Sabtu, 19 Mei 2012

Aku dan Boulevard Jilid Dua

Hari ini saya melewatkan evaluasi pertama. Genap satu edisi saya 'turun gunung' dari jabatan yang untuk ukuran saya sangat prestisius: Pemimpin Redaksi majalah kampus. Terdengar keren bukan?

Bukan..bukan karena saya hebat. Saya rasa pengalaman itu adalah 'kecelakaan' yang menyenangkan. Kenapa? karena Allah memberikan saya satu kesempatan untuk memasuki dunia tulis-menulis. Sebuah dunia yang selama ini masih sangat abu-abu, apalagi bagi seorang yang terhitung tidak terlalu aktif dan 'kupu-kupu'. Tapi rupanya, kesempatan itu datang begitu saja..diputuskan ketika di dalam angkot, via sambungan telepon dengan wajah terbengong-bengong, diakhiri dengan karir baru: Pemimpin redaksi.

Panik. Itulah perasaan pertama yang muncul, disusul dengan berbagai ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Bagaimana bisa saya yang newby ini diamanahi menjadi pemimpin redaksi? HOW COME ceunah kalo kata bule. "Pasti bisa," itu kata pemimpin redaksi lama yang sangat saya hormati dan saya sangat saya cintai dan saya banggakan. Bagaimana bisa??? teriak saya dalam kepala meskipun muka saya senyum-senyum kecut ketika menerima 'warisan' sekantong besar buku jurnalistik, berkas dan majalah-majalah yang sampai saya turun pun belum tuntas saya baca ;p. Tapi, saya harus segera berlari. Ya, ber-la-ri.

Seminggu pertama saya mencoba berteman dengan majalah dan koran Tempo. Baru kali ini saya membaca dengan penuh beban hidup. Mencorat-coret, mencermati penulisan kalimat langsung, kutipan, istilah asing dan printilan-printilan dalam penulisan artikel. Melingkari banyak hal yang saya tidak mengerti, membandingkan, mengamati, meskipun dalam satu minggu semuanya sudah terlupakan bersama majalah dan koran yang lebih sering terlipat, lecek dan basah di dalam tas kecil saya yang selalu overload.

Terbitan Pertama, #69
Terbitan pertama harus diselesaikan hanya sekitar dua bulan setelah saya 'diangkat' menjadi pemred. Saya banyaaak..sekali mengeluh pada Pemimpin Umum yang meskipun tidak kalah ngenes tetap dengan sabar mendengar racauan tentang -gue gak bisa, terimaksih Muhammad Romadhona, meskipun menyebalkan tapi kamu selalu ada ;p. Hampir semalaman saya memandang laptop berusa mulai 'mengedit' tulisan yang bahkan saya tidak tahu di mana salahnya, anak-anak ayam (sebutan untuk para penulis 2010.red) ini sudah sangat hebat sekali. Saya depresi sendiri.

Masih teringat jelas malam pertama saya di Padang Dipati Ukur yang disambung dengan Mc.D Simpang hingga terang. Mengandalkan Wifi gratisan yang merem-melek seperti Mbak Kordinator artistik, Rumanti Wasturini yang harus repot-repot begadang akibat saya yang selalu melanggar deadline penyerahan tulisan.
Tapi Alhamdulillah, edisi pertama berhasil diselesaikan dengan isi tulisan yang Astaghfirullah..ala kadarnya. 

Terbitan Kedua, #70

Banyak sekali evaluasi yang diperoleh setelah #69 terbit. Terbitan #70 ini harusnya menjadi ajang balas dendam karena yah..bagaimanapun skill saya meskipun tidak drastis telah meningkat. Namun sayang sekali, waktu proses penulisan yang jatuh pada bulan Juni-Juli membuat saya terpaksa hengkang sementara. Ada kewajiban kuliah yang harus ditunaikan, perjalanan ke Yogyakarta, bulan-bulan terbitan penuh kekhawatiran dan teror dari Pak Pemimpin Umum.

Kali ini saya diwakili oleh Avi, penulis dan ilustrator berbakat dari jurusan Arsitektur, kalem, cantik, bertalenta, :'). Saya rasa dia adalah seseorang yang sangat luar bisa, yang jauh lebih pantas menduduki jabatan saya menjadi seorang Pemred. Awesome sekali Avi ini!
Avi yang meskipun terlambat memulai dan menerima instruksi ala kadarnya dari saya menghasilkan tulisan-tulisan yang sangat hebat. Hangat menjadi perbincangan di seluruh kampus. Begitulah seharusnya Boulevard, memepengaruhi pemikiran seluruh elemen kampus. Sesuatu banget yang belum bisa saya capai hingga kepengurusan berakhir. Great Job Avi!

Yang menarik adalah kali ini meskipun tidak mengalami ritual begadang di Padang dan Mc.D, kami berempat (kali ini berempat dengan pak pemimpin perusahaan: Sandro Sirait) terjerat sedikit masalah pelik terkait percetakan. H-24 jam OHU, main event yang disasar untuk mempromosikan Boul (panggilan sayang untuk Boulevard.red) dan belum ada satupun majalah yang tercetak. Ada masalah terkait file dan apalah yang sangat memusingkan ibu kordinator artistik. Semalaman kami berdiskusi, berdebat, tawar-menawar, makan nasi kucing di angkringan, hingga ketiduran di mobil pak PU hingga hampir subuh menunggu kabar dari percetakan. Malangnya, mas-mas percetakan rupanya juga dirundung musibah, kecelakaan entah karena panik memikirkan tuntutan kami atau ngantuk karena terpaksa begadang mondar-mandir Bandung-Cimahi untuk melayani protes keras kami. Saat itu bulan Ramadhan, saya baru pulang ketika tak lama adzan subuh terdengar daengan hasil yang sebenarnya kurang memuaskan. Di hari OHU yang sangat strategis untuk penjualan, kami hanya bisa mencetak 100 eksemplar. Yah, mungkin belum rejeki..

Terbitan Ketiga, #71

Terbitan terakhir di masa jabatan saya. Setelah melalui diskusi panjang bersama bos-bos di warung sebelah kampus akhirnya plan untuk menjalankan #71 tersusun rapi. Saya berusaha serapi dan sedisiplin mungkin kali ini. Rancangan berita, alur kerja, panduan bagi penulis dan redaktur, deadline tulisan pun sudah tercatat dengan rapi. Namun apa daya manusia hanya bisa berusaha. Kali ini masih saja ada gejolak internal yang cukup..menyedihkan. Saya kehilangan banyak penulis lama yang notabene sibuk kaderisasi himpunan. Meskipun mendapat tenaga-tenaga segar dari calon Boul (CaBoul), tapi tetap saja..yang namanya adik-adik, harus dibimbing sangat ekstra. Saya mendapat banyak sms dan email, dan saya ehm, terpaksa meningkatkan tensi di terbitan terakhir. Banyak yang bilang saya jadi galak -yaelah kemana aja baru tau gue galak-, sms-sms saya bernada teror, telpon-telpon saya sering direject dan tidak diangkat. Akhirnya..saya merasakan perasaan yang selama ini dialami oleh pak PU yang tidak jarang saya cuekin sms dan teleponnya. Konflik mungkin adalah cerita yang mendominasi terbitan terakhir ini. Namun, semua memang ada hikmahnya. Dengan bangga saya menyuguhkan Boulevard #71 yang masih saja tidak lepas dari caci maki ;p. 

Terlepas dari saya yang selalu failed dalam memanajerial anggota maupun berita, bagaimanapun secara pribadi saya berbangga diri. Mungkin semua orang tidak melihat apa yang berubah, atau apa yang saya dapat dari menjadi seorang Pemimpin Redaksi-jabatan prestisius seantero kampus *abaikan* tapi saya mendapat banyak sekali pelajaran. Bahwa setiap kerja keras bagaimanapun hasilnya minimal menyamankan diri kita. Saya membuktikan pada diri saya sendiri yang cukup pengecut bahwa saya bisa. Dalam track record manajerial yang meskipun cukup panjang, tetapi untuk menjadi pemimpin redaksi? itu sama sekali tidak terdapat dalam daftar cita-cita. Ini adalah jebakan yang sangaaaat...menyenangkan!

Banyak hal ajaib yang saya lakukan di Boul, bagaimanapun keisengan saya mendaftar menjadi anggota majalah kampus adalah keajaiban pertama. Membuat video teaser dengan power point adalah keajaiban *atau kebodohan? yang kedua. Menjadi kadiv konsumsi muker, kadiv acara pelatihan jurnalistik, menginap sampai pagi di Mc.D, mondar-mandir di rektorat jam 8 pagi, menyusuri jalanan Dago tengah hari ke MWA, menjadi saksi hidup angin puting beliung di tol menuju kampus Jatinangor, antrian hoka-hoka bento menjelang sholat tarawih,  orang-orang luar biasa yang begitu luar biasa dan banyaaak lagi masa-masa susah senang di sekre baru dan lama, dijalanan sepanjang kampus, di selasar-selasar, di gerbang depan, depan kokesma dan dimanapun yang belum disebutkan. Sungguh..sebuah moment yang sangat luar biasa.
kiri-kanan: saya-Sandro-Rama-Uti-Avi

Terimakasih Panji, Pak Pemimpin umum yang telah berbaik hati menahan pengunduran diri ketika bulan-bulan awal di Boulevard. Kalau saja saya benar-benar hengkang sebelum tercebur basah dalam dunia tulis menulis yang bahakan sempat membuat saya depresi, perang batin dan merasa tidak berguna, tentunya tulisan panjang ini yang sebenarnya bisa lebih panjang lagi tidak akan pernah ada.

Terimakasih Ririn Restu Adiati, salah satu orang yang mampu meyakinkan bahwa saya bisa bertahan. Dan rasa hormat saya kepada ibu Pemred terdahulu inilah yang membuat saya berani mencoba.

Terimakasih Rama, Uti, Sandro, yang mampu bersabar atas kecupuan dan keminusan saya sebagai seorang pemimpin redaksi :). Tanpa kalian, tidak ada yang terjadi..

Terimakasih atas potongan waktu yang diselipkan selama saya 'tinggal' di kampus. Terasa seperti tulisan perpisahan ya? sebentar lagi, jika Allah mengizinkan..mungkin bersam Ririn, saya tidak lagi menyandang predikat luar biasa sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan generasi penggerak bangsa, Boulevard yang menjadi watchdog kampus, memikirkan permasalahan khalayak, mencoba mengangkat dalam komunitas, mencari solusi memecahkan masalah. Sungguh, kehormatan luar biasa bersama kalian di Boulevard :)