Selasa, 24 Desember 2019

Ketika Baper Datang Melanda

emak-emak rumahan yang hanya terkoneksi dengan dunia luar melalui berbagai aplikasi jejaring sosial, potongan-potongan potret yang terunggah seringkali membuat jungkir balik perasaan emak.

Bawaannya baper..

Mungkin saatnya melakukan detox gadget atau detox medsos mak?
Mungkin saatnya mengkoreksi diri, kurang bersyukur kayanya tu mak!
Mungkin pikiran ruwet, kurang piknik kali mak!

Bisa jadi kesemua pernyataan di atas ada benarnya. Saya, yang masih sering merasa kecil bagai remah-remah rengginang setiap kali mendapati imformasi si A kerja di perusahaan X sebagai manajemen anu, Si B keren banget akhirnya lulus s3 jadi doktor inu, dan sebagainya dan sebagainya itu membuat saya sering merasa gimanaaa gitu. Semacam bertanya pada diri sendiri, ngapain aja sih bertahun-tahun ini? Nggak ada keren-kerenya? Jadi salah siapa? Salah yang posting? Ya pasti bukan lah 😀

Dalam kontemplasi singkat, sebenarnya tidak sulit menemukan jawabannya. Maka mak, semua orang memiliki timingnya masing-masing. Jika nanti dirimu galau lagi maka semoga kamu ingat bahwa penah menuliskan ini. Bahwa hiduplah di saat ini, enjoy dan lakukan yang terbaik sambil merencanakan dengan baik apa yang ingin kamu lakukan jika semua ini terlewati. Iya, ini hanya ibarat badai yang pasti akan berlalu. Tapi laluilah dengan bijak, karena setiap badai pasti berakhir dengan hikmah yang bisa dipetik. Jadikan motivasi, jadikan harapan-harapan yang membuat semangatmu terpantik bukan menjadi air yang memadamkan api. 

Saat ini ada dua bocah yang harus diemban amanah pengasuhannya. Fokus menjadikan mereka aset terbaik adalah goal jangka panjang yang memerlukan waktu, konsentrasi dan investasi. Baperlah jika kamu merasa baper, tapi jangan lama-lama. Ambil jeda jika perlu, biar nggak jemu melulu sok sibuk ngurusin ina inu.

Percayalah, ompol dan rumah berantakan itu sebuah keniscayaan. Gapapa kok sekali-kali nggak terobsesi semua cucian beres di pagi hari, asalkan nggak ada yang akhirnya jadi sasaram amukan emak. Enjoy setiap moment mak, banyakin senyum (dan istighfar) pasti nggak mudah kan melewati sepanjanh hari dengan berharap cepat gelap dan datang waktu tidur lagi?

Jangan lupa bilang "i love you" ke dirimu sendiri. Kamu nggak perlu sempurna dan nggak akan pernah sempurna, tapi kamu bisa kok mencukupkan diri dan berbisik. "perfectly done, mak" di akhir hari sambil menepuk bahumu sendiri. 

Bahagialah, merasa cukuplah, bersyukurlah agar selanjutnya mampu bermimpi lagi.

Tulisan ini dibuat dalam rangka mempraktekkan metode free writing, dengan tema yang mungkin akan beragam. Saya hanya mencoba untuk release apa yang saya rasakan, mencoba membuang sampah emosi supaya kelak tidak menjadi bom waktu bagi siapapun.


Kamis, 19 Desember 2019

Curhat Emak Beranak Dua

Tulisan ini dibuat dalam rangka mempraktekkan metode free writing, dengan tema yang mungkin akan beragam. Saya hanya mencoba untuk release apa yang saya rasakan, mencoba membuang sampah emosi supaya kelak tidak menjadi bom waktu bagi siapapun.

Hampir satu bulan sudah, saya berganti status menjadi ibu beranak dua. Gimana rasanya? Rasanya ingin melambai ke kamera, sambil bilang: bisa di take ulang nggak?

Rasanya setiap hari adaaa saja yang nggak beres. Bukan..bukannya saya nggak bersyukur dengan banyak mengeluh. Tapi semua ini betul-betul nggak mudah, proses adaptasi selalu menjadi yang tersulit. Jika biasanya banyak orang menuliskan ketika selesai menghadapi badainya, saya memilih menuliskan ketika sedang bergelut terjerat di dalamnya. Newborn yang harus diperhatikan dengan extra, plus seorang balita yang sedang aktif-aktifnya yang kebetulan sepanjang hidupnya nempel banget sama emaknya. Proses toilet training yang tertunda, GTM, jam tidur yang kacau, bayi 3 minggu yang kepalanya peyang: well, dikomentari seharusnya ngga disusuin sampe umur 3 bulan sambil rebahan itu beneran bikin nggak nyaman-mungkin saya emang ngga se-setrong itu untuk menahan godaan nyusuin sambil tidur dengan bonus nggak usah naruh bayi yang udah merem lalu nempel kasur auto bangun-repeat all night long.

Dan saya nggak bisa berhenti menyalahkan diri saya, setelah membentak Atha, memaksa dia makan, tidur, menolak ajakannya bermain karena adeknya nyusu nggak berhenti dan tentunya nggak tidur-tidur. Ruby, dengan ruam popoknya yang seolah-olah pantatnya bisa ngomong: "inilah akibatnya kalau pake popok sekali pakai", diagnosa alergi yang membuat saya berhenti makan-makanan kesukaan saya pelipur dari rasa stress sepanjang hari, oh martabak keju, oh rotibakar coklat, oh susu UHT..juga komentar spontan dari berbagai pihak seharusnya begini seharusnya begitu.

Padahal kusudah pernah..bahkan dulu rasanya hampir setiap malam nangis-nangis bombay. Tapi tetap saja rasanya nggak enak, nggak nyaman. Topik klasik yang mungkin akan selalu berulang setiap kali punya bayi. Ah sudahlah, semoga masa-masa ini sudah berlalu..

Minggu, 08 Desember 2019

Menjadi Ibu Bahagia


Menjadi ibu tentunya merupakan sebuah hal luar biasa yang bisa jadi diidamkan oleh semua perempuan. Menjadi ibu juga dirasa oleh sebagian orang sebagai amanah, peran yang diberikan oleh Sang Kuasa untuk menjaga amanah berupa anak-anak. Bagi sebagian lagi menjadi ibu merupakan beban mental yang konon menguras tenaga. Lalu ibu yang manakah saya?

Bisa dibilang jika ditanya semua ibu apakah bahagia menjalani perannya pasti semua akan mengangguk setuju. Tetapi berapa persen bahagianya? Mungkin itu berbeda cerita. Saya sendiri saat ini sedang terus belajar untuk menjadi ibu yang bahagia. Kenapa sih penting sekali berbelit-belit berbicara tentang ibu yang bahagia? Karena perasaan bahagia ibu itu menjadi kunci, konon seorang ibu yang bahagia akan mampu membesarkan anak-anak yang bahagia.

Pernahkah kita sekali lagi berpikir: "Bahagia nggak sih saya menjalankan peran ini?" 
Bukan apa-apa, peran menjadi ibu ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan peran individu kita sebagai istri juga sebagai pribadi. Kita ingin dong menjadi ibu yang bahagia, dan saya yakin para ibu semua ingin menjadi yang terbaik bagi dirinya, komunitasnya, juga anak-anaknya. Nah masalahnya, terkadang sulit bagi kita untuk menjadi bahagia karena tuntutan peran yang tidak hanya satu. Di satu sisi kita menikmati membersamai si kecil dalam bereksplorasi, tapi disisi lain kita juga harus melakukan tugas harian mengurus rumah dan anggota keluarga lain (baca: suami). Lalu gimana caranya biar kita bosa tetap waras dan bahagia ditengah luar biasanya tugas pengasuhan dan domestik sehari-hari?

Jawabannya adalah dengan memiliki waktu untuk diri sendiri alias me time!

Yess..kemarin ketika diklat offline calon pengurus ibu profesional perihal pentingnya me time ini juga menjadi bahasan utama. Bahwa kita sebagai ibu, memerlukan waktu bagi diri kita untuk menjadi sumber kekuatan dalam menjalani aktivitas sepanjang hari. Bentuknya bisa berbeda beda bagi setiap ibu, pun durasinya juga bisa berbeda. Dan penting sekali mengkomunikasikan hal ini kepada pasangan agar ibu bisa mendapatkan me time yang dibutuhkan.

Saya pribadi merasa memerlukan waktu sendiri di pagi hari untuk menyelesaikan target amalan yaumiyah, dan kalau bisa beberes sebelum semua atau Atha bangun. Kalau tidak rasanya semua serba terburu-buru dan tidak selesai, akibatnya saya jadi grusa grusu dan sumbu pendek ke Atha. Kalau me time secara khusus, belum terpikir sih bentuknya seperti apa. Tapi terkadang saya melek di malam hari untuk menonton satu drama korea, atau membaca buku 15 menit di pagi hari. Yang paling sering, beberapa waktu terakhir justru saya menikmati momen beres-beres rumah ketika sedang sendiri karena pak suami berbaik hati mengajak Atha keliling sebentar agar anaknya nggak cranky, emaknya juga happy.

Sejauh ini, menjadi ibu bahagia merupakan hal yang susah-susah gampang untuk dilakukan apalagi dengan kehadiran anak kedua. Bisa dibilang saya belum sepenuhnya bisa beradaptasi dan lebih selow dalam urusan rumah, dan berujung pada turun drastisnya level kesabaran dalam menghadapi Atha. Selalu, setelah konflik dengan Atha terjadi saya kembali tersadar bahwa yang harusnya mengerti itu bukan Atha tapi saya. Saya selalu ingin semua beres, dan seringkali beranggapan Atha menjadi batu ganjalan agar semua to do list saya selesai seluruhnya. Semakin jauhlah saya dari definisi ibu bahagia. 

Lalu seberapa bahagia saya saat ini?

Mungkin 60-70%? Entahlah. Dalam hati saya bertekad untuk bisa menjalankan seluruh peran yang saya ambil dengan bahagia. Apalagi kondisi saya sekarang bisa dibilang jauh lebih baik daripada ketika awal kelahiran Atha dulu. Pada masa kelahiran Ruby kali ini saya merasa suami lebih suportif, saya sudah memiliki teman-teman online dan offline yang bisa diajak berdiskusi atau sekedar bercerita. 

Saya masih terus berusaha untuk menjadi ibu bahagia agar bisa membesarkan anak-anak yang bahagia. Dengan memaafkan diri saya sendiri ketika membuat kesalahan, dan berjanji untuk menjadi lebih baik setiap waktu.
Saya berusaha menjadi ibu bahagia dengan mengakui bahwa saya tidak bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna.
Saya berusaha menjadi ibu yang bahagia dengan menutup mata sejenak dari mainan dan buku-buku yang berserakan.
Saya berusaha menjadi ibu yang bahagia dengan menerima bahwa segala sesuatu akan ada waktunya.
Maka saya belajar menerima diri saya dalam kondisi saya sekarang, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan sekarang.

Semua orang berhak bahagia, seorang ibu juga berhak bahagia. Maka saya akan berusaha menjadi ibu bahagia. 




Selasa, 03 Desember 2019

Welcome My Sunshine!

Bismillah..
Syukur tak terhingga mungkin tak cukup mewakili kegembiraan kami menyambut anggota keluarga baru : Maryam Ruby Harfi. Bagi sebagian orang, kelahirannya merupakan sebuah kejutan. Bagi kami, ia adalah 'pengganti kontan' kehilangan yang kami rasakan di awal tahun lalu. 

Ada yang bertanya: lah..udah lahiran, kapan hamilnya? Heheh..qadarullah, selepas keguguran di akhir Februari lalu saya yang sedang berusaha menyiapkan recovery baik secara fisik dan mental ternyata langsung garis dua lagi di bulan berikutnya. Selama sebulan pertama saya sering iseng aerobik di rumah dengan tujuan menghilangkan gelambir lemak dan menurunkan berat badan, ditambah lagi berbagai seminar dan playdate. Jadwal full hingga akhirnya merasakan ada yang salah..kok mulai mual- mual meskipun tidak separah kehamilan pertama. 

Akhirnya kami memberanikan diri untuk mencoba membeli testpack dan agak kaget dengan hasil garis dua. Kemudian kami kembali membuat janji dengan dokter kandungan untuk memastikan apakah kali ini janin berkembang dengan sehat atau tidak. Alhamdulillah, rupanya Allah kembali mengamanahkan kehamilan pada saya di bulan berikutnya. Saya sempat khawatir kalau mengalami trimester pertama dengan mual muntah sepanjang hari, apalagi sekarang ada Atha yang harus diurus. Untunglah, mual muntah yang saya rasakan tidak separah kehamilan pertama, juga masih ada sisa tenaga untuk membersamai Atha meskipun hanya 'seadanya'. 

Jika diingat kembali rasanya baru kemarin lega melewati trimester pertama dan kedua yang 'penuh tantangan'. Tentunya sangat berbeda ngidam saat sendiri dengan sudah punya Atha, juga 'anak' satu lagi yang sempat menyita waktu dan pikiran hingga dua bulan penuh di trimester kedua dengan bolak balik batam center-batu aji-tanjung uma. Sekarang yang ditunggu-tunggu sudah hadir dipelukan, memberi warna baru bagi keluarga kecil kami. 

Ada yang berbedakah persalinan kali ini dengan sebelumnya? Banyak!
Proses kelahirannya alhamdulillah cukup mudah, meskipun berubah haluan di detik-detik terakhir mau melahirkan dimana. Awalnya kami berpikir akan bersalin di klinik yang sama seperti ketika melahirkan Atha dulu. Tapi di hari-H rupanya berubah pikiran untuk bersalin di bidan dekat rumah yang berakibat terlewat beberapa perlengkapan karena isi tas disiapkan untuk bersalin di klinik dokter dengan fasilitas yang bisa diprediksi. 

Kontraksi yang saya rasakan juga berbeda, sehingga membuat saya tidak menyadari bahwa waktu bersalin sudah semakin dekat. Kalau saja tidak muncul lendir darah maka saya nggak akan terpikir untuk cek bukaan ke bidan. Karena rasanya beda banget, kalau dulu rasanya pinggang seperti di tusuk-tusuk dari belakang kali ini sama sekali nggak sakit..hanya tegang saja di perut sesekali. 

Perjalanan bukaan jalan lahir juga lebih cepat dengan intensitas nyeri yang masih bisa ditahan. Saya sempat mempraktekkan teknik pernapasan perut yang sempat dipelajari kilat di salah satu kanal youtube, dan alhamdulillah sangat membantu.

Di akhir waktu observasi sekitar jam 23.30 WIB saya menyempatkan diri membaca surat maryam dengan harapan diberi kemudahan seperti halnya siti maryam ketika melahirkan Nabi Isa a.s. Sekitar pukul 23.50 saya kembali masuk ruangan bersalin untuk observasi dan tak lama ketuban pun pecah, saya pun diminta untuk mulai mengejan. Saya mencoba tetap tenang..mengatur nafas sambil menahan nyeri yang masyaaAllah..luar biasa 😅. Mengikuti instruksi bidan untuk menarik nafas ketika kontraksi datang namun hingga beberapa kali masih belum berhasil mengeluarkan Ruby, saya mulai pesimis. Kalau dulu pas melahirkan Atha saya modal nekat yang penting bayinya cepat keluar jadi nggak terpikir apa-apa, kali ini justru saya sempat ragu apakah bisa..kok rasanya sulit sekali..nafas terlalu pendek, sangat berbeda dengan ekspektasi saya yang kalau sudah belajar teknik pernapasan juga cara mengejan (dan tentunya ditambah bumbu cerita orang-orang "kalau anak kedua sih gampang aja" ) akan semudah membuat flyer kulwap pake canva. 

Pertanyaan saya apakah akan bisa keluar sindedek dijawab dengan tawa ringan seisi ruangan bersalin "ibu kan bisa, ini sudah yang kedua lhoo". Tapi rasanya ya Allah..antara yakin dan nggak yakin bisa memdorong keluar si adek hingga akhirnya qadarullah si adek berhasil lahir dengan selamat..menyisakan perasaan lega dan isak tangis bahagia saya. 

Maryam Ruby Harfi, adalah doa kami agar kelak engkau setaat siti maryam wahai permata hati kami. Selamat datang sayang, kami sudah sangat rindu ingin bertemu denganmu ❤