Sabtu, 04 Januari 2020

Problema Emak dengan Anak ke-2: Cemburu itu Nyata Adanya

Tulisan ini dibuat dalam rangka mempraktekkan metode free writing, dengan tema yang mungkin akan beragam. Saya hanya mencoba untuk release apa yang saya rasakan, mencoba membuang sampah emosi supaya kelak tidak menjadi bom waktu bagi siapapun.

Sudah lebih dari 40 hari Ruby hadir di tengah-tengah kami. Tentunya ada banyak hal yang berubah, kondisi fisik dan mental saya, kebiasaan dan keseharian baru juga tentunya yang sudah kami prediksi: perilaku Atha...

Memiliki anak ke-2 memang sudah kami recanakan. Sounding pada Atha juga sudah dilakukan jauh-jauh hari dengan harapan Atha dapat menerima kehadiran adiknya nanti tanpa perlu ada drama.

40 hari sudah, bagi saya ternyata bukan hal yang mudah memanajemen emosi dengan keberadaan seorang balita dan seorang bayi. Apalagi bagi Atha, keberadaan Ruby sepertinya membuat dia merasa 'tersisihkan'. Memang, saya tidak memungkiri bahwa semenjak ada Ruby, waktu bermain maupun perhatian saya untuknya banyak berkurang. Apalagi jika kami hanya bertiga saja di rumah, tidak bisa dihindari jika prioritas utama saya beralih kepada Ruby, bukan lagi kepada Atha.

Jauh sebelum Ruby lahir, saya banyak mendengar cerita-cerita 'lucu' terkait kecemburuan anak pertama kepada adiknya yang baru lahir. Mungkinkah ini karma? Haha..karena belakangan saya mengalami berbagai hal yang pasti lucu jika diceritakan tapi pait banget ketika dialami. Yess..Atha menunjukkan tanda-tanda cemburu yang semakin kuat belakangan seperti meminta pakai baju dan celana sembari baring seperti Ruby, minta digendong pakai kain jarik, melarang saya menggendong ruby ketika dia menangis, bahkan ketika menyusui dia ikut duduk di pangkuan saya. Lucu bukan? Tapi sungguh perilaku-perilaku tersebut tak urung membuat saya frustasi dan kesal. 

Sungguh sebetulnya saya tahu bahwa Atha sedang cemburu, dan menurut teori seharusnya saya bersikap lebih baik pada Atha dalam situasi ini. Tapi pada kenyataannya, belakangan saya semakin dingin, mudah berteriak pada Atha dan bahkan seringkali mengancam dan memaksakan kehendak demi segala urusan cepat selesai. Sekarang saya mudah sekali marah pada kesalahan-kesalahan kecil, frustasi ketika dia berkali kali keluar masuk kamar padahal saya sedang berusaha keras menidurkan ruby, dan lelah dengan permintaan permintaan memilih baju sendiri ini itu ala Atha. 

Padahal memang fase perkembangannya sedang seperti itu..

Tak jarang di akhir hari saya merasa menyesal sekali, sekaligus merasa gagal menjadi ibu yang baik bagi Atha. Janji saya untuk esok hari menjadi lebih baik juga jarang bisa terealisasi. Jika banyak orang bijak berkata memiliki dua anak bukan berarti harus membagi kasih sayang tetapi justru mengalikannya menjadi dua, maka saat ini saya harus bekerja keras untuk mengisi tangki-tangki cinta saya bagi kedua kesayangan saya tersebut.