tiba saya mendengar Imon berseru, "Ada talinya lhoo", wah, rupanya ada tali yang sengaja ditinggalkan untuk membantu pendaki. Bergiliran Yuni, Niken dan Imon melanjutkan ke atas. Giliran saya tiba, sebenarnya pikiran saya sudah nggak enak,  Iki tali kok posisine gak asik sih. Ah, yowislah..coba saja. Saya mencoba berpindah posisi agar bisa naik dengan pewe, berhasil, dan seharusnya saya melanjutkan mengayun langkah. Saya sempat berpikir sejenak  Ini talinya udah beneran lepas nggak sih? karena memang tadi sempat tersangkut di matras yang tergantung di sisi kiri ransel saya. Karena sudah males mikir, akhirnya saya melanjutkan mengangkat badan untuk mencari pijakan. "Bukk" yehh..saya terjatuh lagi. Benar saja, rupanya tali tambang tadi masih tersangkut di gulungan matras, mas Fajar reflek meneriaki saya agar berhati-hati, secara doi pas dibelakang saya banget, kalau sampai beneran terjadi, epic failed pasti.

Jalanan masih belum terlihat ujungnya. Rijal di depan mulai tidak yakin apakah jalur ini benar? belum lagi kami tidak bertemu satu rombongan pun selama beberapa lama. Kami istirahat sembari membongkar cemilan. Malam cerah, untung saja hujan sudah tidak lagi turun. Langit berbintang terhalang oleh dedaunan yang cukup lebat. Saya masih berusaha menikmati perjalanan, tapi pikiran saya tetap tentang puncak: Seperti apa, dan bagaimana rasanya berada di puncak. (Bersambung ah, ngantuk)

*Nggak ada foto di postingan ini, karena sepanjang perjalanan beneran deh saya nggak kepikiran buat foto-foto. Saya sebenernya nyari 'starry sky' tapi nggak nemu yang oke, dikepung tanah dan pohon, dipayungi rerimbunan daun. 
**Saya beneran sempat kepikiran "gimana kalau saya megang cacing", tapi bisa ditepis beberapa kali karena fokus tersita pada medan jalan yang licin.
*** Detail rute dari Madiun menuju Wonosobo tidak saya tulis karena panjang. Karena kami mengandalkan GPS, kami dilewatkan jalan alternatif. Sekedar informasi, jalan alternatif dari Madiun (belokannya sekitar daerah Sragen) menuju Wonosobo jalannya sempit dan bergelombang. Sehingga jalanan penuh dan perjalanan bukannya semakin singkat malah melambat. Saran saya, lewat jalur dalam kota saja lebih jelas petunjuk arahnya, dan jika ingin bertanya maka tanyalah kepada penduduk sekitar (dan jangan lupa meminta petunjuk pada Allah).

Kamis, 23 April 2015

Bukan Travelogue: Menyusuri Tiga Gili

Kami berkumpul menikmati sepiring banana pancake dan segelas teh hangat di pelataran Baleku. Ransel-ransel sudah terpacking rapi. Hari ini hari terakhir kami berada di Pulau seribu masjid.

Tujuan terakhir sebelum pulang hari ini tentu saja adalah 3 gili: Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Seharusnya kami sudah harus check out dan meninggalkan penginapan pagi-pagi. Tapi setelah pembicaraan antara Fajar dan pemilik penginapan, kami diperkenankan untuk menggunakan satu kamar untuk menaruh seluruh barang dan untuk mandi sepulangnya dari tiga gili nanti. Setelah urusan titp menitip ini selesai, Fajar meminta kami bersiap di depan.

Rupanya di depan kejutan sudah menunggu. Bukannya Pak Imam yang siap sedia dengan travel, kami dikejutkan dengan sebuah mobil macho berwarna merah, tanpa atap. Awalnya saya kira hanya numpang parkir, dan Jojo ini ngapain pede banget udah stand by aja di jok depan? yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mobil itulah yang akan mengangkut kami semua menuju Senggigi! Man, 8 orang dalam sebuah mobil sejeni Jeep kecil itu sesuatu banget. Err..sebenarnya saya setngah kesenangan karena penasaran sih! ahaha.

Mobil melaju kencang di jalanan menurun yang ternyata berada tepat di tepi pantai Senggigi. Saya sih dari kemarin nggak nyadar, haha. Tidak lama kemudian kami sampai di pantai untuk menyeberang. Di Pantai ini, Fajar membeli makan siang dan menyewa snorkle dan fin. Setelah deal dengan salah satu pemilik kapal, kami segera berangkat menuju Gili Trawangan, destinasi pertama kami.

Perjalanan mengarungi laut sekitar dua jam kami tempuh sebelum akhirnya kapal berhenti di Gili Trawangan. Di luar bayangan saya tentang sebuah pulau sepi penghuni lengkap dengan spot snorkling cantik, Gili Trawangan ini lebih mirip dengan 'dunia lain'. Bagaimana tidak, pulau kecil ini dipenuhi dengan cafe, bar, diving center, lengkap dengan bule di segala penjuru pulau. Cottage-cottage cantik, musik yang berdentum-dentum membuat suasana semakin nggak Indonesia banget. Baiklah, ada ATM Mand*iri sih setidaknya, yang membuat Gili Trawangan masih terlihat Indonesia. Siang semakin panas, lagipula kami tidak bisa berlama lama. Saya bersama Niken, Imon, Supri dan Ocha menyewa sepeda untuk berkeliling sedangkan Ina dan Jojo menyusuri jalanan untuk berburu foto.

Sekitar 45 menit akhirnya kami menyudahi acara berkeliling. Saatnya kembali ke kapal yang..sama sekali tidak terlihat di tepian. Dari jauh kapal kami malah terlihat semakin menjauh. Kami kebingungan mengikuti arah kapal. Belum lagi gelombang di tepi laut cukup besar, berkali-kali kami harus meloncat dan mencari tempat yang lebih tinggi agar tidak terseret arus. Saya sendiri sudah hampir basah kuyup mengejar sandal yang hampir terbawa ombak. Kan nggak keren nanti saya nyeker di bandara kak..

Akhirnya setelah cukup lama terombang-ambing kapal berhasil menepi. Kami bergegas melanjutkan perjalana ke Gili Air. Ya, kami sepakat untuk tidak mampir ke Gili Meno karena waktu yang semakin sempit, jam 3 nanti kami harus segera bertolak ke bandara. Kapal segera mengarah menuju Gili air, dan kembali kesulitan menemukan tempat melempar jangkar. Ombak cukup besar, mendung mulai datang. Sepertinya bukan ide bagus untuk snorkling di saat seperti itu. Tapi bagaimanalah sudah di Gili Air masa nggak nyemplung?? Sikat lah gaaas!

Satu persatu kami mulai nyemplung. Benar saja, gelombang cukup besar dan sempat membuat saya gentar. Duh, berani nggak ya, setelah kemarin saya pun gagal snorkling mandiri. Supri sudah terlebih dahulu mengurungkan niat snorkling, tapi akhirnya saya nekat. Pokoknya harus snorkling di Gili Air! Saya mengikuti pergerakan Ina, entah kemana pokoknya saya ngikut. Kali ini saya sudah nggak nebeng, melainkan berenang sendiri karena pakai fin juga, hehe. Berkali-kali saya masih harus mengeluarkan air dari goggle, juga melakukan mask clearing. Pemandangan bawah lautnya juga belum tampak jelas. Akibat gelombang yang besar juga saya dan Ina malah memutuskan untuk menepi, disusul jojo dengan insiden tangan berdarah-darah.

Ada apa dengan insiden berdarah? rupanya Jojo tidak sadar terantuk besi di salah satu bagian kapal hingga terluka. Dan doi sama sekali tidak ssadar sampai melihat air disekitarnya memerah. Ocha yang memang paling jagoan berenang diantara kami bolak-balik ke kapal untuk mengambil hansaplast dan pelampung. Sementara itu saya nebeng Ocha juga untuk ikutan slulup-slulup ke tengah. Ocha mengkode saya, memastikan nggak akan jauh-jauh dan memberi isyarat untuk mengikuti arah berenangnya. Saya sempat was-was karena tadi ketika lewat bersama ini terdapat bagian yang cukup dalam, tapi ternyata di dekat situ terdapat rangka besi yang sengaja diletakkan untuk rumah ikan. Ocha menebar roti yang sengaja dibawa daaaan.....ikannya berdatangan! cantik-cantik, macem-macem, unyu-unyu! saya terpana sekaligus rempong karena berkali-kali harus mengeluarkan air dari masker. 

Acara slulup dilanjut hingga kembali ke dekat perahu di jangkar. Rupanya pemandangan di bawah perahu nggak kalah bagusnya! Nggak perlu jauh-jauh ke tepian, ikannya sudah banyak. Saya lanjut slulup sambil sesekali bergelantungan pada bagian kapal. Ocha yang masih membawa sisa roti kembali memancing ikan berdatangan. Rasanya saya nggak rela gitu mau mentas, masih pengen melihat ikan-ikan berenang. Maklum ya, justru di hari terakhir itu saya menikmati acara snorkling. Sebelum-sebelumnya saya nggak rilek blas. Tapi apa mau dikata, waktu juga yang memaksa kami untuk segera mengakhiri acara slulup.

Perjalanan pulang selama dua jam kembali kami tempuh dalam keadaan lapar, lelah, ngantuk dan lunglai. Untuk mengusir bosan bahkan saya sudah menyanyi-nyanyi random segala macam lagu dari S07 hingga Tanah Airku. Lumayan membunuh waktu sih, diselingi dengan obrolan ringan. Seperti biasa, Supri dan Ini memilih terlelap daripada nggeje bersama kami.
***

Kami kembali ke Senggigi sedikit terlambat. Akibatnya acara bersih-bersih dan makan siang harus dirapel dan dilaksanakan seefektif dan secepat mungkin. Setibanya di Baleku, kami langsung membagi giliran siapa yang makan dulu siapa yang mandi dulu. Semuanya dilakukan cepat, kilat dan rusuh. Sekitar pukul 15.30 akhirnya kami kembali berkumpul dan kembali memasukkan ransel yang bertambah berat ke dalam mobil. Setelah mengucapkan terimakasih kepada pemilik penginapan, kami diantar Pak Imam dan Fajar menuju bandara Lombok Praya. 

Perjalanan darat sekitar dua jam kami tempuh kembali. Pesawat rombongan madiun akan terbang pukul 18.00 WITA. Segera setelah sampai di bandara, Jojo segera bergegas mengambil tas dan mempersiapkan keperluan untuk check in. Setelah selesai dengan urusan bawaan, kami berpisah di ruang tunggu dengan dadah-dadah dan cipika-cipiki *yang cewe-cewe aja tentunya. Dan tepat sesuai jadwal, pesawat yang kami tumpangi tinggal landas, melintasi langit menuju Surabaya. (Selesai)

Gili Trawangan, rasa mancanegara (keliatan sepi karena memang cari spot yang sepi)
Slulup asik pakai fin dan pelampung

*Foto Piko, Niken. Dan memang nggak banyak foto karena habis energi. Di bandara pun nggak sempat foto barenga karena buru-buru.

Perjalanan memang selalu melelahkan. Tapi bukankah dengan menempuh perjalanan kita memaknai arti pulang? Bukankah dalam berperjalanan kita memberhentikan waktu untuk saling mendengar satu sama lain, melihat lebih lekat satu sama lain? 
Dan saya gagal move on dari segala hal tentang perjalanan. Tertambat pada lelah dan semangatnya, dalam hal baru dan asingnya. 
Sampai jumpa lagi di perjalanan berikutnya.

Bukan Travelogue: Pink Beach dan Senja di Bukit Mandalika (2)

Perjalanan berlanjut setengah tergesa. Rencananya sore ini kami akan mengejar matahari terbenam dari sekitar wilayah Pantai Batu Payung. Obrolan cukup berat mengenai regulasi migas di tanah air membuat saya mati kutu. Ah, kali ini saya hanya akan membuang pandangan ke jalanan yang rupanya sudah dekat dengan pantai.

Terik matahari sore segera menyambut kami sesampainya di Pantai Batu Payung. Pasir putih dengan butiran hampir sebesar merica menggelitik kaki dan memperberat langkah. Ombak cukup besar mengayun-ngayun kapal yang akan membawa kami ke lokasi Batu Payung. Adalah Anton, kapten kapal yang akan membawa kami menuju pulau di tepian Samudera Hindia sana. Dan kisah ini akan diwarnai oleh sekilas cerita tentang Anton.

Anton meneriaki kami agar menyingsingkan celana dan melepas alas kaki. Kontur pasir memang menyulitkan kami untuk bergerak. Dengan sigap Anton menaikkan sandal-sandal, meminta kami segera naik ke kapal lalu melepas sauh. Anton mengambil alih kendali, ayahnya tampak mengurus permesinan di belakang. Bersama kakak perempuannya, Anton duduk di ujung buritan kapal, mengambil posisi santai memandang lautan lepas. Mungkin saja hal ini sudah ratusan kali dilakukannya, menyeberangkan wisatawan untuk melancong. Dan saya berfikir, anak-anak macam Anton ini apakah memiliki kehidupan lain? Pertanyaan saya semakin memudar diterpa angin bercampur air. Kapal meloncat-loncat mengarungi gelombang menuju pulau yang dipenuhi batuan raksasa.

Sekitar 15 menit kemudian Anton memberikan tanda pada ayahnya untuk mematikan mesin. Kami memang sudah sampai di sebuah pulau yang dipenuhi dengan tebing batu berukuran besar-besar. Kapal tidak bisa berhenti di tepian karena koral-koral di perairan dangkal. Kami terpaksa nyemplung ke perairan dengan baju bersih yang baru saja di ganti-nggak rela banget rasanya- berjalan berjingkat meniti batuan. Semua kerepotan itu terbayar lunas sejak dari tepi, berbagai macam hewan dan rumput laut beraneka warna begitu memanjakan mata. Batu dengan ukuran besar-besar kami lewati sepanjang perjalanan menuju letak batu payung yang ternyata adalah batu yang menjulang tinggi yang bayangannya bisa menjadi tempat berlindung, seperti payung. Tapi memang eksotis banget sih, kami berasusmsi mungkin saja dulunya batu ini adalah serupa tebing yang akhirnya terkikis ombak. Terlepas dari itu semua yang paling ajaib adalah, ada penjual es kelapa muda di tengah pulau batu yang harus dijangkau dengan perahu. 

Anton memberi kode pada temannya untuk menyiapkan kami beberapa butir kelapa muda. Rasanya sungguh bagai oase di siang yang terik dan silau. Kami bertujuh memang sudah mulai lelah dengan agenda selam menyelam sepagi tadi. Setelah puas berfoto dan menghabiskan air kelapa, akhirnya Anton membawa kami kembali ke daratan untuk melanjutkan perjalanan untuk mengejar matahari tenggelam..
***
Perjalanan diteruskan setelah perdebatan mengenai dari mana seharusnya kami menyaksikan matahari tenggelam. Ada dua pilihan spot, Bukit Mandalika yang hanya sekitar beberapa kilo dari Batu Payung atau satu lagi saya lupa apa namanya yang masih agak jauh lagi baik berkendaranya atau berjalan kakinya. Tentu saja kami semua memilih opsi Bukit Mandalika yang tidak perlu ada acara jalan kaki sekitar dua kilometernya -_-, capek hidup kami kaka..

Tanpa ada bayangan setinggi apa bukit ini, saya mengayun langkah dengan malas. Menapaki tanjakan yang puncaknya sudah hampir dipenuhi oleh bule-bule yang sedang hore-hore. Hari itu para penganut agama Hindu memang sedang melaksanakan ibadah Nyepi, jadi para bule dari Bali sepertinya banyak juga yang ngungsi ke Lombok.

Rupanya bukit Mandalika ini tidak seterjal dan setinggi yang saya bayangkan, ya saya bayanginnya mendaki Ijen sih ;p, lumayan lah..kami menemukan spot yang cukup longgar. Hari masih sore, dari kejauhan garis pantai terlihat berkilap seperti minyak. Sebenarnya dari sini kami tidak akan bisa melihat matahari benar-benar tenggelam karena di depan kami masih terdapat beberapa lapis bukit yang berderet. Meskipun begitu pemandangan ini tetap saja luar biasa indah. Kami duduk berjajar membentuk dua shaf dan mengisi waktu dengan kegiatan masing-masing. Imon, Niken dan Supri di barisan terdepan asyik berbincang, Jojo sibuk mengambil foto, dan saya awalnya asyik bengong. Entah siapa yang memulai, obrolan tentang matahari tenggelam mulai bergulir. Ohya, Fajar sudah mengajak kami untuk turun, padahal matahari belum benar-benar menghilang. Padahal saya ingin sekali menunggu hingga langit berubah gelap. Rupanya tidak hanya saya, Ocha juga demikian. Well, kami ingin melewatkan senja di puncak bukit ini, bukit Mandalika. 

Bagi saya pribadi senja selalu memberikan perasaan sentimentil. Kalau kata Ocha, perasaan sendu. Kalau kata saya, bertemu dengan senja seperti mengucapkan perpisahan pada kawan lama, sedih tapi ya mau bagaimana lagi. Lalu Jojo mengingatkan kembali sebuah kalimat dari Spongebob tentang senja: 

"Mengapa harus ada matahari tenggelam di hari yang cerah?"

Ya, kenapa. Bisik saya dalam hati.

"Karena akan ada malam penuh bintang yang tidak kalah indah",

itu katamu Ko, Jojo mengingatkan.

Ah, ya, benar. Memang benar, kalimat ini menggambarkan dengan baik, apa yang tidak akan pernah terucap di antara kami masing-masing. Dan kami pun akhirnya menuruni bukit Mandalika, tepat ketika matahari senja beranjak turun ke peraduan untuk mempersilakan langit ditemani bintang-bintang. 
Anton, tampak cool di atas buritan kapal
Yah, ketauan di foto langsung pose >.<
Batu Payung
Kapan lagi minum kelapa muda di tengah samudera?
Batu-batu besar nan cantik di sepanjang pulau
Menyaksikan matahari beranjak tenggelam dari bukit Mandalika

*Foto by Jojo, Piko

Rabu, 22 April 2015

Bukan Travelogue: Pink Beach dan Senja di Bukit Mandalika (1)

Hari ketiga. Pink beach menjadi salah satu destinasi yang ditunggu-tunggu selama kunjungan ke Lombok. Hari masih gelap ketka Fajar mengetuk pintu kamar kami satu persatu. Dingin segera menyergap, kami berangkat bahkan sebelum matahari muncul di ufuk timur.

Perjalanan menuju dermaga pemberangkatan ditempuh selama kurang lebih dua jam. Kami tiba dengan muka lusuh di sebuah pasar ikan yang begitu riuh. Di sana sini tumpukan ikan segar memanjakan mata, bahkan ada yang ukurannya luar biasa besar! Imon, Ina, Jojo dan Ocha sibuk menebak-nebak antara Cumi atau Sotong. Saya hanya mengedarkan pandangan ke sekitar. Pagi ini ramai sekali.

Setelah menunggu Fajar tawar menawar kapal, akhirnya kami berangkat menuju Pink Beach. Bekal nasi goreng yang tadi dibawa Fajar belum juga tersentuh. Bapak pemilik perahu yang menemani kami hari ini sangat baik. Sepanjang jalan beliau menerangkan pulau-pulau kecil yang kami lewati. Konon, di tengah kawasan tersebut terdapat sampungan listrik bawah air yang sangat panjang. Ah, sayang sekali saya sudah lupa nama-nama spesifiknya! Satu yang saya ingat adalah Pulau Pasir, yang memang berupa gundukan pasir jika air sedang surut. Sayangnya pagi itu air cukup tinggi sehingga permukaan Pulau Pasir hanya tampak sekitar 50 cm saja. 

Kami melanjutkan perjalanan, di tengah jalan beberapa kali Bapak pemilik perahu menunjukkan spot-spot potensial. Tapi dasar kami ini tipikal manusia-manusia tidak sabaran, akahirnya kami memilih untuk menuju spot snorkling utama. Ah lupakan namanya apa. Spot ini berada tidak jauh dari daratan kecil berpasir putih. Bapak pemilik perahu dengan sigap mengeluarkan semacam kasur air yang ternyata fungsinya adalah untuk...latihan snorkling! Supri yang memang sama sekali tidak sempat belajar berenang menepi untuk mengambil kelas latihan. Saya juga dengan senang hati nebeng kesana kemari karena memang ketika di lautan, massa tubuh terasa lebih ringan sehingga sedikit sulit untuk mempertahankan posisi.

Beberapa saat berpegangan di pelampung membuat kepercayaan diri saya naik. Dengan keyakinan mulai bisa mengendalikan pergerakan saya pun gaya banget melepas pelampung karena memang 'ngabot-ngaboti'. Untuk berenang jarak dekat, disambung dengan berpegangan pada perahu, saya ngider jarak dekat untuk menikmati pemandangan bawah air. Sampai akhirnya Ocha menawarkan untuk melihat lebih ke tengah untuk melihar ikan yang lebih beragam. Yuhuu! saya sih semangat 45, sembari ancang-ancang ambil nafas karena jaraknya cukup jauh.  Melihat saya hendak ke tengah tanpa pelampung, Niken sudah lebih dulu mengingatkan: "Kamu yakin nggak mau pakai pelampung?" saya mengangguk sambil nyengir dan mulai meluncur. 

Setengah grogi saya mengikuti Ocha yang berenang santai. Hingga beberapa menit kemudian saya merasakan air mulai merembus ke dalam goggle. Perihnya nek, juga akhirnya saya kehabisan nafas karena repot mengeluarkan air, pergerakan kacau daaan...saya mulai tenggelam. Untung saja Ocha masih siaga dan segera menangkap tangan saya. Akhirnya saya menyerah dan kembali memakai pelampung, hehe..dengan sesekali nebeng Ina akhirnya bisa juga menikmati pemandangan bawah laut! Kereeen! setidaknya kali ini saya lebih berhasil daripada sewaktu di Tidung dulu :D
***
Perjalanan kami ke Pink Beach kembali dilanjutkan. Rencananya makan siang nanti akan diisi dengan menu ikan bakar dan sari laut lain. Sampai di Pink Beach, hari sudah mulai siang. Fajar dan Bapak pemilik perahu segera mempersiapkan bahan makanan dan tungku pembakaran, Tak lama kemudian, terlihat Bapak pemilik perahu sudah sibuk memasak ikan dan Fajar kembali menyusul kami yang asik bermain pasir -yang warnanya beneran pink- dan air. 

Pink Beach adalah lokasi wisata yang masih cukup sepi meskipun ya nggak sepi-sepi banget. Sesuai dengan namanya, pantai ini memiliki pasir berwarna merah muda dengan butiran halus. Di sepanjang tepian pantai ombaknya cukup besar hingga merusak mainan pasir yang kami buat -yes, kami masinan pasir-. Serpihan batu karang juga dengan mudah ditemukan di sepanjang tepi pantai, kalau si Pipit ikut pasti dikarungin deh itu batunya, haha. 

Sepanjang siang kami melakukan hal-hal nggak penting di Pink Beach. Mulai dari membuat kue yang ceritanya mau difoto untuk Izul, tahan-tahanan dalam posisi duduk di pinggir pantai, hingga mengubur Ocha di pasir. Yang terakhir asli random banget, dan kami semua begitu semangat menimbun Ocha yang sudah terlebih dahulu dipaksa terlentang dengan pasir pantai disekujur tubuh. Beneran puas ketawa-tawa sampai lapar! Untung saja, tak lama kemudian Fajar menginstruksikan agar segera menepi. Ikan bakar untuk kami sudah hampir siap.

Asap pekat dari pembakaran berkali-kali menerpa wajah hingga membuat mata berair. Kami menunggu dengan kelaparan kapan jatah kami siap disantap. Bapak pemilik perahu sudah siap dengan setermos nasi. Ikan, cumi dan udang akhirnya dipindahkan ke piring. Kami dengan khidmat menyantap sari laut yang..yang..Enaknyaaaa...enak banget! Udangnya manis, cuminya gurih, ikannya..ya rasa ikan, hehe. Saya memang kurang suka ikan dengan ukuran besar, jadi yasudah skip ya, lanjut cumi segede gaban dan udang yang manis segar luar biasa.

Selesai makan, Fajar meminta kami untuk bergegas. Tujuan selanjutnya adalah Batu Payung. Hanya saja, jaraknya cukup jauh sehingga kami tidak boleh terlalu lama mengabiskan waktu untuk mandi sperti kemarin. Sepanjang jalan kami menyusun strategi untuk menghemat waktu. Salah satunya dengan sigap di kamar mandi, haha. Begitu bertemu dengan kamar mandi, saya bergegas membersihkan diri dan sholat. Cepat! hanya sekitar 30 menit rasanya dan kami bertuju sudah duduk manis lagi berada di mobil. Pak Imam segera melaju membawa kami menuju Batu Payung. (Bersambung)

Ini nih bapak pemilik perahu yang baik hatinya dan suka menolong :D

Dalam imajinasi kami ini adalah wedding cake yang unyu, untuk dear Izul

Pink Beach!

Karang di tepian pantai menuju Pink Beach

Masih sambungan dari karang di sepanjang jalur menuju Pink Beach

 *Foto oleh Niken Yusnita, karena pada hari itu hanya dia yang free willy membawa kamera sedangkan yang lain asik bermain air dan pasir.


Minggu, 12 April 2015

Bukan Travelogue: It's (Not) a Shopping Time!

Kami meninggalkan kenawa beriringan dengan ransel-ransel di punggung. Dari kejauhan tongkang sudah hendak merapat. Siang itu cerah sekali, sesampai di kayangan kami berusaha berteduh di bawah bayang-bayang gerbang selamat datang yang tentu saja hanya menjanjikan sedikit tempat. Air sedang mati, kami terpaksa menyeberang dengan baju basah melekat di sekujur tubuh. Nggak masalah, totalitas!

Kapal melaju konstan memecah gelombang. Fajar memilih tempat yang nyaman, dekat dengan mesin pendingin yang sangat menyelamatkan kami yabg kepanasan.  Barang-barang diturunkan, saya sendiri langsung menghempaskan diri ke kursi. Kantuk membuntuti saya sejak pagi, dari kemarin rasanya saya baru terlelap beberapa jam saja. Interior kapal yang kami tumpangi cukup nyaman. Di depan disediakan ruangan dengan jejeran matras untuk merebahkan badan. Kalau saja baju saya tidak basah, mungkin saya akan dengan suka cita menghempaskan tubuh di salah satunya. Perlahan mata saya terasa berat. Saya mencoba memejamkan mata tapi tidak berhasil juga, akhirnya di dalam kebosanan beberapa jam berlalu hingga kami tiba kembali ke Pototano. 

Destinasi pertama yang kami tuju adalah masjid. Tentu saja masjid yang tampak cukup besar dan memiliki beberapa kamar mandi mumpuni untuk membersihkan diri. Untung saja di Lombok, masjid banyak bertebaran, megah-megah pula. Tak lama kami mendapatkan sebuah masjid dan segera membongkar muatan. Buru-buru karena dikejar waktu kami harus mandi bergantian dengan kilat. Tapi ya sekilat-kilatnya orang yang nggak mandi dua hari ya gimana ya..apalagi cewe-cewe. Akhirnya baru jam setengah 3 kami melanjutkan perjalanan. Para lelaki sudah duduk manis menyambut kami dengan minuman dingin dan camilan. Terharu tumben banget pengertian *nangis bahagia.

Perjalanan berlanjut menuju kampung sasak. Pak Imam banyak bercerita soal adat dan budaya masyarakat setempat. Disinilah kain tenun khas lombok banyak dibuat. Konon, para anak gadis sasak harus bisa menenun sebagai syarat untuk bisa menikah. Ada lagi yang unik dengan adat masyarakat sasak: melarikan anak gadis sebagai isyarat peminangan. Bagi orangtua yang memiliki anak gadis, bukannya khawatir ketika anaknya tidak pulang tapi malah gembira. Karena hal itu pertanda anak gadis mereka akan segera dipinang. Da kalau di Jawa saya nggak pulang tanpa pamit??? Bisa dipecat saya jadi anak -,-.

Akhirnya kami tiba di salah satu tempat perajin kain tenun lombok. Disana kami ditunjukkan bagaimana benang ditenun satu persatu menjadi kain. Dipersilakan memakai baju adat dan berfoto bersama. Ini sesi yang paling seru! Haha, kami dibantu para pramuniaga berganti baju adat yang bercorak cantik. Saya sendiri mendapatkan kain dengan warna cerah: merah muda-peach, senang :D
Dan foto bersama dengan baju adat ini menjadi salah satu favorit saya ♡. Setelah puas berfoto, kami lanjut belanja -gaya banget ya. Di sini mahal-mahal sekali kainnya, tidak heran karena seluruh prosesnya manual. Fajar membeli dua helai kain tenun seperti syal panjang. Motifnya keren! Akhirnya setelah berunding sejenak, kami memutuskan untuk membeli kain lombok untuk izul. 

Puas berbelanja, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan. Ditengah jalan kami bertemu dengan rombongan semacam karnaval yang memanggul properti? -disebut apa ya sama orang 'normal'- berukuran besar dengan bentuk-bentuk yang menyeramkan. Pak Imam memberitahu namanya 'ogoh-ogoh'. Saat itu memang menjelang hari raya Nyepi, apakah acara tersebut merupakan salah satu rangkaian peringatan atau bukan saya tidak tahu.

Rupanya sebelum ke penginapan pak Imam mengajak kami ke pusat oleh-oleh. Bagi para pelancong, oleh-oleh menjadi buruan wajib yang harus dibeli, *tak terkecuali saya, hahaha. Sebenarnya saya nggak terlalu berniat membeli oleh-oleh, karena makanan di rumah saya selalu ngga laku -,-, kami semua hobi nggak makan. Tapi daripada tidak, saya akhirnya membeli satu kotak dodol rumput laut khas lombok, satu kantong kopi dan terasi. Rasa dodol rumput lautnya enak, tidak terlalu manis dan kenyal. Ringan untuk dijadikan camilan. Sedangkan kopi dan terasinya sampai sekarang belum dibuka! Haha. Sebenernya saya menunggu-nunggu kopinya, penasaran apa bedanya dengan kopi Jawa. Terakhir saya membeli kopi sebagai oleh-oleh adalah ketika ke Semarang, kopi Banaran. Rasa kopinya enak banget! meskipun sekarang sudah tidak membiasakan mengkonsumsi kopi, tapi tetap saja saya tidak bisa mengingkari kenikmatan pahit asam seduhan kopi. Ah, cukup bahasan tentang kopi ini.

Pak Imam kembali memacu mobil melintasi perkotaan menuju lokasi penginapan yang ebrada di daerah Senggigi. Hari sudah gelap ketika lamat-lamat kami menemukan Baleku, tempat menginap kami selama dua hari ke depan. Setelah menurunkan bawaan dan memilih teman dan kamar *which is tas saya dan tas Niken dimasukkan dalam satu kamar oleh petugas penginapan-lagi-lagi* akhirnya kami segera membongkar apa yang harus dibongkar dan melakukan apa yang harus dilakukan. Selesai dengan urusan masing-masin, kami berkumpul di saung bambu yang terletak di tengah area penginapan. Hari yang melelahkan ini kami tutup setelah menikmati makan malam dan puas bermain gaple. Ah, dasar anak muda..(Bersambung)

Kain tenun lombok (penamaannya asal banget, lupa namanya apa -,-!)
Gadis Lombok yang sedang menenun benang

*Kali ini foto dokumentasi saya pribadi, huhuyyy!

Senin, 30 Maret 2015

Photoset: Matahari Terbit di Pulau Kenawa

"Kamera membidik ke ufuk timur. Menyambut pertanda dari semburat merah saga. Jika waktu bisa dibuat beku, bisakah terhenti pada saat itu? Ketika awan berarak tersapu cahaya keemasan, ketika rumput menghijau tersibak terang. Kami menyambut pagi, mengucap selamat datang pada mentari."
 

Matahari terbit, diabadikan oleh Yohanda Mandala, Flickr account: jokidz90

Bukan Travelogue: Mengejar Matahari Terbit di Pulau Kenawa (3)


Dalam pelukan sujud di sebuah pulau di tengah lautan, aku menitipkan sebuah doa yang panjang. Agar kelak, Tuhan mengijinkan kita untuk kembali berperjalanan bersama. Mencari apa yang seharusnya kita temukan, dan merelakan apa yang harus kita tinggalkan. Selamat pagi, Pulau Kenawa.

Semburat merah saga sudah mulai terlihat di ufuk timur. Kami semua sudah terjaga sejak lama. Saya sendiri pagi ini akan melaksanakan misi pribadi saya: mengabadikan matahari terbit di Pulau Kenawa. Berbekal kamera handphone (nggak niat banget ya, padahal katanya misi besar-.-) karena tidak berhasil mendapat pinjaman kamera sedang kamera pocket saya rusak, saya bersiap menghadap ke timur. Kami semua duduk berjejer untuk menikmati matahari terbit.

Mendung hitam di ufuk timur rupanya tak kunjung bergeser. Saya dengan kamera seadanya kesulitan menangkap dengan jelas perubahan warna langit. Puluhan gambar saya jepret sejak tadi. Rasanya sudah sangat lama dan matahari belum juga beranjak naik. Ah, sepertinya, pagi ini saya tidak akan bisa menangkap matahari pagi dengan sempurna. Tapi berkat bantuan Jojo, akhirnya saya mendapatkan pemandangan matahari terbit yang sangat cantik di Pulau Kenawa! Pengen nangis rasanya lihat hasil foto Jojo, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Langit gelap berubah warna menjadi merah, lalu disusul semburat kuning yang semakin lama berubah menjadi keemasan. Padang rumput perlahan menghijau diterpa cahaya pagi. Lautan berkilau cantik memantulkan nyala oranye seperti minyak. Awan berarak dari abu-abu hingga putih di ufuk timur, menyelimuti barisan gunung di kejauhan. Sepotong pemandangan pagi yang sempurna untuk dinikmati dari puncak bukit kecil.

Jika bisa, saya ingin memotongnya dan menjadikannya kartu pos, memasukkannya ke dalam saku seperti ulah Seno Gumira yang mencuri senja untuk Alina. Tapi ituk tidak mungkin saya lakukan bukan? saya hanya bisa menyimpannya rapat-rapat dalam ingatan, untuk kembali diceritakan suatu saat nanti.

Saatnya menjelajahi Pulau Kenawa! Niken, Imon dan Supri sudah terlebih dahulu menyusuri jalan setapak di bawah, menuju bukit yang lebih tinggi. Dari kejauhan tampak tubuh mereka yang semakin mengecil di antara rerumputan hijau yang tinggi. Saya, Jojo, Ina, Ocha dan Fajar menyusul menuju bukit yang sama. Jojo masih terus berburu foto landscape sedangkan saya dan Ina berjalan pelan ditinggalkan Ocha dan Fajar. Bukit di depan kami rupanya sangat curam, jalan setapaknya juga cukup licin meskipun sedikit berbatu. Saya yang hanya memakai sepatu plastik sempat gentar, tidak yakin bisa naik hingga ke puncak. Ina dan Jojo sudah lebih dahulu berhenti dan berbalik, tapi saya penasaran. Dengan ekstra hati-hati saya mendaki bukit dengan sesekali berpegangan pada akar rumput. Akhirnyaa, saya berhasil sampai ke atas meskipun dengan susah payah! dan pemandangan dari atas memang indah! dan selanjutnya saya pusing memikirkan bagaimana caranya turun dari sini.

Jalanan menurun semakin sulit dilalui, saya terpaksa ngesot menuruni bukit. Beberapa kali sempat terpeleset membuat saya semakin selektif memilih pijakan. Meskipun tidak selicin Ijen, tapi tetap saja kalau jatuh ini sakit pak, maka saya istiqomah untuk berjalan perlahan-campur ngesot-agar bisa sampai di bawah dengan selamat. Yay! berhasil juga turun dan saatnya mengeksplor perairan!

Kami berjalan beriringan dengan riang gembira, agenda pertama nyemplung di laut sejak tiba di Sumbawa nih! Fajar sudah menyiapkan beberapa goggle dan fin untuk kami. Saya mencari cari yang pas dan langsung nyebur ke lautan. Setelah beberapa saat nyemplung, saya agak kecewa karena ternyata tidak banyak yang bisa dilihat. Hanya ada ikan-ikan kecil, tidak tampak karang warna-warni. Sepertinya kami sedikit salah spot. Tapi yasudahlah, bagi kami yang setiap hari melihat motor berlalu lalang, bisa slulup di laut ramean kaya gini sudah sangat bahagia. Akhirnya kami hanya bermain-main air saja, hitung-hitung pemanasan. 

Matahari sudah semakin tinggi, Fajar mengkode kami agar segera kembali ke tenda untuk berkemas. Disela-sela merapikan tas dan peralatan, Fajar menyempatkan diri memasak sarapan dan milo hangat. Milonya, enak bangeeeet! Pasti ini efek kelaparan. Setelah sarapan, kami segera membongkar tenda, foto berkali-kali dalam berbagai pose lalu berjalan menuju dermaga untuk menunggu kapal. Kami berjalan menyusuri padang rumput yang terik, dari kejauhan tongkang penjemput kami sudah terlihat. Ransel-ransel segera dipindahkan, satu persatu kami melompat dari dermaga. Perlahan tapi pasti, kami meninggalkan Pulau Kenawa. (Bersambung)

Bersiap menyambut matahari terbit

Liburan!
Pulau Kenawa
*Foto oleh Yohanda Mandala, Flickr account: jokidz90, dan dokumentasi pribadi