Sabtu, 27 Juli 2013

Geng TPB, CU soon!

Setelah terlalu lelah untuk 'bermain-main' dengan software, bahkan hanya untuk menggambar.


Beberapa waktu yang lalu saya menulis sebuah postingan di tumblr dengan tema :
 "sepi nih ga ada yang ngajakin buka bareng"
Uhuk, terdengar alay ya? Hmm..tapi saya tidak bohong lo, biar deh dibilang alay juga. Rasanya melas gitu hampir satu bulan penuh ramadhan tidak ada buka bersama. Seorang teman kosan jaman TPB rupanya iba membaca postingan tersebut. Dia dengan sigap meninggalkan komen dan mengajak buka bersama : ajakin deh semua.


Nah, ngajakin semua?? Siapa?? Haha..awalnya seperti tidak ada harapan. Tertunda-tunda, belum lagi para pesertanya yang paling hanya bertiga; saya, Niken, dan Nindi. Tapi siapa sangka Allah memiliki rencana lain. Seorang lagi, kakak yang dulu juga sering ngikut kita rupanya berpindah kerja ke Bandung. Juga seorang lagi yang dulu menjelang tingkat dua kabur ke kampus tetangga, rupanya sedang koas di Hasan Sadikin. Jadilah..2008 yang hampir fullteam (minus April yang sekarang di Surabaya) berkumpul kumpul buka bersama. Ini pertama kalinya kami hampir semua ngumpul, juga pertama kali buka bersama setelah sekian tahun. Kebangetan? Yaa maap kakaak..

Alhamdulillah..di tahun ke-5 ini Allah masih memberi kesempatan pada kami untuk bertemu lagi. Rindu rupanya begitu membuncah. Sebelum Nindi menambang di Kalimantan, sebelum Techa sibuk dengan stase obgyn, sebelum kami para desainer lari-lari dikejar deadline, Allah menghadiahkan sebuah pertemuan. Silaturahmi yang lama merenggang, direkatkan kembali oleh Ramadhan. Terimakasih Ya Allah :')

Jumat, 19 Juli 2013

Norak di Pameran

Menjadi mahasiswa di fakultas seni rupa dan desain seharusnya membuat saya akrab dengan berbagai perhelatan seni ataupun pameran. Tapi nyatanya saya yang sampai lulus ini dan 'nyemplung' di area desain-mendesain masih seringkali kagok dan aneh kalau harus mendatangi berbagai event desain. Seperti kali ini, ajakan mendadak mengunjungi event Casa by Bravacasa kembali memaksa saya bergabung bersama arus pengunjung di Pacific Place, Jakarta. Dengan outfit ala kadarnya: rok jersey dan kaos (untung saya masih sempat untuk menukar sandal dengan..sepatu-sandal) berangkatlah kami menuju Jakarta, mendadak dangdut woy!
Venue yang bling-bling, pengunjung yang semua rapi jali, dan tentunya teman-teman saya yang kini sudah menjadi para desainer, rasanya: aneh! Haha. Saya yang sampai hari ini merasa, nggak desainer banget ( oh iyes, dari dulu cita-cita saya sebenarnya menjadi pengusaha, dan semua teman saya meramalkan saya akan menjadi seorang ibu dosen) tentunya tercengang-cengang norak mendatangi pameran ini. Oh..ya ampun, keren-keren..dan anggap saja saya bukan seorang lulusan jurusan desain ternama di seantero Indonesia *eh, saya hanyalah seorang manusia biasa, penikmat dan pengagum. Betapa kerennya manusia-manusia ini.. Membuat sesuatu-publikasi-kepercayaan diri-pengakuan publik dan..dan..ah banyak lagi.
They are designers by the way, teman-teman saya..yang sangat wow berhasil menapaki tangga karir menuju dunia profesional yang sangat seru dan menakjubkan. Tidak ada lagi gerombolan jeans belel dan kaos oblong, kini sudah berganti blazer, suits, heels, dress, pantofel. Waktu berlalu dengan sangat cepat bukan?
Dan saya masih nyaman dengan rok jersey, kaos dan flat shoes. Ah..desainer, kok kayaknya too good to be true.

Kamis, 18 Juli 2013

Bekerja, bekerja, bekerja!

Seharusnya sekalian diteruskan untuk menjadi lirik lagu mars serikat pekarja saja biar seru, heeehe..

Yap, pagi hari ini teringat kembali nasehat dari ustadz Salim A. Fillah yang kira-kira redaksinya : "Bekerjalah, maka keajaiban akan menyapa"
Sebuah potongan nasehat arif, yang mampu menghidupkan kembali semangat yang naik turun dalam menghadapi rutinitas.  Sebagai manusia kita harus selalu memanjangkan ikhtiar untuk mengisi kehidupan. Tapi jika apa yang kita usahakan belum menampakkan hasil, jangan dulu kecewa. Bukankah Tuhan tak pernah tidak mengabulkan doa?

Masih kata ustadz Salim A. Fillah, seringkali, keajaiban muncul dari arah yang tak pernah kita sangka. Maka karenanya, kewajiban kita sebagai manusia adalah terus bekerja keras, berikhtiar. Perihal apakah kita akan mendapatkan apa yang kita ikhtiarkan, itu adalah kehendak Allah, hak prerogatif Allah. Begitupun dengan jalan atau cara kita mendapatkan hasil usaha kita. Seringkali, kita seringkali mendapatkan jawaban, hasil, atau pertolongan melalui cara yang sama sekali tidak terduga. Sudah susah payah menabung untuk membeli sesuatu misalnya, eh..ketika sudah terkumpul ternyata sudah tidak available di pasaran. Tapi siapa sangka ketija pulang, kita justru dokejutkan oleh ayah, ibu atau siapapun yang menghadiahi kita barang tersebut dengan cuma-cuma. Sia-sia menabungnya? Tidak sama sekali bukan?

Kalaupun Allah belum berkenan memberikan apa yang kita minta sekarang, mungkin saja Allah sedang menunggu momen yang tepat untuk memberikan pengganti yang lebih luar biasa. Jadi, sebagai manusia kewajiban kita adalah ikhtiar dan berdoa. Bekerja, bekerja, bekerja! Bukankah dalam Al Qur'an juga disebutkan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka? Maka yuk terus bekerja, beraktivitas, belajar. Do something!

Bulan puasa bukan halangan untuk bermalas-malasan dan mengendorkan usaha. Bukan pula alasan untuk datang terlambat ke kantor atau sekolah ( ampun ya Allah -,-). Tapi justru di bulan inI kita ditantang untuk bekerja secara ekstra. Ekstra berusaha mempertahankan dan meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas hubungan dengan Allah dan sesama, dan tentunya meningkatkan doa untuk terus "merayu" Allah agar semakin menyayangi kita. Jadi terus bekerja dan berdoa, semoga Allah memudahkan setiap ikhtiar dan mengabulkan segala doa.

Minggu, 14 Juli 2013

Menikah dan Pernikahan

Tulisan ini ditulis beberapa bulan yang lalu. Di tengah hari, di meja kerja diantara berbagai kewajiban yang harus diselesaikan

Wots, jangan keburu ngakak dulu dan mengatai saya galau. Ini adalah bahasan sok serius dari orang yang juga sok serius di usianya yang ke-23. Tapi tunggu, sudah saatnya memikirkan tentang menikah dan pernikahan sekarang. Karena tentu saja, menikah dan pernikahan membutuhkan persiapan yang matang. Menikah dan pernikahan bukan hanya urusan cinta atau tidak cinta semata. Bukankah menikahi seseorang berati menikahi seluruh keluarganya? jadi ketika langit bergetar oleh ikrar penyerahan tanggung jawab dari seorang ayah kepada seorang suami, tidaklah disangsikan seberapa sakral prosesi menikah dan sebuah pernikahan.

Jika menyimak berbagai referensi mengenai ilmu tentang menikah dan pernikahan yang sekarang sedang sangat eksis beredar di pasaran, tentu saya akan segera tahu betapa menyenangkan menikah katanya. Tapi tidak sedikit pula yang menggarisbawahi, bahwa kebahagiaan menikah dan pernikahan pun tidak lepas dari berbagai persyaratan. Kalau orang bilang, artinya menikah bukan semata-mata punya teman curhat 24 jam, supir pribadi juga pengawal pribadi, tapi pernikahan juga memiliki konsekuensi.

Bagi lajang yang sudah terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri, menikah berarti memiliki helper pribadi. Dadah deh sama urusan ke bengkel sendirian, ganti lampu mati sendirian, juga jadi kuli sendirian, what a wonderful life banget sepertinya. Tapi apakah siap, saya, yang selama ini sangat tangguh, fleksibel mau kemana pulang jam berapa sama siapa, mau ngapain, mau makan apa nggak makan, mau sakit apa nggak sakit dan segala yang dilabeli dengan "itu urusan gue" harus berbagi waktu dan pikiran, rela atau tidak rela. Kehidupan pribadi harus siap ditempatkan diurutan kesekian. Tidak akan mudah bagi saya. Tapi itulah menikah dan begitu cara kerja pernikahan. Berbagi.

Dan terlepas dari urusan berat atau tidak beratnya menikah dan sebuah pernikahan, bagi saya kedua hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Sebuah sunnah rasul yang nilainya mampu menggenapkan separuh agama. Karenanya, bagi saya menikah bukan hanya urusan hati tapi juga urusan logika, perhitungan, juga masa depan dunia-akhirat. Pernikahan adalah sebuah pakta kesepakatan, "yuk kita ke surga bareng-bareng", dengan cara yang diusahakan dan dipersiapkan dari masing-masing individu untuk dicapai bersama. Jadi bukankah kalau begitu menikah dan membangun pernikahan memerlukan bekal? tentu saja!
Jadi doakan saja setelah Anda bertanya kepada saya "Kapan menikah?", agar bekal yang harus dipersiapkan segera cukup. Cukup pantas dan sepadan dengan kualitas seorang imam berprospek melahirkan generasi andalan. Karena jodoh tidak dituliskan atas nama siapa dengan siapa, melainkan kualitas versus kualitas. Jadi, mari menjemput jodoh terbaik dengan menjadi pribadi terbaik, bismillah!

Sabtu, 06 Juli 2013

Merantau

Sudah hampir lima ramadhan saya tidak berada di kampung halaman. Sebentar lagi, insyaAllah jika masih berkesempatan bertemu lagi dengan ramadhan yang tinggal beberapa hari, ramadhan kali ini menjadi ramadhan ke lima di perantauan. Masih di Bandung, yang berjarak kurang lebih 9 jam dengan kereta api dari rumah. Dulu belajar sekarang bekerja. Merantau, istilah kerennya. Mencoba menjemput rezeki dari Allah demi masa depan yang lebih baik *tsaaah....

Bapak dan ibu di rumah sudah berulangkali bertanya: kapan 'pulang'? pulang yang bukan dalam artian Sabtu pagi sampai rumah dan Minggu malam sudah duduk manis di kereta lagi. Yang ditanya hanya bisa senyam-senyum kecut dan menjawab dalam hati  
"Nanti dulu pak, bu. Saya belum siap meninggalkan bandung yang kacau balau ini".
Tidak, saya bukannya mau nyalon jadi walikota dan mengkudeta Pak Ridwan Kamil yang baru saja terpilih, lantas saya dengan sok pahlawan menyingsingkan lengan baju memperbaiki kota Bandung. Yang masih kacau balau adalah peta hidup saya kedepannya. Merantau jauh ke kota orang dan tak pulang-pulang. Itulah status saya saat ini. Jika ditanya mencari apa, saya hanya akan senyam-senyum dan mlipir kabur sembunyi-sembunyi.

Bapak dan ibu saya tentu saja berharap anak semata wayangnya ini lekas pulang, nggak usah pergi-pergi. Tapi yang disuruh pulang masih belum ingin pulang. Ada yang harus dimulai dari perantauan, tentunya untuk bekal pulang. Menjelang ramadhan seperti ini sebenarnya adalah momen menggalaukan bagi perantau. Saya pribadi terkenang-kenang santap sahur dan buka bersama bapak dan ibu di meja makan. Saya akan berada di ujung meja, bapak di sisi kiri dan ibu di sisi kanan. Formasi di meja makan yang tidak pernah berubah, maka kursi di ujung meja akan selalu kosong jika saya tidak ada. Merindukan suara tadarusan dari langgar-langgar hingga menjelang tengah malam. 

Merantau. Pergi untuk pulang ataukah pergi untuk tak pulang? tapi insyaAllah saya akan pulang,minimal memendekkan jarak Madiun-Bandung menjadi Madiun-Yogyakarta misalnya. Tentunya agar bisa lebih sering 'pulang'. Bagaimanapun, perantau akan selalu merindulan asalnya. Aroma pagi dan malamnya.

Precaution :)

Assalammu'alaikum.
Terimakasih telah berkunjung dan menyimak corat-coret buah pikiran di Menggapai Awan. Selanjutnya saya akan memohon maaf sebelumnya apabila terdapat postingan yang tidak tersusun rapi karena kemungkinan diunggah dari telepon selular dan tidak dapat diedit secara maksimal agar lebih mudah dan nyaman dibaca. Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan upaya mendokumentasikan setiap kilatan pikiran yang seringkali muncul tiba-tiba, mohon dimaklumi apabila postingan hanya penggalan paragraf atau tulisan panjang tanpa gambar dan tidak rata kiri kanan. Terimakasih banyak :') *latihan jadi penulis dengan banyak pembaca. sok eksis punya fans gini saya. ahaha