Senin, 18 Mei 2015

10 Hal yang Perlu Diingat Suatu Hari Nanti


Setiap perjalanan bagi saya memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Repotnya, nyebelinnya, serunya, nyenenginya, pegel-pegelnya..semua berbeda. Dan masih dalam edisi perjalanan -yang sebentar lagi harus dihentikan sejenak dalam rangka melengkapi cerita hidup lainnya- maka kali ini saya ingin menuliskan hal-hal random yang dapat saya simpulkan selama perjalanan. Sepotong-dua potong kalimat yang perlu dicatat untuk diingat, atau untuk tidak dilakukan kembali.

1. Meninggalkan krim pereda nyeri ketika bepergian adalah benih penyesalan yang baru akan disadari di akhir hari, menjelang tidur di tempat asing.

Beneran deh, bawa aja kalau memang ada persediaan di rumah. Aktivitas outdoor yang kamu kira ringan-ringan kapas bisa berubah menjadi semacam olahraga kesiangan yang bikin pegal-pegal leher, pundak atau kaki. Dan kalau kamu kebagian shift nyetir, krim pereda nyeri pasti sangat..sangat membantu.

2. Coba lihat orang-orang yang naik Bianglala, wajahnya sumringah banget kan? padahal dia tahu bakal di puter, kadang di atas kadang di bawah. Hidup tuh gitu aja, simple, kaya orang naik Bianglala.

Sama banget kaya kehidupan manusia, kejayaan, kesedihan, kebahagiaan, dipergilirkan. Jadi buat apa suntuk mikirin masalah hidup. Toh, bersama kesulitan ada kemudahan.

3. Ketenangan itu sumbernya dari dalam diri. Nyari jauh-jauh ke gunung, ke laut atau ke air terjun juga nggak akan nemu kalau di dalam diri masih rusuh.

Udah mendaki capek-capek tapi nggak nikmat. Nyetir jauh-jauh cuman dapet capek. Berenang sampai gosong juga nggak gembira. Lari ke gunung atau laut nggak akan menyelesaikan masalah, jadi jangan jadikan acara piknik buat pelarian dari beban hidup. Hadapi dulu baru liburan jadi reward!

4. Perjalanan berjam-jam bisa jadi memang membosankan. Tapi bukankah saat itu pula muncul kesempatan untuk berbincang lebih lama? 

Perjalanan selama menuju destinasi adalah bonus waktu ngobrol yang kadang susah banget didapatkan. It ones of quality time beetwen friends or family, lho! Plis, buang gadget jauh-jauh kalau kamu nggak mau jadi super nggak asik.

5. Menambah koleksi foto wefie atau selfie bukan satu-satunya tujuan mulia untuk berperjalanan.

Simpan sebentar gadget kamu, stop online kalau nggak perlu-perlu banget. Take a deep breath, tebarkan pandangan, dengar suara sekeliling, hayati. Emang sih, seneng kalau lihat foto bagus-bagus selama perjalanan, dan melihatnya pasti bikin kangen kerena ingat semua cerita seru. Tapi, jangan sibuk sendiri ambil gambar tanpa sempat menikmati 'gambar' aslinya. Karena apa yang bisa ditangkap mata, nggak akan bisa semuanya tertangkap kamera.

6. Sabar itu nggak ada batasnya. Semakin bersabar, semakin mudah kok ngejalanin apapun.

Pesawat delay. Telat makan. Rencana gagal. Jalanan macet. Duit habis. Yang sabar..mau marah ke siapa? marah nggak akan menyelesaikan masalah. Better bicara baik-baik dan segera cari solusi.

7. Jawaban TERSERAH itu sama sekali nggak membantu.

Serius. Tapi emang sering males mikir sih ya. Jadi yasudah, jangan ngambek kalau hasil terserahnya nggak sesuai ekspektasi.

8. Coba sesekali mengambil inisiatif, dalam hal apapun.

Sesekali nggak ada salahnya buat memulai pembicaraan, memperkenalkan diri, atau sekedar nawarin cemilan. Karena kalau semua sama-sama gengsi dan jaim minta disapa duluan, yang ada kamu hanya akan ngobrol sama isi kepala, alias monolog. Ya gapapa sih kalau niatnya emang pengen kontemplasi.

9. Bertemu orang baru, tempat baru dan suasana baru itu semacam tantangan yang juga memerlukan taktik untuk menyikapinya.

Hal ini akan mengasah insting, meningkatkan skill adaptasi, dan menambah wawasan sosial-budaya kalau bisa dilakukan dengan tepat. Ada sih resiko tengsin, semisal sok-sokan ngajak ngobrol pakai bahasa Sunda tapi ternyata pas dijawab pakai full Sunda cuma bisa mlongo. Tapi serius, hal-hal baru itu meskipun agak bikin ketar-ketir sejatinya asyik buat dieksplor.

10. Sadari kondisi sendiri, jangan pernah memaksakan apa yang nggak bisa dipaksakan.

Jangan pernah lupa menganalisa dan mengenali kondisi diri biar nggak repot sendiri. Pantangan makan, bisa atau nggak bisa berenang, takut apa nggak sama ketinggian, tahan atau nggak sama dingin. Bilang kalau nggak bisa, karena bisa saja fatal akibatnya.

Hahaha, sedikit nggak penting sih tulisannya. Tapi, kadang kita menemukan banyak hal yang harus di hightlight, diingat-ingat, justru ketika kita berada di saat yang tak terduga. Semacam tiba-tiba merenung dan mendapat hikmah, atau juga nyeplos di tengah-tengah obrolan geje. Waktu-waktu seperti itu yang kadang bisa menjadi wake up alarm, jawaban dari langit atas pertanyaan yang berputar-putar di kepala.

Jadi, nggak ada salahnya kan menuliskan sebagian? mungkin akan ada lagi beberapa wangsit yang bisa ditulis setelah perjalanan atau kejadian selanjutnya.

"Tuhan memberikan jawaban atas setiap pertanyaan di waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Hanya saja manusia kadang tidak bisa membaca kalimat-Nya. Maka diperlukan tambahan waktu dan kesabaran, dalam perjalanan mencari jawaban"
***

Sabtu, 09 Mei 2015

Mendaki Piknik (Selesai) : Menapaki Jalan Pulang

Pagi semakin menghangat. Setelah sarapan pagi yang begitu 'fancy', kami segera berkemas dan menapaki jalur kembali menuju Desa Dieng. Di kejauhan, bukit teletubbies menjulang berderet. Tujuan akhir kami ditandai oleh sebuah tower yang terlihat kecil nun jauh di ujung sana. Yasudahlah, pokoknya jalan saja.

Bukit pertama saya daki dengan susah payah. Rasanya, kaki saya masih sama gemetar seperti di rute cacingan sepagi tadi. Tenaga saya tinggal sisa-sisa, padahal masih ada 4 hingga 5 jam lagi kami harus berjalan kaki. Kami berjalan lambat-lambat dengan berkali kali mengambil jeda. Di puncak bukit teletubbies pertama, kami disambut oleh pemandangan pedesaan di bawah sana yang begitu indah! Dari atas, terlihat telaga, yang apa namanya saya lupa, juga lautan awan yang bergulung, pokonya pemandangan dari atas begitu indah sampai akhirnya kami semua berhenti untuk foto-foto, hehe.

Perjalanan menyusuri bukit teletubbies yang jumlahnya entah ada berapa banyak itu dilanjutkan. Sesekali kami menguluk salam pada pendaki lain yang kami temui. Medan jalanan kali ini memang tidak sesulit jalur Patak Banteng. Jalanan naik turun mengikuti kontur bukit, jadi datar-naik perlahan-puncak-turun perlahan, terus begitu hingga sekitar satu setengah jam pertama. Bukit Teletubbies ini juga luar biasa indah lho! Semak bunga Daisy berwarna putih dan merah muda menutupi hampir seluruh permukaan bukit. Hanya ada sekitar satu dua pohon saja yang tampak menjulang. Disepanjang jalan juga kami temui beberapa tenda kemah para pendaki. Lembah dan bukit ini serasa surga banget, bahkan kami sempat rehat dengan tidur-tiduran di rerumputan. Bisa seharian itu  kalau nggak ingat jalan pulang masih sangat panjang. Bahkan Rijal berkata "Aku mau bikin rumah di sini aja", hahaha. 

Setelah melewati sekitar dua bukit teletubbies, kami menemukan jalan persimpangan. Berdasarkan informasi dari pendaki lain, jika kami mengambil jalur lurus menuju Desa Dieng, maka kami akan keluar dari atas patak Banteng, dengan jarak menuju parkiran sekitar 2 jam berjalan kaki. Sedangkan jika mengambil jalur yang berbelok ke kiri, kami akan sampai di desa apa saya lupa namanya, yang jelas posisinya masih lebih bawah jika dibandingkan dengan Desa Dieng. Estimasi jarak tempuh ke parkiran sekitar 45 menit. Akhirnya setelah menimbang, Mas Firman dan diamini oleh kami semua, mengambil jalur kedua yang  tentu saja menggiurkan karejna lebih dekat dengan parkiran.

Kami turun satu persatu dipimpin oleh Mas Firman. Dan sepertinya langsung merasa menyesal dengan pilihan yang diambil, haha. Jalan pintas ini nggak kayak nyontek pas ujian atau nyuap pejabat biar dapat SIM tanpa ujian, yang ini berat pak! jalanan hanya cukup dilalui satu orang, dengan medan licin, dan sangat terjal. Kecepatan menurun drastis, kami harus melangkah dengan ekstra hati-hati. Dan percaya atau tidak percaya, jalanan seperti ini terus-terusan kami tempuh selama 3 jam ke depan! Horay! *Nahan pipis dan nahan nangis.

Masih berjuang untuk menuruni jalanan yang menguras tenaga, kami berjalan diselingi keluhan, guyonan, teriakan putus asa, dan lebih sering dengan istirahat. Mas Firman sudah lebih dulu menghilang di depan sana, juga Yuni dan Niken. Yuni dari tadi sudah mrosot, lari, jalan cepat, baiklah kali ini memang usia tidak bisa bohong, haha. Saya bersama Imon dan Rijal masih tertinggal di belakang dengan berkali kali melempar guyonan, 'bikin rumah disini aja'. Rasa-rasanya pengen ngesot aja sampai bawah, tapi ya gimanalah baaang..

Saya menuntun Imon dengan syal, dan memilih-milih jalan. Imon daritadi sudah terlihat putus asa, Rijal berkali-kali hampir terpeleset. Dari jauh kami mulai melihat pohon carica! yey!harapan sudah mulai dekat dengan pos 1 kembali muncul. Tapi rupanya jalanan masih cukup panjang hingga kami benar-benar menemui ladang carica milik penduduk. Perlahan pepohonan mulai berganti dengan berbagai macam tanaman budidaya. Perkampungan mulai terlihat, saya bersorak dalam hati, kaki saya entah mengapa mulai terasa sakit. Kami berlomba dengan gerimis untuk mencapai akhir jalan setapak. Akhirnya, kami tiba di ujung rute!

***
Kami beristirahat sejenak di salah satu warung yang lengang. Segelas teh hangat dengan asap mengepul menemani kami mengambil jeda sebelum  melanjutkan perjalanan menuju parkiran. Mas Firman sudah entah berada di mana, setelah terakhir terlihat berjam-jam yang lalu. Segera setelah berpamitan kepada ibu pemilik warung yang juga telah menyediakan kamar mandinya bagi kami, perjalanan dilanjutkan.

Perjalanan terakhir menuju parkiran diisi dengan obrolan ringan dan canda tawa. Saya berjalan lambat-lambat dengan kaki yang mulai terasa sakit. Perbincangan mengenai apa yang didapatkan dalam pendakian menjadi tema ringan yang saya bicarakan dengan Zainul. Tentang Apa yang dicari?. Apakah tidak jera? Bukankah perjalanan seperti ini begitu melelahkan? dan teman baru saya yang satu ini menjawab setelah mengambil jeda sejenak: 

Memang pada setiap akhir perjalanan rasanya seperti tidak akan mau lagi melakukannya. Tetapi setiap kali 'kehidupan nyata' terlalu melelahkan, maka kau akan sangant rindu untuk melakukannya lagi: pendakian

Saya hanya tersenyum sembari berpikir: Sepertinya saya harus mendaki lagi suatu saat nanti. Bukan karena ketagihan, tapi karena saya belum menemukannya. Menemukan apa yang membuat orang-orang ini jatuh cinta dengan puncak dan setiap perjuangan untuk menaklukkannya. Pun kata Supri, bukan tentang menuju puncak. Pendakian adalah tentang perjalanan itu sendiri, bagaimana diri kita mampu menikmati dan menjiwai setiap langkah yang diayun tanpa mengharapkan hadiah utama. Juga kata Dito, pendakian semacam meditasi. Menuju ketenangan. Bagaimanapun, suatu saat nanti, saya harus menemukan artinya bagi saya sendiri, sebuah pendakian.

Akhirnya..Setelah syukur pada Allah atas segala kebaikan-Nya mempertemukan saya dengan kesempatan ini, terimakasih pada seluruh rombongan atas seluruh bantuannya. Imon yang sudah menjadi kompor, Niken, Zainul, Rijal, Yuni dan Mas Firman. Pun jika benar pada akhirnya saya tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaan, setidaknya perjalanan ini telah mempertemukan dengan orang-orang baru dan banyak hal baru. Semoga kita bisa kembali berperjalanan bersama, terimakasih lagi!

Rumpun bunga Daisy, cantik banget

Bunga Daisy, dimana-mana!

Itu ada telaganya

View kota tampak dari atas

Bukit Teletubbies

Mampir warung dulu, menyambung nyawa

Kamis, 07 Mei 2015

Mendaki Piknik (3) : Sunrise, ditengah Lautan Awan dan Manusia

Menunggu dalam diam selalu saja tidak menyenangkan. Kadang percakapan di dalam kepala terlalu riuh dan melelahkan. Begitupula menunggu dalam artian sebenarnya tanpa melakukan apapun seperti pagi itu membuat tangan dan kaki mati rasa. Dingin menembus jaket, dan sarung tangan yang sudah sejak tadi membungkus rapat. Kami menunggu dan terus menunggu.

Ufuk timur semakin terang. Sekitaran saya yang tadi lengang kini sudah dipenuhi manusia yang berebut tempat terbaik untuk menunggu matahari terbit muncul. Dikejauhan langit memang sudah mulai memerah, tapi kabut cukup tebal membuat tidak banyak pemandangan terlihat. Sudah cukup lama kami menunggu. Langit juga sudah hampir terang sepenuhnya, ah rupanya pagi ini matahari memang tidak sempurna terlihat. Meskipun begitu orang-orang tetap saja asyik berfoto, juga saya sendiri yang sibuk jeprat-jepret dengan kamera ala kadarnya.

Tak lama ketika pagi semakin terang, beberapa saat kabut mulai tersingkap. Didepan kami tampak bukit-bukit berjejer yang diselimuti kabut putih tipis. Tampak beberapa tenda warna-warni menyembul di ujungnya. Disisi kanan, jika cuaca cerah seharusnya akan tampak  Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro berjajar dalam satu tarikan garis. Tapi pagi itu kami hanya mendapatkan sepotong pemandangan puncak gunung yang tertutup kabut. Tapi tetap saja sih, meskipun terdistraksi oleh lautan manusia, pemandangan pagi itu adalah salah satu breath-taking scenery. Kami seperti berada di tengah lautan awan putih. Ketinggian selalu menciptakan pemandangan yang luar biasa.

Disekeliling mulai terlihat hamparan bunga Daisy berwarna putih yang tumbuh bergerombol hampir di setiap sudut lokasi. Yuni dan Imon sejak tadi sudah disibukkan oleh kamera sedang Mas Fajar dan Rijal duduk-duduk santai dan berjalan di sekitar lokasi kami meninggalkan ransel. Saya sendiri sebenarnya salting, nggak tau mau ngapain, mau foto juga susah nyari tempat longgar, mau tidur ya gimanalah, hahah.

Akhirnya Rijal, Zainul dan Niken mulai menyalakan kompor untuk memasak sarapan ala anak kosan: mi instan rebus rasa soto plus sosis siap makan. Kayanya mi rebus rasa soto selalu hadir di tengah perjalanan liburan saya deh *terharu. Urusan masak teratasi, yang menjadi masalah baru adalah: makan pakai apa? dan kok ya kami nggak kepikiran buat bawa alat makan, *failed. Akhirnya, mi rebus disantap bergantian dengan pisau serbaguna milik rijal, sedangkan Rijal sendiri memilih untuk membuat supit dari batang tanaman sebelum akhirnya niken membuat sendok dari botol minum bekas. Rasanya, mi rebus soto kali ini begitu lezat, baiklah ini pasti efek kelaparan. (Bersambung)

Ramai!
Menunggu dan menunggu
Sumbing dan Sindoro ganteng banget di kejauhan
Sunrise! itu yang kecil-kecil di puncak adalah tenda
Sunrise camp
Deretan perbukitan

*Melihat foto-foto tersebut saya kembali bisa merasakan euforianya. Dinginnya, lelahnya, ramainya, excitednya, dan ke-nggak habis pikirannya saya mempertanyakan apa yang mereka cari di sini. Tentunya juga apa yang saya cari hingga di puncak ini.
** Weekend yang sesuatu banget yang bertepatan dengan momen yang sesuatu banget. What a sweet escape lah ini.

Mendaki Piknik (2) : Menuju Sunrise Camp

Rasa bosan mulai merayapi pikiran saya. Malam masih gelap, jalanan tanah masih becek. Sesekali keheningan terusik oleh langkah kaki rombongan lain yang seperti kami, berharap berjumpa matahari di puncak. Dan kami masih belum juga menemukan pos 4, sunrise camp. Boro-boro nge-camp, jam sudah menunjukkan hampir jam 3 pagi sedangkan tanjakan ini seperti tidak akan pernah usai.

Dari kesemua track yang sudah dilewati, memang track setelah pos 3 ini yang paling sulit. Tanjakan semakin tinggi, jalanan semakin sempit, gelap malam membuat jalan serasa tidak berujung. Saya berusaha tidak memikirkan kapan sampai, pun kaki saya sudah mulai terasa gempornya. Tiba-tiba saja, jalanan berubah menjadi seperti undakan. Seperti ada bambu yang disusun untuk menahan tanah. Jalanan yang semula dikelilingi pepohonan perlahan mulai menampakkan landscape kota Wonosobo di bawah dengan kerlip lampu di kejauhan. Rombongan lain semakin berdekatan satu sama lain. Tapi tentu saja ritme langkah kami sama-sama lambat. Rombongan semakin sering berhenti untuk sekedar menyambung nafas. Dari kejauhan kami mendengar keramaian. 

Bayangan tentang sunrise camp yang sudah dekat rupanya hanya praduga yang tak berdasar. Undakan demi undakan kami lewati dengan menyeret langkah. Rijal beberapa kali terdengar mempertanyakan apakah benar ini sudah dekat dengan sunrise camp. Tiba tiba saja, di bawah kilatan lampu senter saya menemukan sebentuk familiar berkilat diterpa temaram lampu. Gilig, basah, dan menjijikkan: cacing tanah! Ewwwwurghh, saya sudah menahan teriakan dan berusaha kalem agar tidak berlari atau loncat kemanapun. Yang saya takutkan terjadi, Niken hanya berkomentar dengan datar: "kamu pikir dari tadi nggak ada cacing?"

Perjalanan berlanjut, perlahan medan menjadi semakin datar. Kami sejenak berhenti dan mengedarkan pandangan. Rupanya sudah sampai di Sunrise Camp! Beberapa meter dari tempat kami berdiri, puluhan atau bahkan ratusan tenda warna-warni berjajar tak beraturan. Riuh rendah suara para pendaki yang masih terjaga bergema dari kejauhan. Rasanya saya ingin segera berlari dan menemukan tempat untuk rebahan sembari menunggu matahari terbit! Tapi ya menurut ngana..kami melintasi lokasi pendirian tenda yang katanya di malam akhir pekan seperti ini itu dipenuhi oleh sekitar 3000 pendaki. Tidak heran jika dalam tulisan yang saya temui tentang Gunung Prau, sering disebut seperti pasar malam. Berjalan melewati tali, dan pasak yang hanya menyisakan jalanan setapak. Kami menuju sebuah tanah yang terlihat lapang yang bersih dari tenda. 

Lokasi yang kami tuju ini rupanya memang spot untuk melihat sunrise. Disini para pendaki tidak diperbolehkan untuk menggelar ponco atau mendirikan tenda. Akhirnya saya bersama Imon dan Niken duduk di bawah semacam tugu sembari menanti subuh. Dingin udara pagi pegunungan membuat sekujur tubuh menggigil. Untung saja tidak lama, adzan subuh berkumandang. Kami bergegas melakukan sholat subuh secara berjamaah dan bergantian. Ini kali kedua, saya mendirikan sholat subuh di tanah terjal pegunungan. Suara Imon bergetar melantunkan surat pendek, dari kejauhan, terdengar suara imam jamaah yang lain membaca surat pendek dengan lantang dan indah. Ah, Subhanallah, Allahu Akbar. Saya terharu, 2565 mdpl yang apalah jika dibandingkan Mahameru. Tapi tetap saja, konon, di puncak gunung yang lebih dekat pada langit seseorang akan lebih bisa merasakan Kebesaran Tuhan. Disinilah saya pagi ini, dengan kaus dan celana bersimbah tanah, menyungkur sujud. (Bersambung)

Rabu, 06 Mei 2015

Mendaki Piknik: Gunung Prau Wonosobo

Mengenali jalan yang harus dilalui ketika bepergian jauh itu nggak asik. Saya tahu pasti ketika jam 3 baru sampai Ngawi, Wonosobo masih nun jauh entah di mana. Hujan terlalu setia menemani dengan debit maksimalnya. Tengah malam, kami akhirnya tiba di pelataran parkir super ajaib. Selamat datang di Dieng.

Jadi ceritanya saya tetiba pengen nulis karena tadi siang habis diceritain mbak Euryka, seorang teman di KI Madiun yang desember kemarin habis muncak ke Semeru. Gilanya lagi, itu pendakian pertamanya brur, Semeru! yang bayanginnya saja saya merinding disko, pengen sih, pengen..mana ada yang selalu pamer-pamerin pulak itu semeru cakep banget. Hih, ntar deh ya..suatu hari nanti..

Lanjut ke cerita pendakian gunung Prau, dengan persiapan lari pagi ala kadarnya karena sempat nggak fit, akhirnya kesampaian juga acara weekend ceria ke Wonosobo. Perkenalkan anggota perjalanan kali ini: Saya, Imon, Niken, Zainul, Rijal, Mas Firman dan Yuni. Tiga terakhir yang saya sebut tentu saja kenalan baru yang baru hari ini saya temui. Nggak masalah, lanjut!

Malam sudah berubah menjadi super dingin ketika kami keluar dari mobil. Kami menyiapkan perlengkapan dan segera menuju pos pemberangkatan. Pos ini kabarnya sudah berpindah tempat setelah sempat ada perbaikan, yang semula di depan kantor desa, sekarang berpindah agak ke dalam. Tapi selow, banyak banget yang bisa ditanyain, nggak akan nyasar, pasti ketemu kok. Dari pos tersebut, kami mendapatkan peta jalur pendakian yang menginformasikan posisi pos pertama kedua dan seterusnya. Yasudahlah ya, rombongan kami segera berangkat karena sudah mulai dini hari, rencana membuat tenda pun sudah batal sejak beberapa jam lalu. Lha mau bikin tenda buat apa? masak sarapan?

Kami mengambil jalur Patak Banteng, yang terkenal sulit tetapi memiliki waktu tempuh lebih singkat dibandingkan jalur desa Dieng, yang memiliki medan landai tapi waktu tempuhnya sekitar 5 jam berjalan kaki. Baru saja berjalan beberapa langkah di kegelapan, tiba-tiba saja kami disambut dengan anak tangga yang membuat lutut gemetar. Baru juga 15 menit-an lah padahal..track menuju pos 1 rupanya memang intinya adalah anak tangga ini. Saya langsung ngos-ngosan, tapi masak iya mau langsung berhenti akhirnya saya sok asik sampai menemukan jalan yang kembali 'normal'. Setelah track tangga seribu tadi, kami disambut oleh pengecekan jumlah anggota dan himbauan untuk tidak meninggalkan sampah di gunung. 

Perjalanan kembali diteruskan ke pos 2 (Canggal Walangan). Kami melewati ladang. Asik lah ya lihat lampu-lampu. Sampai pada pos berikutnya, jalanan sudah mulai tidak bersahabat. Track semakin menanjak ditambah lagi bekas hujan membuat jalur semakin licin. Sepertinya di perjalanan menuju pos 2 ini Niken sempat berhenti karena pusing, begitu juga Mas Firman yang letih dan lemas. Akhirnya perbekalan dibongkar dan Zainul memasak air untuk membuat minuman hangat, setelah bistirahat sejenak perjalanan kembali dilanjutkan. 

Kami kembali berjalan beriringan sembari sesekali berbincang ringan. Jalanan gelap, apalagi saya tidak membawa senter karena rupanya senter kepala yang saya bawa tiba-tiba mati entah kenapa. Sejak tadi kami sudah aktif saling mengingatkan "jangan minggir-minggir' karena memang track berbatasan langsung dengan jurang. Karena kondisi yang gelap, kami juga tidak ada yang tahu pasti sedalam apa tebing yang menunggu di sisi kanan dan kiri. Enak-enak berjalan sambil mengobrol, tiba-tiba saja sesuatu terjadi. Dalam hitungan detik tubuh saya merosot ke bawah, "Sraak, brukk" Eh, ucap saya dalam hati, rupanya saya terperosok ke bawah, di bibir tebing! belum sempat panik sabil meraba-raba apa yang bisa saya jadikan pegangan, Niken, Zainul dan Mas Firman sudah terlebih dahulu berteriak untuk meminta saya mempertahankan posisi. Saya sempat bingung harus bagaimana, mencoba melompat tapi kok ya gagal, berat pak badan ditambah tas ransel isi cemilan. Akhirnya saya fokus ke instruksi: Diam aja di tempat. Oke, saya diam, trus apa? rupanya mas Firman dan Zainul kompak menarik badan saya ke atas, sedangkan imon membantu dengan penerangan. Yes, alhamdulillah, saya sudah sampai kembali ke jalan yang benar dengan celana dan baju belepotan tanah lempung. Terimakasih kakak-kakaak :D

Perjalanan kembali diteruskan. Pos 3 (Cacingan) yang kami tuju belum juga tampak. Rijal bersama Niken dan Yuni sudah jauh di depan meskipun sesekali berhenti untuk beristirahat. Jalanan semakin licin dan terjal. Beberapa kali kami dilewati atau melewati rombongan lain. Sempat untuk waktu yang lama kami sama sekali tidak bertemu dengan satu orang pun. Malam di tengah hutan, gelap, sepi, nggak berpikir ada dedemit sih udah untung saya, apalagi berpikir tentang cacing beneran -hororr. Saya melewati setiap tanjakan dengan berhati-hati. Sebisa mungkin memilih pijakan dan mengatur langkah, Ngos-ngosan, keringetan, dan kaki sudah mulai pegal tapi pos 3 belum juga terlihat. Zainul sih asik-asik aja loncat sana-sini, mas Firman terlihat sangat 'ngoyo' di belakang saya sembari mengikuti cahaya senter. Tapi di luar dugaan, tingkat ngos-ngosan ketika mendaki gunung Prau ini tidak sehebat ketika menyusuri tanjakan ijen. Perbedaan tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan belerang, ijen yang merupakan gunung belerang memiliki tingkat oksigen yang jauh lebih tipis daripada Prau, sehingga lebih mudah menguras nafas.

Dijalur yang terjalnya membuat saya nggak habis pikir, tiba-tiba saya mendengar Imon berseru, "Ada talinya lhoo", wah, rupanya ada tali yang sengaja ditinggalkan untuk membantu pendaki. Bergiliran Yuni, Niken dan Imon melanjutkan ke atas. Giliran saya tiba, sebenarnya pikiran saya sudah nggak enak,  Iki tali kok posisine gak asik sih. Ah, yowislah..coba saja. Saya mencoba berpindah posisi agar bisa naik dengan pewe, berhasil, dan seharusnya saya melanjutkan mengayun langkah. Saya sempat berpikir sejenak  Ini talinya udah beneran lepas nggak sih? karena memang tadi sempat tersangkut di matras yang tergantung di sisi kiri ransel saya. Karena sudah males mikir, akhirnya saya melanjutkan mengangkat badan untuk mencari pijakan. "Bukk" yehh..saya terjatuh lagi. Benar saja, rupanya tali tambang tadi masih tersangkut di gulungan matras, mas Fajar reflek meneriaki saya agar berhati-hati, secara doi pas dibelakang saya banget, kalau sampai beneran terjadi, epic failed pasti.

Jalanan masih belum terlihat ujungnya. Rijal di depan mulai tidak yakin apakah jalur ini benar? belum lagi kami tidak bertemu satu rombongan pun selama beberapa lama. Kami istirahat sembari membongkar cemilan. Malam cerah, untung saja hujan sudah tidak lagi turun. Langit berbintang terhalang oleh dedaunan yang cukup lebat. Saya masih berusaha menikmati perjalanan, tapi pikiran saya tetap tentang puncak: Seperti apa, dan bagaimana rasanya berada di puncak. (Bersambung ah, ngantuk)

*Nggak ada foto di postingan ini, karena sepanjang perjalanan beneran deh saya nggak kepikiran buat foto-foto. Saya sebenernya nyari 'starry sky' tapi nggak nemu yang oke, dikepung tanah dan pohon, dipayungi rerimbunan daun. 
**Saya beneran sempat kepikiran "gimana kalau saya megang cacing", tapi bisa ditepis beberapa kali karena fokus tersita pada medan jalan yang licin.
*** Detail rute dari Madiun menuju Wonosobo tidak saya tulis karena panjang. Karena kami mengandalkan GPS, kami dilewatkan jalan alternatif. Sekedar informasi, jalan alternatif dari Madiun (belokannya sekitar daerah Sragen) menuju Wonosobo jalannya sempit dan bergelombang. Sehingga jalanan penuh dan perjalanan bukannya semakin singkat malah melambat. Saran saya, lewat jalur dalam kota saja lebih jelas petunjuk arahnya, dan jika ingin bertanya maka tanyalah kepada penduduk sekitar (dan jangan lupa meminta petunjuk pada Allah).