Kamis, 23 April 2015

Bukan Travelogue: Menyusuri Tiga Gili

Kami berkumpul menikmati sepiring banana pancake dan segelas teh hangat di pelataran Baleku. Ransel-ransel sudah terpacking rapi. Hari ini hari terakhir kami berada di Pulau seribu masjid.

Tujuan terakhir sebelum pulang hari ini tentu saja adalah 3 gili: Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Seharusnya kami sudah harus check out dan meninggalkan penginapan pagi-pagi. Tapi setelah pembicaraan antara Fajar dan pemilik penginapan, kami diperkenankan untuk menggunakan satu kamar untuk menaruh seluruh barang dan untuk mandi sepulangnya dari tiga gili nanti. Setelah urusan titp menitip ini selesai, Fajar meminta kami bersiap di depan.

Rupanya di depan kejutan sudah menunggu. Bukannya Pak Imam yang siap sedia dengan travel, kami dikejutkan dengan sebuah mobil macho berwarna merah, tanpa atap. Awalnya saya kira hanya numpang parkir, dan Jojo ini ngapain pede banget udah stand by aja di jok depan? yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mobil itulah yang akan mengangkut kami semua menuju Senggigi! Man, 8 orang dalam sebuah mobil sejeni Jeep kecil itu sesuatu banget. Err..sebenarnya saya setngah kesenangan karena penasaran sih! ahaha.

Mobil melaju kencang di jalanan menurun yang ternyata berada tepat di tepi pantai Senggigi. Saya sih dari kemarin nggak nyadar, haha. Tidak lama kemudian kami sampai di pantai untuk menyeberang. Di Pantai ini, Fajar membeli makan siang dan menyewa snorkle dan fin. Setelah deal dengan salah satu pemilik kapal, kami segera berangkat menuju Gili Trawangan, destinasi pertama kami.

Perjalanan mengarungi laut sekitar dua jam kami tempuh sebelum akhirnya kapal berhenti di Gili Trawangan. Di luar bayangan saya tentang sebuah pulau sepi penghuni lengkap dengan spot snorkling cantik, Gili Trawangan ini lebih mirip dengan 'dunia lain'. Bagaimana tidak, pulau kecil ini dipenuhi dengan cafe, bar, diving center, lengkap dengan bule di segala penjuru pulau. Cottage-cottage cantik, musik yang berdentum-dentum membuat suasana semakin nggak Indonesia banget. Baiklah, ada ATM Mand*iri sih setidaknya, yang membuat Gili Trawangan masih terlihat Indonesia. Siang semakin panas, lagipula kami tidak bisa berlama lama. Saya bersama Niken, Imon, Supri dan Ocha menyewa sepeda untuk berkeliling sedangkan Ina dan Jojo menyusuri jalanan untuk berburu foto.

Sekitar 45 menit akhirnya kami menyudahi acara berkeliling. Saatnya kembali ke kapal yang..sama sekali tidak terlihat di tepian. Dari jauh kapal kami malah terlihat semakin menjauh. Kami kebingungan mengikuti arah kapal. Belum lagi gelombang di tepi laut cukup besar, berkali-kali kami harus meloncat dan mencari tempat yang lebih tinggi agar tidak terseret arus. Saya sendiri sudah hampir basah kuyup mengejar sandal yang hampir terbawa ombak. Kan nggak keren nanti saya nyeker di bandara kak..

Akhirnya setelah cukup lama terombang-ambing kapal berhasil menepi. Kami bergegas melanjutkan perjalana ke Gili Air. Ya, kami sepakat untuk tidak mampir ke Gili Meno karena waktu yang semakin sempit, jam 3 nanti kami harus segera bertolak ke bandara. Kapal segera mengarah menuju Gili air, dan kembali kesulitan menemukan tempat melempar jangkar. Ombak cukup besar, mendung mulai datang. Sepertinya bukan ide bagus untuk snorkling di saat seperti itu. Tapi bagaimanalah sudah di Gili Air masa nggak nyemplung?? Sikat lah gaaas!

Satu persatu kami mulai nyemplung. Benar saja, gelombang cukup besar dan sempat membuat saya gentar. Duh, berani nggak ya, setelah kemarin saya pun gagal snorkling mandiri. Supri sudah terlebih dahulu mengurungkan niat snorkling, tapi akhirnya saya nekat. Pokoknya harus snorkling di Gili Air! Saya mengikuti pergerakan Ina, entah kemana pokoknya saya ngikut. Kali ini saya sudah nggak nebeng, melainkan berenang sendiri karena pakai fin juga, hehe. Berkali-kali saya masih harus mengeluarkan air dari goggle, juga melakukan mask clearing. Pemandangan bawah lautnya juga belum tampak jelas. Akibat gelombang yang besar juga saya dan Ina malah memutuskan untuk menepi, disusul jojo dengan insiden tangan berdarah-darah.

Ada apa dengan insiden berdarah? rupanya Jojo tidak sadar terantuk besi di salah satu bagian kapal hingga terluka. Dan doi sama sekali tidak ssadar sampai melihat air disekitarnya memerah. Ocha yang memang paling jagoan berenang diantara kami bolak-balik ke kapal untuk mengambil hansaplast dan pelampung. Sementara itu saya nebeng Ocha juga untuk ikutan slulup-slulup ke tengah. Ocha mengkode saya, memastikan nggak akan jauh-jauh dan memberi isyarat untuk mengikuti arah berenangnya. Saya sempat was-was karena tadi ketika lewat bersama ini terdapat bagian yang cukup dalam, tapi ternyata di dekat situ terdapat rangka besi yang sengaja diletakkan untuk rumah ikan. Ocha menebar roti yang sengaja dibawa daaaan.....ikannya berdatangan! cantik-cantik, macem-macem, unyu-unyu! saya terpana sekaligus rempong karena berkali-kali harus mengeluarkan air dari masker. 

Acara slulup dilanjut hingga kembali ke dekat perahu di jangkar. Rupanya pemandangan di bawah perahu nggak kalah bagusnya! Nggak perlu jauh-jauh ke tepian, ikannya sudah banyak. Saya lanjut slulup sambil sesekali bergelantungan pada bagian kapal. Ocha yang masih membawa sisa roti kembali memancing ikan berdatangan. Rasanya saya nggak rela gitu mau mentas, masih pengen melihat ikan-ikan berenang. Maklum ya, justru di hari terakhir itu saya menikmati acara snorkling. Sebelum-sebelumnya saya nggak rilek blas. Tapi apa mau dikata, waktu juga yang memaksa kami untuk segera mengakhiri acara slulup.

Perjalanan pulang selama dua jam kembali kami tempuh dalam keadaan lapar, lelah, ngantuk dan lunglai. Untuk mengusir bosan bahkan saya sudah menyanyi-nyanyi random segala macam lagu dari S07 hingga Tanah Airku. Lumayan membunuh waktu sih, diselingi dengan obrolan ringan. Seperti biasa, Supri dan Ini memilih terlelap daripada nggeje bersama kami.
***

Kami kembali ke Senggigi sedikit terlambat. Akibatnya acara bersih-bersih dan makan siang harus dirapel dan dilaksanakan seefektif dan secepat mungkin. Setibanya di Baleku, kami langsung membagi giliran siapa yang makan dulu siapa yang mandi dulu. Semuanya dilakukan cepat, kilat dan rusuh. Sekitar pukul 15.30 akhirnya kami kembali berkumpul dan kembali memasukkan ransel yang bertambah berat ke dalam mobil. Setelah mengucapkan terimakasih kepada pemilik penginapan, kami diantar Pak Imam dan Fajar menuju bandara Lombok Praya. 

Perjalanan darat sekitar dua jam kami tempuh kembali. Pesawat rombongan madiun akan terbang pukul 18.00 WITA. Segera setelah sampai di bandara, Jojo segera bergegas mengambil tas dan mempersiapkan keperluan untuk check in. Setelah selesai dengan urusan bawaan, kami berpisah di ruang tunggu dengan dadah-dadah dan cipika-cipiki *yang cewe-cewe aja tentunya. Dan tepat sesuai jadwal, pesawat yang kami tumpangi tinggal landas, melintasi langit menuju Surabaya. (Selesai)

Gili Trawangan, rasa mancanegara (keliatan sepi karena memang cari spot yang sepi)
Slulup asik pakai fin dan pelampung

*Foto Piko, Niken. Dan memang nggak banyak foto karena habis energi. Di bandara pun nggak sempat foto barenga karena buru-buru.

Perjalanan memang selalu melelahkan. Tapi bukankah dengan menempuh perjalanan kita memaknai arti pulang? Bukankah dalam berperjalanan kita memberhentikan waktu untuk saling mendengar satu sama lain, melihat lebih lekat satu sama lain? 
Dan saya gagal move on dari segala hal tentang perjalanan. Tertambat pada lelah dan semangatnya, dalam hal baru dan asingnya. 
Sampai jumpa lagi di perjalanan berikutnya.

Bukan Travelogue: Pink Beach dan Senja di Bukit Mandalika (2)

Perjalanan berlanjut setengah tergesa. Rencananya sore ini kami akan mengejar matahari terbenam dari sekitar wilayah Pantai Batu Payung. Obrolan cukup berat mengenai regulasi migas di tanah air membuat saya mati kutu. Ah, kali ini saya hanya akan membuang pandangan ke jalanan yang rupanya sudah dekat dengan pantai.

Terik matahari sore segera menyambut kami sesampainya di Pantai Batu Payung. Pasir putih dengan butiran hampir sebesar merica menggelitik kaki dan memperberat langkah. Ombak cukup besar mengayun-ngayun kapal yang akan membawa kami ke lokasi Batu Payung. Adalah Anton, kapten kapal yang akan membawa kami menuju pulau di tepian Samudera Hindia sana. Dan kisah ini akan diwarnai oleh sekilas cerita tentang Anton.

Anton meneriaki kami agar menyingsingkan celana dan melepas alas kaki. Kontur pasir memang menyulitkan kami untuk bergerak. Dengan sigap Anton menaikkan sandal-sandal, meminta kami segera naik ke kapal lalu melepas sauh. Anton mengambil alih kendali, ayahnya tampak mengurus permesinan di belakang. Bersama kakak perempuannya, Anton duduk di ujung buritan kapal, mengambil posisi santai memandang lautan lepas. Mungkin saja hal ini sudah ratusan kali dilakukannya, menyeberangkan wisatawan untuk melancong. Dan saya berfikir, anak-anak macam Anton ini apakah memiliki kehidupan lain? Pertanyaan saya semakin memudar diterpa angin bercampur air. Kapal meloncat-loncat mengarungi gelombang menuju pulau yang dipenuhi batuan raksasa.

Sekitar 15 menit kemudian Anton memberikan tanda pada ayahnya untuk mematikan mesin. Kami memang sudah sampai di sebuah pulau yang dipenuhi dengan tebing batu berukuran besar-besar. Kapal tidak bisa berhenti di tepian karena koral-koral di perairan dangkal. Kami terpaksa nyemplung ke perairan dengan baju bersih yang baru saja di ganti-nggak rela banget rasanya- berjalan berjingkat meniti batuan. Semua kerepotan itu terbayar lunas sejak dari tepi, berbagai macam hewan dan rumput laut beraneka warna begitu memanjakan mata. Batu dengan ukuran besar-besar kami lewati sepanjang perjalanan menuju letak batu payung yang ternyata adalah batu yang menjulang tinggi yang bayangannya bisa menjadi tempat berlindung, seperti payung. Tapi memang eksotis banget sih, kami berasusmsi mungkin saja dulunya batu ini adalah serupa tebing yang akhirnya terkikis ombak. Terlepas dari itu semua yang paling ajaib adalah, ada penjual es kelapa muda di tengah pulau batu yang harus dijangkau dengan perahu. 

Anton memberi kode pada temannya untuk menyiapkan kami beberapa butir kelapa muda. Rasanya sungguh bagai oase di siang yang terik dan silau. Kami bertujuh memang sudah mulai lelah dengan agenda selam menyelam sepagi tadi. Setelah puas berfoto dan menghabiskan air kelapa, akhirnya Anton membawa kami kembali ke daratan untuk melanjutkan perjalanan untuk mengejar matahari tenggelam..
***
Perjalanan diteruskan setelah perdebatan mengenai dari mana seharusnya kami menyaksikan matahari tenggelam. Ada dua pilihan spot, Bukit Mandalika yang hanya sekitar beberapa kilo dari Batu Payung atau satu lagi saya lupa apa namanya yang masih agak jauh lagi baik berkendaranya atau berjalan kakinya. Tentu saja kami semua memilih opsi Bukit Mandalika yang tidak perlu ada acara jalan kaki sekitar dua kilometernya -_-, capek hidup kami kaka..

Tanpa ada bayangan setinggi apa bukit ini, saya mengayun langkah dengan malas. Menapaki tanjakan yang puncaknya sudah hampir dipenuhi oleh bule-bule yang sedang hore-hore. Hari itu para penganut agama Hindu memang sedang melaksanakan ibadah Nyepi, jadi para bule dari Bali sepertinya banyak juga yang ngungsi ke Lombok.

Rupanya bukit Mandalika ini tidak seterjal dan setinggi yang saya bayangkan, ya saya bayanginnya mendaki Ijen sih ;p, lumayan lah..kami menemukan spot yang cukup longgar. Hari masih sore, dari kejauhan garis pantai terlihat berkilap seperti minyak. Sebenarnya dari sini kami tidak akan bisa melihat matahari benar-benar tenggelam karena di depan kami masih terdapat beberapa lapis bukit yang berderet. Meskipun begitu pemandangan ini tetap saja luar biasa indah. Kami duduk berjajar membentuk dua shaf dan mengisi waktu dengan kegiatan masing-masing. Imon, Niken dan Supri di barisan terdepan asyik berbincang, Jojo sibuk mengambil foto, dan saya awalnya asyik bengong. Entah siapa yang memulai, obrolan tentang matahari tenggelam mulai bergulir. Ohya, Fajar sudah mengajak kami untuk turun, padahal matahari belum benar-benar menghilang. Padahal saya ingin sekali menunggu hingga langit berubah gelap. Rupanya tidak hanya saya, Ocha juga demikian. Well, kami ingin melewatkan senja di puncak bukit ini, bukit Mandalika. 

Bagi saya pribadi senja selalu memberikan perasaan sentimentil. Kalau kata Ocha, perasaan sendu. Kalau kata saya, bertemu dengan senja seperti mengucapkan perpisahan pada kawan lama, sedih tapi ya mau bagaimana lagi. Lalu Jojo mengingatkan kembali sebuah kalimat dari Spongebob tentang senja: 

"Mengapa harus ada matahari tenggelam di hari yang cerah?"

Ya, kenapa. Bisik saya dalam hati.

"Karena akan ada malam penuh bintang yang tidak kalah indah",

itu katamu Ko, Jojo mengingatkan.

Ah, ya, benar. Memang benar, kalimat ini menggambarkan dengan baik, apa yang tidak akan pernah terucap di antara kami masing-masing. Dan kami pun akhirnya menuruni bukit Mandalika, tepat ketika matahari senja beranjak turun ke peraduan untuk mempersilakan langit ditemani bintang-bintang. 
Anton, tampak cool di atas buritan kapal
Yah, ketauan di foto langsung pose >.<
Batu Payung
Kapan lagi minum kelapa muda di tengah samudera?
Batu-batu besar nan cantik di sepanjang pulau
Menyaksikan matahari beranjak tenggelam dari bukit Mandalika

*Foto by Jojo, Piko

Rabu, 22 April 2015

Bukan Travelogue: Pink Beach dan Senja di Bukit Mandalika (1)

Hari ketiga. Pink beach menjadi salah satu destinasi yang ditunggu-tunggu selama kunjungan ke Lombok. Hari masih gelap ketka Fajar mengetuk pintu kamar kami satu persatu. Dingin segera menyergap, kami berangkat bahkan sebelum matahari muncul di ufuk timur.

Perjalanan menuju dermaga pemberangkatan ditempuh selama kurang lebih dua jam. Kami tiba dengan muka lusuh di sebuah pasar ikan yang begitu riuh. Di sana sini tumpukan ikan segar memanjakan mata, bahkan ada yang ukurannya luar biasa besar! Imon, Ina, Jojo dan Ocha sibuk menebak-nebak antara Cumi atau Sotong. Saya hanya mengedarkan pandangan ke sekitar. Pagi ini ramai sekali.

Setelah menunggu Fajar tawar menawar kapal, akhirnya kami berangkat menuju Pink Beach. Bekal nasi goreng yang tadi dibawa Fajar belum juga tersentuh. Bapak pemilik perahu yang menemani kami hari ini sangat baik. Sepanjang jalan beliau menerangkan pulau-pulau kecil yang kami lewati. Konon, di tengah kawasan tersebut terdapat sampungan listrik bawah air yang sangat panjang. Ah, sayang sekali saya sudah lupa nama-nama spesifiknya! Satu yang saya ingat adalah Pulau Pasir, yang memang berupa gundukan pasir jika air sedang surut. Sayangnya pagi itu air cukup tinggi sehingga permukaan Pulau Pasir hanya tampak sekitar 50 cm saja. 

Kami melanjutkan perjalanan, di tengah jalan beberapa kali Bapak pemilik perahu menunjukkan spot-spot potensial. Tapi dasar kami ini tipikal manusia-manusia tidak sabaran, akahirnya kami memilih untuk menuju spot snorkling utama. Ah lupakan namanya apa. Spot ini berada tidak jauh dari daratan kecil berpasir putih. Bapak pemilik perahu dengan sigap mengeluarkan semacam kasur air yang ternyata fungsinya adalah untuk...latihan snorkling! Supri yang memang sama sekali tidak sempat belajar berenang menepi untuk mengambil kelas latihan. Saya juga dengan senang hati nebeng kesana kemari karena memang ketika di lautan, massa tubuh terasa lebih ringan sehingga sedikit sulit untuk mempertahankan posisi.

Beberapa saat berpegangan di pelampung membuat kepercayaan diri saya naik. Dengan keyakinan mulai bisa mengendalikan pergerakan saya pun gaya banget melepas pelampung karena memang 'ngabot-ngaboti'. Untuk berenang jarak dekat, disambung dengan berpegangan pada perahu, saya ngider jarak dekat untuk menikmati pemandangan bawah air. Sampai akhirnya Ocha menawarkan untuk melihat lebih ke tengah untuk melihar ikan yang lebih beragam. Yuhuu! saya sih semangat 45, sembari ancang-ancang ambil nafas karena jaraknya cukup jauh.  Melihat saya hendak ke tengah tanpa pelampung, Niken sudah lebih dulu mengingatkan: "Kamu yakin nggak mau pakai pelampung?" saya mengangguk sambil nyengir dan mulai meluncur. 

Setengah grogi saya mengikuti Ocha yang berenang santai. Hingga beberapa menit kemudian saya merasakan air mulai merembus ke dalam goggle. Perihnya nek, juga akhirnya saya kehabisan nafas karena repot mengeluarkan air, pergerakan kacau daaan...saya mulai tenggelam. Untung saja Ocha masih siaga dan segera menangkap tangan saya. Akhirnya saya menyerah dan kembali memakai pelampung, hehe..dengan sesekali nebeng Ina akhirnya bisa juga menikmati pemandangan bawah laut! Kereeen! setidaknya kali ini saya lebih berhasil daripada sewaktu di Tidung dulu :D
***
Perjalanan kami ke Pink Beach kembali dilanjutkan. Rencananya makan siang nanti akan diisi dengan menu ikan bakar dan sari laut lain. Sampai di Pink Beach, hari sudah mulai siang. Fajar dan Bapak pemilik perahu segera mempersiapkan bahan makanan dan tungku pembakaran, Tak lama kemudian, terlihat Bapak pemilik perahu sudah sibuk memasak ikan dan Fajar kembali menyusul kami yang asik bermain pasir -yang warnanya beneran pink- dan air. 

Pink Beach adalah lokasi wisata yang masih cukup sepi meskipun ya nggak sepi-sepi banget. Sesuai dengan namanya, pantai ini memiliki pasir berwarna merah muda dengan butiran halus. Di sepanjang tepian pantai ombaknya cukup besar hingga merusak mainan pasir yang kami buat -yes, kami masinan pasir-. Serpihan batu karang juga dengan mudah ditemukan di sepanjang tepi pantai, kalau si Pipit ikut pasti dikarungin deh itu batunya, haha. 

Sepanjang siang kami melakukan hal-hal nggak penting di Pink Beach. Mulai dari membuat kue yang ceritanya mau difoto untuk Izul, tahan-tahanan dalam posisi duduk di pinggir pantai, hingga mengubur Ocha di pasir. Yang terakhir asli random banget, dan kami semua begitu semangat menimbun Ocha yang sudah terlebih dahulu dipaksa terlentang dengan pasir pantai disekujur tubuh. Beneran puas ketawa-tawa sampai lapar! Untung saja, tak lama kemudian Fajar menginstruksikan agar segera menepi. Ikan bakar untuk kami sudah hampir siap.

Asap pekat dari pembakaran berkali-kali menerpa wajah hingga membuat mata berair. Kami menunggu dengan kelaparan kapan jatah kami siap disantap. Bapak pemilik perahu sudah siap dengan setermos nasi. Ikan, cumi dan udang akhirnya dipindahkan ke piring. Kami dengan khidmat menyantap sari laut yang..yang..Enaknyaaaa...enak banget! Udangnya manis, cuminya gurih, ikannya..ya rasa ikan, hehe. Saya memang kurang suka ikan dengan ukuran besar, jadi yasudah skip ya, lanjut cumi segede gaban dan udang yang manis segar luar biasa.

Selesai makan, Fajar meminta kami untuk bergegas. Tujuan selanjutnya adalah Batu Payung. Hanya saja, jaraknya cukup jauh sehingga kami tidak boleh terlalu lama mengabiskan waktu untuk mandi sperti kemarin. Sepanjang jalan kami menyusun strategi untuk menghemat waktu. Salah satunya dengan sigap di kamar mandi, haha. Begitu bertemu dengan kamar mandi, saya bergegas membersihkan diri dan sholat. Cepat! hanya sekitar 30 menit rasanya dan kami bertuju sudah duduk manis lagi berada di mobil. Pak Imam segera melaju membawa kami menuju Batu Payung. (Bersambung)

Ini nih bapak pemilik perahu yang baik hatinya dan suka menolong :D

Dalam imajinasi kami ini adalah wedding cake yang unyu, untuk dear Izul

Pink Beach!

Karang di tepian pantai menuju Pink Beach

Masih sambungan dari karang di sepanjang jalur menuju Pink Beach

 *Foto oleh Niken Yusnita, karena pada hari itu hanya dia yang free willy membawa kamera sedangkan yang lain asik bermain air dan pasir.


Minggu, 12 April 2015

Bukan Travelogue: It's (Not) a Shopping Time!

Kami meninggalkan kenawa beriringan dengan ransel-ransel di punggung. Dari kejauhan tongkang sudah hendak merapat. Siang itu cerah sekali, sesampai di kayangan kami berusaha berteduh di bawah bayang-bayang gerbang selamat datang yang tentu saja hanya menjanjikan sedikit tempat. Air sedang mati, kami terpaksa menyeberang dengan baju basah melekat di sekujur tubuh. Nggak masalah, totalitas!

Kapal melaju konstan memecah gelombang. Fajar memilih tempat yang nyaman, dekat dengan mesin pendingin yang sangat menyelamatkan kami yabg kepanasan.  Barang-barang diturunkan, saya sendiri langsung menghempaskan diri ke kursi. Kantuk membuntuti saya sejak pagi, dari kemarin rasanya saya baru terlelap beberapa jam saja. Interior kapal yang kami tumpangi cukup nyaman. Di depan disediakan ruangan dengan jejeran matras untuk merebahkan badan. Kalau saja baju saya tidak basah, mungkin saya akan dengan suka cita menghempaskan tubuh di salah satunya. Perlahan mata saya terasa berat. Saya mencoba memejamkan mata tapi tidak berhasil juga, akhirnya di dalam kebosanan beberapa jam berlalu hingga kami tiba kembali ke Pototano. 

Destinasi pertama yang kami tuju adalah masjid. Tentu saja masjid yang tampak cukup besar dan memiliki beberapa kamar mandi mumpuni untuk membersihkan diri. Untung saja di Lombok, masjid banyak bertebaran, megah-megah pula. Tak lama kami mendapatkan sebuah masjid dan segera membongkar muatan. Buru-buru karena dikejar waktu kami harus mandi bergantian dengan kilat. Tapi ya sekilat-kilatnya orang yang nggak mandi dua hari ya gimana ya..apalagi cewe-cewe. Akhirnya baru jam setengah 3 kami melanjutkan perjalanan. Para lelaki sudah duduk manis menyambut kami dengan minuman dingin dan camilan. Terharu tumben banget pengertian *nangis bahagia.

Perjalanan berlanjut menuju kampung sasak. Pak Imam banyak bercerita soal adat dan budaya masyarakat setempat. Disinilah kain tenun khas lombok banyak dibuat. Konon, para anak gadis sasak harus bisa menenun sebagai syarat untuk bisa menikah. Ada lagi yang unik dengan adat masyarakat sasak: melarikan anak gadis sebagai isyarat peminangan. Bagi orangtua yang memiliki anak gadis, bukannya khawatir ketika anaknya tidak pulang tapi malah gembira. Karena hal itu pertanda anak gadis mereka akan segera dipinang. Da kalau di Jawa saya nggak pulang tanpa pamit??? Bisa dipecat saya jadi anak -,-.

Akhirnya kami tiba di salah satu tempat perajin kain tenun lombok. Disana kami ditunjukkan bagaimana benang ditenun satu persatu menjadi kain. Dipersilakan memakai baju adat dan berfoto bersama. Ini sesi yang paling seru! Haha, kami dibantu para pramuniaga berganti baju adat yang bercorak cantik. Saya sendiri mendapatkan kain dengan warna cerah: merah muda-peach, senang :D
Dan foto bersama dengan baju adat ini menjadi salah satu favorit saya ♡. Setelah puas berfoto, kami lanjut belanja -gaya banget ya. Di sini mahal-mahal sekali kainnya, tidak heran karena seluruh prosesnya manual. Fajar membeli dua helai kain tenun seperti syal panjang. Motifnya keren! Akhirnya setelah berunding sejenak, kami memutuskan untuk membeli kain lombok untuk izul. 

Puas berbelanja, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan. Ditengah jalan kami bertemu dengan rombongan semacam karnaval yang memanggul properti? -disebut apa ya sama orang 'normal'- berukuran besar dengan bentuk-bentuk yang menyeramkan. Pak Imam memberitahu namanya 'ogoh-ogoh'. Saat itu memang menjelang hari raya Nyepi, apakah acara tersebut merupakan salah satu rangkaian peringatan atau bukan saya tidak tahu.

Rupanya sebelum ke penginapan pak Imam mengajak kami ke pusat oleh-oleh. Bagi para pelancong, oleh-oleh menjadi buruan wajib yang harus dibeli, *tak terkecuali saya, hahaha. Sebenarnya saya nggak terlalu berniat membeli oleh-oleh, karena makanan di rumah saya selalu ngga laku -,-, kami semua hobi nggak makan. Tapi daripada tidak, saya akhirnya membeli satu kotak dodol rumput laut khas lombok, satu kantong kopi dan terasi. Rasa dodol rumput lautnya enak, tidak terlalu manis dan kenyal. Ringan untuk dijadikan camilan. Sedangkan kopi dan terasinya sampai sekarang belum dibuka! Haha. Sebenernya saya menunggu-nunggu kopinya, penasaran apa bedanya dengan kopi Jawa. Terakhir saya membeli kopi sebagai oleh-oleh adalah ketika ke Semarang, kopi Banaran. Rasa kopinya enak banget! meskipun sekarang sudah tidak membiasakan mengkonsumsi kopi, tapi tetap saja saya tidak bisa mengingkari kenikmatan pahit asam seduhan kopi. Ah, cukup bahasan tentang kopi ini.

Pak Imam kembali memacu mobil melintasi perkotaan menuju lokasi penginapan yang ebrada di daerah Senggigi. Hari sudah gelap ketika lamat-lamat kami menemukan Baleku, tempat menginap kami selama dua hari ke depan. Setelah menurunkan bawaan dan memilih teman dan kamar *which is tas saya dan tas Niken dimasukkan dalam satu kamar oleh petugas penginapan-lagi-lagi* akhirnya kami segera membongkar apa yang harus dibongkar dan melakukan apa yang harus dilakukan. Selesai dengan urusan masing-masin, kami berkumpul di saung bambu yang terletak di tengah area penginapan. Hari yang melelahkan ini kami tutup setelah menikmati makan malam dan puas bermain gaple. Ah, dasar anak muda..(Bersambung)

Kain tenun lombok (penamaannya asal banget, lupa namanya apa -,-!)
Gadis Lombok yang sedang menenun benang

*Kali ini foto dokumentasi saya pribadi, huhuyyy!