Minggu, 31 Maret 2013

Tanda Tanya

Kenapa dalam hidup selalu ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul, membuat segunduk timbunan salju yang susah payah dibekukan perlahan meruntuh?
Apakah ini pertanda hidup tidak pernah menawarkan rute pelarian?
Kenapa dalam hidup selalu ada celah yang membetikkan ruang untuk menumbuhkan asumsi? apakah itu berarti harapan yang layak dibiarkan tetap menyala?
Kenapa dalam hidup penyesalan adalah sebuah kalimat dalam bentuk past tense? apakah berarti ia menawarkan future tense sebagai pelipur laranya?
Kenapa justru ketika punggung yang tertegak untuk tidak berbalik, harus dipaksa memutar arah? Mementahkan setiap guliran waktu yang dibekukan untuk menjadi tegak
Lantas kenapa?

Selasa, 26 Maret 2013

Anak-anak (Zaman Sekarang)


Mungkin sudah bukan zamannya anak-anak akrab dengan kelereng atau untaian karet gelang, congklak? apa pula itu. Bukan zamannya lagi anak-anak berkeliaran di ladang, bersembunyi rapat di semak-semak, atau berlarian menghindari bola kasti. Kampungan katanya, jika anak-anak hanya bermain mobil-mobilan atau tembak-tembakan dari pelepah pisang. Kenapa mesti repot-repot kepanasan? sekarang, dalam satu genggaman layar, anak-anak sibuk bermain. Apakah ini era keemasan atau malah justru kehancuran?

Saya belum pula menjadi seorang ibu. Jadi seorang anak pun, tidak sangat baik juga. Tapi rasanya di dalam hati saya yang terdalam miris rasanya melihat anak-anak zaman sekarang. Mungkin ini adalah pendapat anak era 90-an semata. Yang seringkali dibilang gaptek dan nggak gaul, tapi apakah harus menjadi gaul kalo itu berarti hanya menuju ambang jurang kehancuran?

Sudah hampir tiga tahun terakhir saya tinggal di Bandung. Kota besar yang bagaimanapun sama sekali berbeda dengan kota kelahiran saya nun jauh di Jawa Timur sana. Apalagi saya tinggal di desa, sudah di kota kecil, di desa pula..hahaha. Namun rupanya waktu tiga tahun sama sekali tidak bisa meredam culture shock saya terhadap banyak hal di kota ini, apalagi tentang anak muda-nya. Kosan saya yang berada dekat dengan komplek perumahan padat penduduk cukup ramai oleh anak-anak remaja tanggung usia belasan tahun. Kalau dilihat dari seragamnya, masih antara biru tua dan abu-abu. Tapi kelakuannya, selalu membuat saya ternganga. Adegan mesra pemuda-pemudi yang tidak jarang masih berseragam tersebut membuat geleng-geleng kepala. Belum lagi acara merokok berjamaah, sudah hampir tiga tahun, dan pemandangan perempuan dengan rokok ditangannya masih saja potongan adegan yang mencengangkan. Dasar kota besar, saya hanya bisa mengelus dada.

Dulu, di era 90-an, siang hari seringkali disibukkan oleh karet-karet gelang atau kelereng. Batang kayu bahkan menjadi mainan seru, sepeda adalah harta yang mewah. Sekarang, lihat saja, mainan dalam kepala anak zaman sekarang adalah teknologi. Tapi teknologi yang tidak tepat guna. Buat apa anak SMP sudah punya Android, Blackberry, masih minta iPhone segala? "buat gahul dongs tante," mungkin adalah jawaban yang akan meluncur cepat dari muluk adik-adik saya yang lebih betah di depan layar daripada berpanas-panasan bertemu dalam dunia nyata dengan teman-teman sebayanya. Buat apa?, toh di jejaring sosial mereka bisa berbincang dan bercanda akrab. berlama-lama, tanpa membuang tenaga, apalagi tanpa kepanasan pula. Adakah tawaran yang lebih menarik?

Permainan bagi anak-anak zaman sekarang begitu beragam tersedia. Tinggal colek-colek layar, mau apa juga ada. Ingin berdiskusi? ada grup di jejaring sosial, hiburan juga tersedia banyak di layar televisi. Mau cerita yang seperti apa? anak SMP patah hati atau rebutan pacar ada, mau cerita geng cewek cantik dan cowok ganteng banyak. Hasilnya, tuh..adik-adik saya yang baru semester kemarin masuk SMP update-an statusnya galau terus. Apalagi kalau bukan curcol tentang pacarnya,? apakah benar sudah saatnya mereka galau oleh masalah seperti itu?

Miris sekali lagi. Kalau sudah begini saya jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah para orang tua di zaman sekarang tahu bagaimana kelakuan anak-anaknya? bagaimana perasaan mereka?hancurkah?  biasa-biasa saja kah? Lantas berganti dengan pertanyaan tentang diri saya, Bagaimana bapak dan ibu dulu bisa cukup berhasil mendidik anak perempuannya yang sebenarnya bandel ini? bagaimana caranya ibu berhasil menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik pada saya? lantas bagaimana kelak saya akan membesarkan anak-anak saya dalam dunia yang sudah kacau balau ini?.

Anak-anak, kelak yang akan menjadi pemimpin, penjadi penegak hukum, menjadi penggerak sektor ekonomi, menjadi aktivis politik. Anak-anak yang kelak akan melahirkan generasi-generasi baru pula, menggulirkan perubahan zaman. Anak-anak adalah investasi yang besar bagi keluarga, bagi bangsa dan bagi agama. Presiden dulu juga anak-anak, bahkan Nabi pun juga pernah menjadi anak-anak. Nasib masa depan peradaban sesungguhnya ada di tangan anak-anak, remaja-remaja tanggung yang sering galau itu, siapa tahu salah satunya digariskan untuk menjadi pemimpin umat. Lantas bagaimana nanti umatnya kalau pemimpinnya tidak memiliki bibit, bebet dan bobot yang berkualitas?.

Anak-anak zaman sekarang, nantinya mungkin anak saya akan menjadi generasi anak-anak 'zaman sekarang' di masanya. Ketika itu saya akan mendapat amanah dan tantangan yang paling besar. Berusaha agar anak-anak 'zaman sekarang' kelak bukan anak-anak yang nongkrong merokok di pinggir jalan sepanjang siang. Bukan yang berangkulan mesra dalam seragam biru-putih di atas motor. Bukan anak anti sosial yang lebih dekat dengan layar daripada kakak. adik, kakek, nenek, sepupu atau tetangga di kompleks perumahan. Bukan juara balap mobil atau lari cepat di layar gadget teranyar. Tanggung jawab yang besar bagi ibu anak-anak untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Anak-anak yang tahu untuk apa hidup, bagaimana hidup dan menikmati kehidupan yang sesungguhnya. Semoga, semoga anak-anak dapat menjadi semestinya anak-anak.





Kamis, 07 Maret 2013

Ceracau Siang Seorang Pekerja


Oke, baiklah. Saya mendompleng sedikit dari jam kerja untuk membuat tulisan ini. Maafkan saya pak kepala RND, tapi kalaupun tidak,sepertinya selama lima belas menit ke depan saya masih belum juga membuka file riset saya. *nyengir.

Titik Nol milik Agustinus Wibowo tergeletak di meja kerja. Belum ada separuh perjalanan hingga lembar terakhir. Dan ini juga bukan lapak yang seharusnya saya gunakan untuk mengoceh panjang lebar tentang sebuah buku ataupun penulisnya. Tapi saya tidak tahan untuk tidak berkomentar secara subjektif, sebagai pembaca yang tersentil bukannya sebagai tukang resensi. Dan yang saya tuliskan ini yakinlah bukan rangkuman ataupun spoiler buku yang membuat Anda semua kecewa, tapi hanya sekelumit pertanyaan-pertanyaan dan perasaan-perasaan yang muncul begitu tiba-tiba.

Dua puluh tiga tahun. Belum ada sebuah perjalanan besar yang pernah saya lakukan. Iri? tentu saja. Tapi saya belum leleah menghibur diri bahwa semua orang telah memiliki jatah cerita masing-masing. Tapi ada satu kesamaan: Makna. Apakah makna yang telah ditemukan ataukah yang sedang dicari?
 "Gue lagi ngapain dan mau ngapain?"

Beberapa orang terdekat saya begitu gemar sekali menimba ilmu. Lulus sarjana, mengambil pendidikan pasca sarjana. Lalu menyambung lagi dengan pasca pasca sarjana alias doktoral. Bahkan yang lebih luar biasa, ada juga yang menempuh pascasarjana-nya dua kali sebelum mengambil program doktoral. Ya Saudara-saudara, dua kali mengerjakan thesis. Itu berita buruknya.

Oh, sudah mulai terasa penuh emosi dan bau-bau curahan perasaan yang menggelora ya? 
Bagaimanalah. Saya masih seringkali goyah dengan apa yang saya pilih. Apa yang mau saya lakukan, untuk apa yang telah saya lakukan, bagaimana melakukannya. Pusing? Ya..ya..saya mengerti. Mungkin kalau Carl Jung tanpa sengaja menemukan link tulisan ini di direktori Google, pasti saya akan dikatai belum beraktualisasi diri. Tapi nyatanya, percaya tidak percaya, saya memang..labil.

Catatan perjalanan Agustinus Wibowo kembali menusuk-nusuk dan mengoyak bungkusan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam entah dimana, yang sekali dua kali muncul selama satu jam perjalanan Tamansari-Ujung Berung yang penuh dengan kentut bus-bus kota yang dengan tidak sopannya tetap merayap perlahan. Apa sih yang saya kejar? apa yang saya ingin temukan dengan segala ketidaknyamanan ini? kebimbangan antara "mending gue stay di jalur profesi, kerja sampai mabok, " atau "Gue pengen lanjutin sekolah gue, sampai muka gue kaya laporan," atau "Mending gue nikah aja dan semuanya, selesai." 
Ups, yang terakhir jangan  di perpanjang.

Saya kehilangan banyak sekali quality time. Berjibaku dengan rutinitas dan segala hal yang belakangan disebut dengan pekerjaan. Bukan hanya di kantor, tapi juga di kamar kosan. Pekerjaan saya tidak ada habisnya. Lha kenapa masih mau dikerjain?

Jangan tanya. Saya rasa semua orang memerlukan pekerjaan untuk mempertahankan eksistensi. Minimal untuk menjawab pertanyaan adik kelas yang tidak sengaja berpapasan di jalan depan kampus. Lantas pekerjaan ekstra? upaya jadi entrepreneur kecil-kecilan ini, anggap saja tabungan. Lantas dimanakah bingungnya? bukankah semuanya sudah terjawab? Nah lo..

Manusia. Saya ini manusia biasa. Tapi rasanya porsi berpikir saya sedikit tidak biasa. Saya sering capai sendiri meladeni pikiran-pikiran yang melantur meminta jawaban. Tentang buat apa saya hidup di dunia? Apa peran besar yang bisa diambil? Apakan benar jalan ini yang akan saya tempuh kedepannya? Untuk siapa semua keterkekangan, perasaan terbebani yang kadang silih berganti dengan syukur yang buncah, keamanan, dan keterjaminan? Slot kosong yang kadang terisi oleh makna selintas, "saya ada untuk ini". Saya kehilangan makna. Makna yang sampai detik ketika menuliskan ini menghilangkan faktor manusia dengan Penciptanya. Menghilangkan variabel makhluk dan Tuhannya. Yang rupanya begitu rumit dan menyakitkan. Yang tidak terpikirkan dan tidak akan sampai jika dicari-cari dengan logika. Kepercayaan pada Tuhan yang memegang peta, rute kendali akan kemana hidup saya ini menjadi satu-satunya tali pegangan yang membuat saya bertahan untuk tetap waras. Entah apa jadinya jika Tuhan pun ikut berlalu pergi, bisa gila? bahkan sepertinya saya akan langsung tiada. 

Bagian terbaik dari semua ini adalah saya masih  bisa percaya, akan ada banyak hal yang tidak terduga. Yang tidak selalu sesuai estimasi, yang kadang tidak bisa dikalkulasi apakah akan terjadi atau tidak. Yang menjadi satu-satunya harapan ketika sepertinya sama sekali tidak ada harapan. Semoga Tuhan tidak lelah menahkodai kapal kehidupan saya. Selalu menggiring sesuai peta yang entah seperti apa, melalui jalur mana. Masalah tujuan akhir, sepertinya Tuhan masih membuka kesempatan untuk nego. Tentang akna hidup, yang ini juga Tuhan..masih bisa di nego bukan? Beri saya waktu untuk terus bisa berbincang dengan-Mu ;)