Selasa, 24 Februari 2015

Curhat Anak Petani

foto: http://kabupatenmadiun.blogspot.com/

Harga beras naik sekitar 30%, mari nanti kita lihat apakah harga gabah juga naik. Disitu para petani menggantungkan nasib. Menanti  penuh harap tiga bulan dari menyebar benih hingga menunggu bulirnya menguning.

Saya tumbuh dan besar sebagai cucu seorang petani, anak petani, hidup di lingkungan petani. Setiap pagi, membuka pintu depan rumah akan langsung terlihat hamparan hijau sejauh mata memandang. Juga ketika membuka pintu belakang, masih disambut hijau batang-batang padi yang tegak tapi merunduk. Ini rumah apa gubuk pak tani kok ditengah sawah? hehe, begitulah nyatanya.

Tiga kali dalam satu tahun, bapak ibu saya dipusingkan oleh masa tanam-semprot pupuk-menyiangi rumput-hingga panen. Mahalnya air yang amu tidak mau harus dibayar per jam untuk mengairi selama beberapa minggu sekali. Padahal rumah saya termasuk daerah yang cukup bagus air tanahnya, yang masih bisa mengalir deras meskipun disedot oleh beberapa mesin diesel sekaligus. Bagaimana yang didaerah sulit air? bisa tanam-panen tiga kali dalam satu tahun?

Tidak sampai di situ. Sekarang ini, mencari orang untuk mengerjakan sawah susah-susah gampang kata orang-orang. Ketika musim tanam, tenaga untuk menanam padi -tandur, istilahnya, sangat sulit dicari. Yang biasa tandur pasti kelarisan, akhirnya ya terpaksa impor tenaga dari daerah lain. Menggarap sawah memang tidak lagi hits bahkan di desa sekalipun. Kotor, berjibaku dengan lumpur, nggak keren, nggak intelek. Sadis? lha memang tampilan dan kenyataannya seperti itu. Yang intelek kebanyakan pindah ke kota, caru duit gede alasannya. Lah, nyari yang segede apa? yang paling lebar ya yang lima puluh ribuan itu to?

Tidak ingin menyalahkan pihak manapun. Memang mungkin belum saatnya saja petani berjaya. Pertanian beken disebut dan dimanfaatkan. Meskipun katanya Indonesia negara agraris tapi sepertinya percepatan, perkembangan di bidang pertanian belum terlihat secara nyata. Setahu saya, petani masih harus berjuang sendiri, ada sih KUD Tani yang saya belum tahu benar kalau yang petani kecil seperti bapak saya mendapat manfaat apa. Da perasaan mah, air, pupuk, upah tenaga juga dibayar sendiri. Kadang bapak saya juga 'nyemplung' sendiri, secara bapak saya ini memang dasarnya hobi nyawah. 

Ah kapan ya, pertanian mendapatkan giliran seperti sektor perikanan sekarang. Bu Semmenteri mulai bergerak mengamankan aset perairan. Ramai disebut di media, langkahnya tepat, menguntungkan para nelayan. Bagaimana Pak Menteri? kapan para petani ini mendapat giliran? Kenaikan harga beras yang sepagi tadi ramai dibahas di televisi apakah akan diikuti kenaikan harga gabah? Memang, petani bisa hidup dengan 'cukup'. Kalau kata bulik saya,"Lha memang adanya itu, ya dicukup-cukupkan", meskipun beliau juga sempat curhat betapa pusingnya memutar uang untuk bisa tetap tanam di musim berikutnya. 

Saya nulis begini memangnya mau apa sih? hmmm..curhat saja kali ya. Belum bisa mencari apalagi memberikan solusi. Tapi sepertinya kalau para lulusan institut pertanian itu diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lahan dengan ilmunya hasilnya akan lebih baik? iya nggak sih? berapa banyak yang benar-benar berkiprah secara nyata untuk mengolah lahan pertanian? kalau takut kotor ya bagaimanalah caranya biar nggak kotor-kotor banget. Selain panca usaha tani, ada lagi kah terobosan yang bisa diaplikasikan?

Dan, saya tidak bisa menjawabnya sendiri.

*jangan serius-serius bacanya, saya nulisnya biasa aja sih :D