Senin, 28 Januari 2013

Karenina (2)

Langit biru terang. Syukurlah, sudah satu minggu aku berharap-harap cemas hujan tidak tiba-tiba datang hari ini. Aku menatap lautan yang bergemuruh sesekali, mencoba menenangkan jantungku yang rasanya bisa sewaktu-waktu jatuh ke hamparan pasir.

Disampingku ada seorang gadis bertopi anyaman. Satu dua anak rambutnya berkibar-kibar dipermainkan angin. Karenina namanya, satu-satunya gadis yang pernah kubawa ke lautan ini, tempat rahasiaku untuk melepas lelah kapanpun aku merasa terhimpit.

Kami sudah cukup lama menyusuri tepian pantai sembari berbincang. Tidak, aku yang lebih banyak bicara tepatnya. Karenina hanya menyahut seperlunya sembari menyunggingkan senyum. Aku sudah cukup mati gaya. Sudah berapa kali aku mengoceh tentang lautan, mencoba memecah kesunyian diantara aku dan karenina. Tapi tak ada satupun yang cukup menarik perhatiannya, dia justru lebih sering terlihat menerawang. Memikirkan entah apa, membuatku semakin gugup untuk memulai topik besar yang sudah mengganggu tidurku beberapa bulan terakhir.

Matahari sudah semakin tinggi. Sudah cukup lama tandanya kami berjalan menyusuri pasir. Ah. .kapankah waktu yang tepat itu tiba?aku berdebat dalam hati, sekarang-nanti-sekarang-nanti-sekarang. Ya, sekarang. Aku harus menanyakan hal ini sekarang.

Aku berbalik cepat dan berhenti. Aku mendapati Karenina setengah melamun rupanya mengikuti langkahku yang belakangan semakin melebar. Aku terkesiap sejenak ketika mendapati wajahnya di balik beberapa anak rambut yang dipermainkan angin. Wajah yang sama yang mengganggu keheningan malam-malamku.lamunanku seketika buyar setelah Karenina menabrakku beberapa detik kemudian.

Aku semakin gugup. "Maukah kamu menjadi pantai milikku?" ahh, pertanyaan bodoh macam apa ini, aku mengutuki diriku sendiri sembari tetap berusaha tenang menatap mata Karenina.
"A-apa maksudmu?" Karenina balik bertanya dengan terbata. Ahh. .apakah aku telah salah bicara?apakah aku membuatnya kebingungan?aku melihatnya sedikit kaget dengan pertanyaan yang kusampaikan. Bodoh, dasar bodoh kau Batara.

"Maukah kamu menikah denganku, Karenina?.." pertanyaan yang menganggu hidupku selama beberapa bulan terakhir ini akhirnya meluncur disertai dentuman jantung yang kacau balau. Entahlah,entahlah. .aku tidak peduli apa jawabanmu. Aku hanya ingin tahu, aku mengunci tatapan mataku pada matamu. Aku benar-benar ingin tahu.

Hampir-hampir aku tak sanggup lagi menatap wajahmu ketika tiba-tiba perlahan kau berbisik
"tentu saja, tentu saja. ."

Tuhan. .aku tukar pantai rahasia kita ini dengan Karenina. Aku rela. .aku rela, karena dialah yang akan menjadi pantaiku mulai hari ini hingga selamanya.

Kamis, 24 Januari 2013

Karenina

Aku tak pernah membayangkan, betapa sempurnanya sebuah langit biru bersih tanpa sesaput awan pun. Dan kita, menyusuri tepian daratan yang merembes basah, meniti pasir. Aku merasa begitu tersanjung ketika kau berkata sembari tertunduk, "ini adalah tempat rahasiaku, engkau adalah yang pertama tahu selain aku dan Tuhan di atas sana,"

Hatiku berdesir meskipun angin tak cukup kencang menerpa rambut panjangku. Aku membetulkan letak topi anyaman yang kupakai dengan sedikit gugup. Salah tingkah.

Engkau yang sedikitpun tidak menyadari pipiku yang merona terus saja berjalan sembari sesekali memejamkan mata. "Aku selalu jatuh cinta dengan pantai ini kapanpun aku datang," ucapmu tiba-tiba ditengah hening yang hanya dipecah oleh deburan ombak. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, dan melanjutkan pikiran-pikiranku tentangmu.

Aku tersentak kaget mendapati dirimu yang rupanya telah berhenti, menatap lurus padaku yang menabrakmu sembari melamun.

"maukah kamu menjadi pantai milikku?dengan begitu aku akan selalu datang padamu, tidak lagi ke sini, mm. .atau sesekali tapi tentunya bersamamu, seperti ini,"

Aku terpaku menatap kedua matamu yang lekat mengunci mataku.
"A-apa maksudmu?", aku balas melemparkan pertanyaan bodoh. Aku benar-benar gugup, dan tentu saja sebenarnya sangat bahagia.

"Maukah kamu menikah denganku,karenina?, berbagi kehidupan hanya denganku, sampai Tuhan yang menentukan batas akhirnya", kau masih menatap lekat mataku tanpa bergeming sedikitpun.

Bagaimanalah, aku terlalu bahagia untuk bisa menahan mataku untuk tidak berembun. "tentu saja,tentu saja. ." bisikku lirih. Dan sejak hari itu kamu menepati janjimu untuk selalu datang kepadaku, satu-satunya pantai bagimu.

Minggu, 20 Januari 2013

2 0 1 3

source:http://village14.com/netwon-ma/2012/12/predictions-for-newton-for-2013/#axzz2IVhFXURr

Tahun baru yang diawali dengan pelukan perpisahan, menjelang pagi setelah adzan subuh selesai dikumandangkan, kita saling mengucap "selamat tinggal, sampai jumpa lagi kawan,"

Syukur, syukur yang tak henti terucap yang pantas dilantunkan. Tuhan rupanya masih memberikan kesempatan untuk bertemu dengan angka 13 di 2013 :). Banyak hal yang terjadi, dan pastinya akan lebih banyak lagi yang nantinya terjadi. 

Siapa sangka, 2012 dipenuhi momen-momen yang luar biasa. Rangkaian perjalanan Tugas Akhir yang diakhiri dengan sidang kelulusan. Ya, 2012 mempertemukan saya dengan Sabuga, lengkap dengan toga dan rangkaian bunga. Peristiwa besar yang menjadi tanda tamatnya masa belajar, tamatnya masa berjuang dibawah bendera swasTA, dan tentunya datangnya tanggung jawab baru. 2012, tahun dimana bangku kuliah ditinggalkan, dan teman sepermainan mulai menghilang.

2012. 
Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada rasa kehilangan, syukur tak terhingga, kesedihan, kekecewaan, ah..apapun itu namanya. Konflik dan keberterimaan, silih berganti untuk dimaknai. Hampir seluruh sahabat saya telah menamatkan masa studinya, mulai terjun di keprofesian, intensitas kontak dan pertemuan  sepertinya akan semakin sangat berkurang.

2012.
Memulai karir atlet bulutangkis amatir. Epic. Mendapatkan medali perak itu sungguh sesuatu banget. Okelah, beberapa kali bye dan ada yang diskualifikasi, tapi tetap saja sensasi main di sebuah pertandingannya adalah yang pertama kali saya rasakan. Jujur saja, saya nol besar di bidang olahraga.
Dan oh ya, lawan saya adalah seorang mahasiswa tingkat pertama FSRD. Jadi ceritanya ini adalah pertandingan antara asisten versus mahasiswa kelas. Untung saja saya menang saudara-saudara ;p.

2012.
Kidang Pananjung. Dua frasa yang akrab di telinga sejak TPB, tapi benar-benar asing hingga tahun 2012. Ada banyak sekali hal yang terjadi antara saya dan Kidang Pananjung. Dengan bukit terjalnya, dengan adegan dorong-mendorong motornya. Dengan adegan persalinannya serta ngojek bertiga naik turun bukit lewat jalan setapak yang membuat saya kehilangan kata-kata.

2012.
Satu bulan penuh menjadi tahanan kamar, dengan kaki terbalut gips dan perban. Pengalaman yang sepertinya sulit untuk tidak diingat. Betapa jadwal apel saya justru jatuh di malam jumat, mengunjungi dokter ahli tulang :D.

2012.
Saya begitu jatuh cinta dengan pekerjaan jual-menjual. ce.ri.ta yang lama terlantar karena kalah dengan berbagai kesibukan di kampus akhirnya kembali bersinar cemerlang ketika mendekati akhir tahun. Wisuda Oktober membawa rezeki bagi kami. Bahkan kami sempat begadang dua hari dua malam untuk memenuhi tenggat orderan. Alhumdulillah, sibuk yang menyenangkan :D.

2012.
Tuhan memberikan amanah baru. Sebuah pekerjaan, sebuah tanggung jawab, sebuah kesempatan. Perlu komitmen untuk menyikapinya meskip sayang, hingga kini saya belum berhasil menyiasati 'kehidupan baru' ini. Berlari-lari menyamakan ritme mantan pengangguran dengan pegawai anyaran.

2012.
31 Desember pertama di Bandung. Terkaget-kaget dengan hingar-bingar kembang api dan sesaknya jalanan. Hari terakhir bersama teman lama, sebelum ditinggalkan hijrah ke ibukota.

2012.
Berakhir.

Selamat datang 2013. Saya akan menjadi orang yang lebih baik, InsyaAllah :).

Kamis, 17 Januari 2013

Secuil Perenungan

Sudah lewat tengah bulan di bulan baru, tahun baru. Saya masih menyisakan catatan resolusi yang sama sekali belum tuntas. Lebih memilih asyik bergelung di bawah selimut, menekuri halaman buku-buku yang tak pula kunjung selesai.

Musim masih penghujan. Kelabu lebih sering menampakkan diri daripada terik, meski langit masih saja silau menyakitkan mata. Kesibukan terus bergulir. Jeda semakin tidak terasa. Lalu lalang manusia tidak pernah berhenti memadati jalan. Dalam waktu penuh kemungkinan, saya lebih suka bercengkrama dengan pikiran disepanjang jalan.

Berperjalanan kemanapun, bahkan sekedar menuju tempat kerja setiap hari, setiap pagi kini menjadi waktu tersendiri untuk berkontemplasi. Harganya paling hanya keterlambatan 15 menit, meskipun bisa dibilang sembari menyabung nyawa.

Hilir mudik manusia menjadi objek yang begitu mudah diamati. Memancing puluhan pertanyaan atas setiap sikap yang berbeda. Mensyukuri kerendahan budi, hingga mencoba bersabar untuk saling menjaga dan berbagi ruas jalan. Tak jarang, saya tersenyum-senyum sendiri menyaksikan adegan langsung serial kehidupan.  Seperti yang telah saya duga, hidup selalu sangat menyenangkan sebenarnya. Dengan kerendahan hati, dan kesabaran semuanya selalu tampak berbeda.