Minggu, 30 Oktober 2011

Berbincang

Mendung menggantung tinggal menunggu runtuh. Adzan berkumandang mengingatkan ashar telah tiba. Saya masih terpaku di depan layar mengetikkan beberapa baris kata hingga memutuskan beranjak sejenak...rehat dan kembali mengambil langkah. Sebentar..tunggu beberapa saat lagi, biarkan saya mengambil waktu untuk kembali berbincang dengan-Nya..

Ya Allah..beberapa bulan terakhir hamba tidak lagi menemui-Mu di penghujung malam. Kini begitu sulit hamba mengalahkan godaan untuk tetap terpejam ketika alarm berteriak nyaring di gendang telinga. Snooze, dan hamba kehilangan kesempatan, lagi.

Ya Allah, mungkin aku sama curangnya dengan para penjilat yang mendekati pejabat demi memuluskan kepentingan. Samakah denganku yang mendekat pada-Mu ketika gelisah membuat mataku sulit terpejam menanti esok hari? aku malu pada-Mu.

Ya Allah..bahkan aku lebih takut melangkah daripada seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Prasangka akan salah-benar, ketakutan akan omongan orang, harga diri yang berapa harga sesungguhnya? terkadang aku lupa, hanya nilai dari-Mu lah yang mutlak yang harus kuperjuangkan. 

Ya Allah, aku menciut ketika amanah besar menguji kekuatanku. Terkadang aku terpekur, terbungkam oleh kekhawatiran bagaimana aku mampu melakukannya? Sedang aku lupa, Engkau lah yang mengamanahkan kekuatan bersama setiap kekhawatiran.

Dan Engkau pula yang menggerakkan hati hamba. Mengingatkan melalui suka dan duka, menyelipkan semangat bersama teman seperjuangan, membisikkan doa bersama pagi. Dan kau memberikan malam sebagai kesempatan, sekali lagi..

Kamis, 27 Oktober 2011

Ini entri yang saya buat diluar kebiasaan saya menulis di akhir minggu. Hanya saja, saya takut melewatkan apa yang ingin saya tuliskan hari ini. Sesuatu hal yang selama ini jarang saya ingat, hingga seorang kakak menyebutkannya *lagi.

Di sebuah sesi curhat antar angkatan yang detailnya tidak bisa diceritakan. Hanya saja kami sedang serius sekali membahas "bagaimana nanti kedepannya".. yah..meskipun saya cukup lelah sore itu, saya masih mencoba berkonsentrasi. 
Ini cerita tentang ukhkuwah, yang sedihnya sebentar lagi akan terpisah jarak. Bukan, bukan berarti hitungan kilometer akan melunturkan ikatannya..hanya saja mungkin, tidak akan lagi bisa seperti ini. Ini tentang sisa waktu yang semakin sedikit, tidak pernah terpikir bahkan ini berkorelasi dengan tingkat empat. Saya masih terlalu sibuk dengan-entah-apa. 
Percakapan sore tadi membuka mata saya, tentang arti kontribusi, ukhkuwah, perjuangan dan sisa waktu yang ada. Inilah kesempatan yang hampir mencapai akhirnya. Sebuah kesempatan yang selama ini tidak termaksimalkan karena kelalaian. Sebuah kesempatan berharga yang nyaris menguap bersama tahun keempat.

"Nanti kita akhirnya akan saling berpisah satu sama lain, entah saya kemana, Erwan kemana dan Piko ke Jerman mungkin," saya mengamini doa ke Jerman keras-keras..

Tapi..sebenarnya ada sedikit rasa sedih yang terbersit. Mungkin kelak tidak akan bisa lagi berkumpul dalam forum seperti ini. Sekedar mengeluh dan meminta dinasehati, membagi rata kekhawatiran tentang satu sama lain, bertukar kabar dan saling menceritakan liburan di kampung masing-masing. Dan semuanya tinggal sebentar lagi Ya Allah... semoga sisa waktu yang ada ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. 

Ya..sebentar lagi. Tidak banyak yang tersisa dari sekarang, namun semoga Allah masih menguatkan langkah-langkah kami. Menghapuskan rasa lelah di hati-hati kami, dan menggantikannya dengan semangat dan harapan akan masa yang lebih baik. Ini bukan cerita pendek yang akan tamat dalam beberapa halaman, tapi semuanya merupakan sebuah proses panjang pembangunan peradaban. Dan mimpi-mimpi kami di sini adalah deretan batu pondasi yang berharap dapat terus menjulang ke atas menyangga sebuah bangunan yang kokoh. 

Dan semoga Tuhan akan mengabulkan setiap doa yang membumbung ke langit, mengukuhkan setiap mimpi yang terucap.

Sabtu, 15 Oktober 2011

#5 Me-Nyimpang

Sudah lama sekali saya tidak naik angkot. Apalagi menyusuri jalanan dago yang sering menguji level kesabaran. Tapi..hari ini lain ceritanya. Saya kembali menyusuri Dago-Tubagus Ismail- Dago lagi, fushion antara ngangkot dan berjalan kaki. WOW..rasanya..cukup menyenangkan juga berjalan-jalan seperti ini, nostalgia ala TPB ceritanya...

Bertiga kami memutuskan berhenti di tengah jalan. Tujuannya adalah simpang Dago, kawasan pasar ini tidak jauh dari kampus. Tapi, baru sekali dua kali saya menyempatkan waktu untuk mampir. Eh, bukan menyempatkan diri deng, memang terpaksa kali ya..heheh.

Disepanjang jalanan ini terdapat penjual makanan yang biasanya hanya saya lewati ketika bete kena macet. Habis bagaimana berpikir mau mampir, trafficnya bikin mood naik turun.Lebih baik saya pulang ke kosan dan melempar diri ke kasur. Tapi hari ini lain ceritanya..saya meninggalkan motor saya di parkiran kampus tadi. Survey tempat ini berakhir di semangkuk sop buah di simpang Dago.

Bagi yang belum pernah mampir ke Simpang, sedikit spoiler deh. Kawasan ini terletak di jalanan Dago, di pojok tikungan Jalan Tubagus Ismail. Sebenarnya, ada pasar di sini, itulah yang membuat daerah ini selalu ramai. Di depan pasar berjejer warung-warung makanan. Dari sop buah, es duren, es shanghai, tempe mendoan, zupa-zupa, jajanan pasar, ayam penyet, nasi goreng, dan..banyaklah kulinernya. Lumayan sih buat nongkrong-nongkrong galau seperti saya sore ini. Berawal dari keinginan random si nenek, jadilah kita memutuskan mampir minum sop buah. Saya yang lagi semangat-semangatnya ngemil langsung iya aja tanpa berpikir dua kali!

Here we go! turunlah kita dari angkot Caringin-Sadang serang. Berjalan di depan belakang ala kereta api kami bertiga mulai menyisir warung satu persatu. Awalnya kami mengincar es shanghai, tapi semuanya berubah ketika kami melihat gerobak sop buah dengan etalase penuh lemon dan stroberi. Dengan mantap kami berbelok dan memesan 3 mangkok sop buah.

Hmmm...ternyata menyenangkan juga menghabiskan waktu di sini. Saya mengamati kendaraan yang berlalu lalang. Sore ini Dago cukup lancar, masih bisa lewat lah minimal. Di samping kanan saya ada dua mas-mas botak yang sedang mengantri sop buah seperti kami. Suara musik lawas berdentum-dentum dari speaker yang entah punya siapa, mengundang komentar nenek : "Ini teh berasa makan di manaaa...gitu, " 
Ya..memang seperti di mana, meskipun lokasinya familiar tapi suasananya entah karena apa menyenangkan. Sore yang redup, dominasi warna biru-putih-abu, udara sejuk, berasa liburan :p
*di tengah kenyataan hectic UTS gak jelas*. 
Gerobak sop buah yang di etalasenya ada lemon!

sop buahnyaa
Ini sih rasa nyaman yang sederhana. Mungkin susah dijelaskan ataupun dimengerti. Hanya saja...hal-hal biasa seperti ini lah yang justru tidak biasa di lakukan. Jarang loh saya menyempatkan waktu buat sekedar minum es bertiga bersama pipit dan nenek seperti ini, setelah terakhir rame-rame norak mencicipi pasta di depan kampus. Hanya saja..kalau tidak sekarang kapan lagi? 

Sabtu sore, di minggu UTS. terkadang kita terlalu disibukkan dengan urusan kita masing-masing. Mengharapkan liburan mewah atau petualangan menyenangkan nun jauh di karimun jawa atau puncak semeru. Terkadang saya terlalu sibuk mengurus kepentingan saya, sms kalau butuh, nyamperin kalau butuh..di luar itu..kita teman bukan? butuh lebih dari sms tentang tugas atau jalan bareng karena survey. Hidup cuma satu kali..be nice to each other :). 

Terimakasih telah menemani saya sore ini, terimakasih atas waktu yang selama ini diikhlaskan untuk mendengar keluhan saya. Terkadang, ada hal-hal yang tidak terkatakan bahkan maaf ataupun terimakasih. Terimakasih telah mengerti apapun yang saya lakukan, *nyanyi yu know me so weeell~

Kamis, 13 Oktober 2011

Kali Ini Cerita Pendek Tentang Rembulan

http://eriek.wordpress.com/2008/04/24/bulan-purnama/

Mengapa pungguk merindukan bulan? apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? kesimpulan yang jelas bisa diambil dari pertanyaan tersebut hanyalah "sebenarnya saya lupa ceritanya.."

Sebenarnya yasudahlah..lewati saja bagian pungguk merindukan bulan. Malam ini Bandung cerah. Tidak seperti kemarin-kemarin yang selalu diguyur hujan. Sekilas, tadi saya sempat terprovokasi status seorang  teman. Kurang lebih isinya, "yang di Bandung, coba deh liat keluar sebentar. Bulannya bagus,
Saya beranjak mengintip ke luar, huaah..benar. Malam ini, bulannya bagus, meskipun belum bulat benar..tapi cahaya kuningnya selalu terkesan "minta difoto banget", hehe.

Untuk apa bulan diciptakan? teori satelit-orbit-keseimbangan semesta dan segala ilmu yang pernah saya pelajari dulu sepertinya, semakin tipis bekasnya. Hmm..yang penting bagi saya, pasti semua orang boleh membangun persepsinya sendiri bukan? untuk apa bulan terlihat malam ini, oleh saya.

Langit Bandung memang sudah tidak seindah kampung halaman saya. Urusan pemandangan bulan yang paling spektakuler yang pernah saya ingat adalah ketika berada di Bantul beberapa bulan lalu. Sepertinya bulan yang itu sama bulan yang ini masih sama juga kan ya? tapi yang di Bantul, Subhanallah...saya terpaku menatap ufuk timur sore itu. Bundar dengan cahaya kuning lembut. Muncul dengan anggun senja itu, sepertinya masih sore, bahkan maghrib belum menjelang. Bagus sekali..saya memelankan laju motor agar bisa menikmatinya lebih lama. Indah..indah sekali..

Satu lagi tentang bulan yang pernah saya lihat. Yang ini di Madiun, jauh dari Bantul, apalagi Bandung, hehe. Bulan yang di sana memiliki halo waktu itu. Pendaran cahaya nya luaaaaas sekali..bapak selalu meminta saya mematikan lampu jalan ketika bulan purnama. Yang edisi spesial halo super indah lah..ada lingkaran seperti border yang berpendar, gugusan bintang kelap-kelip keren terlihat sangat jelas. Hal yang tidak pernah saya lihat di langit Bandung yang hampir selalu merah. (*sighs, pengen pulang)

Dulu, saya sering sekali menghabiskan waktu barang semenit dua menit duduk di teras memandangi bulan. Galau ya? mungkin...tapi hal itu menjadi sebuah zona nyaman tersendiri bagi saya. Hmmm..mmm...memandangi langit malam tidak pernah membuat saya bosan. 
Jadi sebenarnya, mengapa bulan begitu indah?
Semua orang memiliki jawabannya masing-masing bukan?

Selasa, 04 Oktober 2011

Detik, menit, jam, hari, minggu.

gambar: http://konsultasipelajar.blogspot.com/2010/12/belajar-pada-sebuah-jam.html















"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran" (Q.S Al-Ashr:1-3)

Terkadang ketika dihimpit berbagai urusan yang harus segera diselesaikan saya berharap hari itu tidak berhenti di pukul 24.00. Terkadang ketika sebuah hari terlalu menyesakkan dada saya juga berdoa, semoga hari ini berganti secepat saya mengedipkan mata. Tidak pernah puas, itulah manusia.

Tidak salah jika waktu diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Hanya ada pilihan bagi manusia, dikuasai atau menguasai, dikendalikan atau mengendalikan. Sayangnya, saya lebih sering dikendalikan daripada mengendalikan waktu, semoga saya bisa lebih banyak belajar.

Saya sangat salut pada orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu yang dimilikinya untuk segala hal yang berguna. Mendatangkan manfaat bagi umat, dengan sedikit mudharat yang sempat diperbuat. Semua itu karena mereka memiliki komitmen yang teramat kuat untuk menghargai waktu, satu hal lagi yang belum bisa saya perbuat.

Sering saya menunda pekerjaan hanya karena urusan sepele, berakhir dengan rasa penyesalan yang pun begitu midah terlupakan. 

Tapi waktu bisa menjadi pedang..

Waktu menghimpit dada hingga sesak ketika ia tidak mau lagi memberi kesempatan. Apakah kita harus menunggu waktu memberikan kita kesempatan, ataukah kita yang harus membuat kesempatan itu?
Saya lebih suka mengambil pilihan kedua. Meniatkan untuk meluangkan sedikit waktu adalah satu langkah untuk kita belajar berteman dengan kesempatan. 

Jika kita ingin membuat janji, bukankah kita akan berpikir terlebih dahulu, "Adakah waktu yang masih saya miliki?"
Keputusan selanjutnya hanya tergantung pada seberapa ingin kita membuat janji itu, seberapa penting sifatnya dan seberapa peduli kita terhadapnya. Jika dari awal kita hanya setengah hati, niscaya kita tidak akan membuat janji tersebut. 

Kita tidak mau menyisakan waktu.

Tapi coba pikir kembali, bandingkan jika kita memiliki kepentingan besar dalam janji tersebut. Bukankah kita akan sekuat tenaga meluangkan waktu? mengubah jadwal, membatalkan yang bisa ditunda jika perlu, menggunakan berbagai metide skala prioritas, dan entah sebagainlas.ya. Yang jelas mengusahakan semaksimal mungkin. Memang..butuh komitmen dan tekad yang kuat hanya untuk sekedar menepati janji untuk datang ke sebuah syuro' misalnya. Kembali lagi pada pribadi masing-masing...

Semoga Allah selalu memudahkan jalan saya untuk berkompromi dengan waktu. Berteman dengannya sebaik mungkin hingga tidak ada yang terbuang percuma. Menginfakkannya dengan ikhlas agar kelak ia mau membela saya ketika harus bertanggung jawab didepan-Nya. Semoga Allah masih memberikan saya kemampuan untuk memanfaatkan waktu yang saya miliki. Semoga Allah masih menkaruniakan hari esok bagi saya. Semoga tidak akan ada yang harus disesali di akhir nanti, tidak tentang hari ini, esok atau lusa. Karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita akan hidup didinia..kita tidak akan pernah bisa memastikan apakah kita kan kembali berjumpa dengan kesejukan subuh esok hari..apakah kita masih bisa menemui kedua orangtua kita saat liburan nati? Hanya Allah Yang Maha Tahu atas segala ketetapan-Nya..

Semoga bisa menjadi renungan bagi diri saya sendiri. Semoga Allah selalu memberikan kesempatan untuk menikmati waktu yang dikaruniakan-Nya, karena waktu tidak akan pernah bisa kembali...


#4 Malam Minggu Rasa Keju

Glek!, saya menelan ludah melihat gundukan keju di depan mata. Bukannya saya kalap ingin segera menyikatnya sampai tandas, tapi saya justru meragukan kemampuan saya malam itu. "Gila ini mah..." batin saya dalam hati.

Bukan pertama kalinya saya melihat dengan mata kepala besarnya porsi mi rebus ditimpa keju di salah satu warung yang terkenal di Bandung ini. Hanya saja, seringkali saya lebih memilih roti atau pisang daripada segunduk mi rebus. Tapi malam itu, perut saya yang memang lapar menggoda saya memesan seporsi mi rebus keju yang berakhir dengan tatapan tidak percaya. "MasyaAllah...........banyak bener ini..."
Sesendok demi sesendok, saya berusaha menelannya pelan-pelan. 

Setengah jalan, makan malam saya ini serasa tantangan di reality show. Perut saja sudah mulai memasang alarm penuh. Muti, oknum yang mengajak saya makan di tempat ini hanya tertawa-tawa melihat muka saya yang tersiksa demi menghabiskan semangkuk mi rebus kuah keju ini. Bagaimanalah..saya bukan tipe orang yang bisa menyisakan makanan, maklum..sifat mahasiswa saya sudah sangat mendarah daging. Akhirnyaaaa....sampai juga suapan terakhir, dengan penuh perjuangan saya bisa menghabiskan porsi maut makanan ini.
Mie rebus tertimbun gunung keju

roti panggang tertimbun keju (lagi)
Ada yang tersisa, sepiring roti panggang yang tertimbun gundukan keju rupanya masih tersisa di depan kami. Awalnya kami sok-sokan menambah pesanan agar ada cemilan sembari menunggu makanan datang. Rupanya dugaan kami salah, seporsi roti panggang ini hanya tersentuh secuil kecil di pinggir kanan kirinya. Kami tidak memiliki daya kuasa lagi untuk menyentuhnya...tidak malam ini, setelah semangkuk penuh mi rebus dengan toping gundukan keju di atasnya. Tidak.

Akhirnya kami memutuskan untuk membungkus roti panggang yang tersisa, dan menghibahkannya pada Friska yang menerimanya dengan hati berbunga-bunga. Hmm..malam minggu itu masih berlanjut dengan berbagai adegan yang akan disimpan sebagai konsumsi pribadi :P. Terimakasih telah menyimak.

*Friska adalah adek kos paling muda yang selalu jadi korban pembulian di kosan.
**Kami makan mi bertiga setelah sempat berdebat ingin makan apa di sepanjang jalan kebon bibit hingga jalan Dago, dengan tokoh yang belum disebut: Niken.