Minggu, 25 Desember 2011

21 Desember 2011

Bandung mulai mendung ketika saya terburu-buru mengangkut maket ke kampus. Sudah hampir jam 1 siang dan semuanya belum selesai. Sya mulai kesal sendiri, kesal pada diri sendiri. Kenapa..kenapa semua berjalan begitu lambat!

Sejak Senin sore ibu akhirnya datang. Ke Bandung, ke kosan. Ya, beliau dtang, setelah rengekan saya yang seperti anak TK minta dikunjungi menjelang libur. Padahal akhirnya saya juga ikut pulang, saya muak melihat kamar saya sendiri setelah smua hal tentang studio terjadi, hahahaha..

Dengan kamar yang penuh dengan barang-barang ce.ri.ta dicampur karton, komatex, dan berbagai perlengkapan perang lainnya, resmilah kamar saya berantakan seperti kapal pecah. Saya sempat sedikit membereskannya sebelum mas Iin menelepon mengabarkan mereka sudah sampai Bandung.

Yha..waktu berjalan, senin sore-senin malam- saya hanya menemani ibu tidur di kosan karena juga tepar karena kemaren cuma tidur dua jam. 
Selasa--
sejak melek habis subuh saya kembvali nongkrong di depan leptop, merevisi beberapa lokasi bangunan dan meletakkan komponen. Membuat laporan tertulis sekaligus menambah slide presentasi. Super multitasking, dan semuanya berkahir ketikatipa-tipa layar gelap dan semua belum di save. Ngacirlah saya ke kamar mandi dan tergesa desa mandi. Saya berjanji mengantarkan ibu jalan-jalan..tapi saya juga punya janji mengerjakan studio..yasudahlah...cabut ke pasar baru!
Belanja--belanja--belanjaa--blenjii..hal ini menjadi kegiatan favorit ketika ibu nyamper ke Bandung!
kami berdua sama-sama lupa waktu, padahal saya berjanji mengantar ibu ke rumah kakak juga selepas ini, dan saya juga masih penya janji mengerjakan studio, oh Nooo..akhirnya saya membiarkan ibu dijemput kakak sedangkan saya kembali berkutat dengan alteco.

Rabu--
Hari terakhir ibu di Bandung. Semuanya di luar dugaan, tugas-tugas belum juga selesai, saya juga grusa-grusu pengen semua cepat selesai. Ada satu janji lagi dengan ibu.
Mendung semakin gelap ketika saya bergegas memutar balik motor dari arah parkiran. Jangan..jangan hujan dulu Ya Allah..tapi hujan punya tugasnya sendiri. Satu-satu, jalanan mulai basah, saat itulah perasaan saya campur aduk. Saya merasa kalah, saya merasa jahat, saya tak tahan lagi menahan tangis di perjalanan pulang. Anak macam pa saya, yang bahkan tidak punya waktu sehari saja untuk menemani ibu, benar-benar menemani ibu.

Ibu sontak kaget melihat saya menghambur ke kamar dengan menangis, ada apa? ada apa? tanya beliau.
Ibu menanyakan apa aku terjatuh? apa tugasku terlambat dikumpulkan? 

Tidak..tidak..bu..Saya terus menggelengkan kepala sambil terus menangis.
Saya menyesali waktu yang saya sia-siakan ketika ibu berada di sini. Berapa ratus kilometer ibu tempuh untuk mendatangi saya di sini. Berapa banyak urusan yang ibu korbankan untuk berangkat ke sini, hanya untuk dibirakan begitu saja. Bahkan ibu ikut tidak sarapan karena Saya baru ingat makan menjelang jam 2 siang. 

Ibu hanya tertawa ketika mendengar alasanku. Tidak apa-apa ujar beliau. Lanjutkan saja apa yang harus kamu kerjakan. Saya semakin merasa bersalah..sangat sangat bersalah. Drama berakhir, kami segera pergi makan..dan hujan kembali tidak mau berkompromi. Kami menembus hujan demi menepati janji ibu membelikan oleh-oleh untuk bapak yang belum terbeli kemarin. 

Sore, lepas adzan Ashar. Taksi yang ditelepon mengabari tidak ada armada. Ibu panik, saya tidak terlalu. Akhirnya kamim memutuskan untuk naik angkot. Bandung sore itu luar biasa macet, pergerakan angkot yang kami tumpangi lambat! ibu semakin panik, saya panik! saya sempat turun sebentar mencari taksi, tapi tidak ada juga..terpaksa kami bertahan di dalam angkot, terus berdoa agar tidak tertinggal kereta.

Sukses, kami datang 30 menit lebih awal. Ibu menarik napas lega, saya hanya bisa mngempaskan tubuh ke kursi, kembali merasa bersalah karena tidak mendengar perintah ibu untuk menelepon taksi dari pagi. Satu penyesalan lagi, di akhir hari.
Dan setelah sampai Madiun, ibu jatuh sakit selama dua hari karena kecapekan. Maaf ibu..atas segala yang terjadi minggu ini, percayalah, saya juga ingin mengajak ibu jalan-jalan. Bukan sekedar melihat saya merutuki tugas di kkosan..

Selamat hari ibu..aku sayang ibu..
*satu hal yang bahkan tidak terucap kamis kemarin,


Perspektif

Dua orang teman saya merekomendasikan buku ini. Kata mereka " sia-siap saja menangis Ko,". Oke, jawab saya bersemangat. Saya tidak pernah menolak tawaran untuk terhanyut dalam sebuah cerita meski harus berakhir dengan mata sembab. Itu adalah bagian dari pelarian sebentar saya dari hidup, haha..

Ini novel Mitch Albom kedua yang saya baca, Tuesdays with Morrie. Kisah pria tua yang hidupnya sedikit demi sedikit diambil oleh ALS, penyakit yang memberikan vonis mati padi Morrie. Dalam sisa hidupnya Morrie bersama Mitch mengadakan sebuah perkuliahan tentang hidup. Setiap hari selasa di rumah Morrie, Tuesdays with Morrie.

Morrie bukan seorang kristiani, bukan seorang Budha, sempat menjadi seorang Yahudi dan bukan seorang Muslim tentunya. Tapi Subhanallah, dalam perspektif saya sebagai muslim, cerita Morrie memberikan banyak inspirasi.
Lihat bagaimana Morrie mengikhlaskan sisa hidupnya. Ia mengikhlaskan setiap kehilangan yang Ia sadari setiap pagi hari, dan mampu kembali menjadikannya sebuah rasa syukur karena Ia masih memiliki yang tersisa. Jika saja Ia seorang muslim, betapa Ia akan menjadi seorang panutan atas kersabaran dan keikhlasan.
Lihat bagaimana Morrie menekuri daun-daun yang begesek ditiup angin dan menikmatinya sebagai sebuah harmoni alam. Andai saja Ia Muslim..pasti mulutnya akan selalu basah dengan pujian pada Allah.
Lihat bagaimana Morrie begitu sabar menerima kunjungan kerabat di tgengah kesakitannya, berbagi cerita dan tetap tersenyum menyambut Mitch. Betapa manis ukhkuwah itu jika dibingkai dalam iman Islam..
Allah mencontohkan banyak hal lewat Morrie. Refleksi kepasrahan seseorang yang mempersiapkan diri menjelang maut. Bukan caranya yang harus diteladani, tapi bagaimana sikap pikiran Morrie yang dengan besar hati menyusun rencana menjelang akhir keberadaannya. Kesiapan yang membuatnya dengan kesadaran penuh menanyakan "Apakah hari ini?"

Siapkah kita? sebagai seorang muslim yang mengimani bahwa ajal dapat menjemput kita kapanpun dan dimanapun. Siapkah kita mengakhiri perjalanan kita di bumi Allah ini dengan akhir yang baik?

Pelajaran tentang kematian adalah kehidupan itu sendiri.

Hidup adalah perjalanan menuju kematian. Bola ada di tangan kita, akhir kita adalah apa yang kita kerjakan hari ini. Lalu, sudah membawa apa kita jika kita akan pergi hari ini?
Semoga Allah selalu melindungi kita, menjadikan perbuatan-perbuatan kita amalan surga. Kita harus bersiap, selalu bersiap.



Rabu, 14 Desember 2011

Beruang Belum Juga Turun, Tapi Benarkah Harus Turun?


Hingar bingar teriakan orasi menggema di depan kampus. Aksi mahasiswa, dengan jumlah massa yang cukup besar. Langka? memang..mahasiswa ITB? bukan..bukan juga mereka.

Ini adalah "undangan", undangan bagi mahasiswa ITB untuk ikut turun ke jalan mengkritisi kasus Sondang yang dianggap telah menjadi pahlawan. Mahasiswa-mahasiswa ini tegak berdiri di bawah terik, berteriak lantang menghakimi 'kami' mahasiswa ITB yang dirasa enggan turun ke jalan. Hmmm... sepertinya suatu ketepatan sekali, belum genap satu bulan lalu saya eneg membahas pergerakan mahasiswa di Boulevard.

Kemahasiswaan. Mahasiswa. Mahasiswa ITB. Terkadang memang sebuah ironi ketika kami ini tidak mau ikut berteriak. Meneriakkan apa dulu? inilah yang perlu dikaji dan direnungi kembali. Puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Bandung berkumpul mendatangi kampus di tengah hari. Meneriakkan orasi orasi tajam tentang kebangsaan, persatuan, kesadaran dan banyak lagi. Urat-urat tertarik, peluh-peluh menetes, almamater-almamater yang lembab akibat keringat yang bercampur debu, dan tatapan-tatapan yang entah ingin mengatakan apa.

Tuntutannya satu. Mereka menuntut ITB turut serta dalam konsolidasi mahasiswa Bandung untuk mendemo pemerintah terkait aksi bunuh diri Sondang. Mahasiswa yang telah dianggap pahlawan karena kenekatannya membakar diri di depan istana negara. Nekat? ya, kata saya itu nekat. Tapi apa urusan kita?

ITB kini tidak lagi menjadi garda depan pergerakan mahasiswa tanah air seperti pada 1998 silam. Kalimat itu selintas terdengar di sela-sela suara yang timbul tenggelam dari megaphone. ITB tidak lagi...
Memang, jika dibandingkan dengan pergerakan di masa lalu kemahasiswaan yang sekarang terkesan lebih ayem. Tapi untuk kasus yang satu ini saya setuju dengan sikap diam 'kami'.

Sebuah cerita yang bahkan tidak meninggalkan selarik jejak untuk apa Sondang mati. Hanya Tuhan mungkin yang tahu, semulia apa tujuannya demi Indonesia. Tidak harus kita menyikapi semuanya dengan turun ke jalan. Tidakkah kalian berpikir dan bertanya pada nurani kalian? yang mneyebut dirinya mahasiswa... demi apa kalian berteriak dan berbuat yang justru tidak seperti mahasiswa? mengacungkan jari tengah ketika tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan. Mahasiswa macam apa yang tidak memiliki etika dalam berperilaku kebangsaan? dimana nilai sembilan kalian ketika dulu menjawab soal kewarganegaraan tentang arti 'toleransi' 'tenggang rasa' saling menghargai'?

Yang didemo juga jangan sok ekslusif. Sok sibuk mentang-mentang lagi UAS. Miris juga mendengar bisik-bisik "yaelah kita mah mending uas daripada mikir beginian,"
Bagaimanapun kita mahasiswa. Maha di depan siswa, berat sekali menyandangnya. Kita dalah tumpuan rakyat, yang salah-salah nanti jadi penindas rakyat. Kita sekolah dengan uang rakyat, yang salah-salah tak pernah sadar dari mana asalnya. Membuka mata, tugas kita, bergerak dengan tindakan nyata kewajiban nyata. UAS bukan pembenaran, akademis bukan persoalan. Bukan masalah demo nggak demo nya, tapi apa alasan dibaliknya. Toh, semua tergantung niatnya..niat apatis mah beda lagi. 
Ya Allah nak..hidup bukan sebatas tulisan di atas kertas. Dan hidup juga bukan semata mata teriakan di jalanan. Kita jadikan hal ini sebagai sarana untuk mengkoreksi diri.

Tanyakan kembali, untuk apa kalian berteriak. Demi Sondang atau demi harga diri kalian? Demi mahasiswa atau demi genngsi kalian? Jika yang bakar diri bukan Sondang, jika Sondang bukan mahasiswa, apakah kalian akan menuntut hal yang sama? sesungguhnya demi siapa kalian berjuang? koreksi bagi kita semua lah ya...

Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater...

*Jangan lupa membersihkan sampah yang ditinggalkan, sebuah akhir yang sangat menarik bagi sebuah aksi demonstrasi.

Selasa, 13 Desember 2011

COPET KERETA

Sudah terang ketika saya melirik jendela setelah sepanjang solo hingga entah dimana ini saya terus tertidur. Cepat-cepat saya bertayamum dan solat subuh sebelum matahari terlebih dahulu muncul.

Saya mengedarkan pandangan ke depan, menuju bangku teman-teman saya dua baris di depan.
Sambil tersenyum simpul mereka berkomentar pendek 
" piko enak banget ya tidurnya,"
Saya hanya cengar-cengir dan mengiyakan. Memang semalam saya dapat jatah 2 kursi sekaligus, hehe, rejeki nomplok!

masih, seorang teman saya menimpali,
"ada copet juga gak nyadar lo ko, ihh..piko duduk sama copet!" yang ini juga masih gak ngerti juga saya maksudnya apa, lagi..saya hanya nyengir dan kembali tidur.

Saya kembali melek ketika kereta mendekati stasiun Kiara Condong, ebuset..saya tidur mulu..batin saya dalam hati, namun santai..itu kan esensinya berperjalalanan di malam hari. Cari posisi senyaman mungkin biar bisa tidur nyenyak, buktinya tak sedikit orang-orang yang memilih tidur di lantai dengan alas koran demi hari esok yang lebih baik, ahaha.

Masih..saya terus di ejekin gara-gara tidur di sebelah pencopet. 
Saya jadi mikir,  "Eh serius lo gue tidur di sebelah pencopet????" tanya saya panik.
Kadek, Dina, Tyo, Arya dan Lulut tertawa hampir bebarengan. Demi melihat muka saya yang semakin bingung Kadek akhirnya menjelaskan. Dan memang ada pencopet di sebelah sayaaa! uhwoow, muka saya menegang. Tangan saya sibuk mengubek-ubek tas mencari harta-harta yang tersisa. Kamera, ada. Dompet, ada. Handphone..handphone pinjeman..mana..manaaaaa?

Saya semakin panik, Dina terus-terusan meyakinkan saya untuk mencari lagi di dalam tas. Dina yakin, copetnya sama sekali gak menyentuh tas saya, dia yakin, semalaman memang dia tidak tidur sama sekali dan Alhamdulillah..ternyata ada, nyelip di bawah baju-baju! Legaaaa...gak lagi-lagi, saya sudah kehilangan handphone bulan lau, dan nyaris kehilangan handphone lagi kamis lalu (yang bahkan belum diambil sampai sekarang di orang yang nemuinnya), dan kalau handphone ini juga ilang???! Allah sayang sekali sama saya =____=

Kembali ke cerita copet. Memang, semalam saya sempat merasa dibangunkan oleh seorang mas-mas, dengan pipi sedikit chubby dan rambut pendek agak kriting. Saya yang merasa sebelah saya kosong ya spontan mikir "ini mas yang punya bangku kali ya," saya pun bangkit dan bergeser merapat ke jendela tanpa membuka mata lagi sampai pagi. Konon cerita teman-teman saya, semalam sempat heboh karena ada copet di kereta. Dan..dan..copetnya itu duduk pas sekali di sebelah saya yang dengan super gebleknya terus tidur sepanjang Solo-Bandung. Mas copet ini heroik sekali, di loncat dari kereta malam-malam buta, dan membuat seisi gerbong heboh.

Jadilah saya hanya terbengong-bengong mendengar cerita itu, copet kereta disebelah gue??
Aneh..memang aneh sih, kami berenam sama sekali tidak mendapat tempat duduk yang bersebelahan, tapi tempat duduk sebelah saya justru kosong dari Solo sampai Bandung, cuma sekali disambangi sama orang buat nitip tas yang ternyata hasil copetan =_________=, nggak ngerti lagi deh saya juga..yang penting, alhamdulillha..handphone pinjeman saya selamat wal afiat :)

Minggu, 04 Desember 2011

Bandung, Minggu Pagi

Bandung di Minggu pagi jujur saja, jarang sekali bisa saya nikmati. Kali ini saya memilih "turun ke jalan" dengan sweater gombrong dan training parasit biru sragam TPB serta sebuah sepatu pinjaman. Inilah hari minggu pagi,

Ditemani dua teman sekosan yang terpaksa bangun pagi karena ajakan random saya yang terdengar sangat menggiurkan :
"Besok lari pagi yuk! trus makan odading di Simpang," 
Dan terjebaklah mereka dengan ajakan "makan odading", hehehe.. 

Kami bertiga berangkat menyusuri jalanan Kebon Bibit. Tujuan pertama: Kampus. Lari pagi keliling kampus dengan seragam olahraga, eksis sekali kami hari ini. Tapi intinya bukan di lari pagi, bukan di kampusnya. Lalu apa? jangan penasaran..sebentar lagi saya akan bercerita tentang jalanan Dago di hari Minggu.

Dago, Minggu pagi.
Setiap hari Minggu jalan Dago ditutup hingga pukul 10.00, ada 'car free day' ceunah, artinya pejalan kaki, pengendara sepeda, in-line skater, hingga beneran para skater bebas berlalu lalang. Hari ini tidak terlalu ramai, kami menyusuri jalanan dengan berjalan pelan dan sesekali menghindari pengguna sepeda. Tampak beberapa kerumunan di beberapa titik. Sayup suara karinding terdengar dari jauh, inilah yang membuat kami berhenti, Karinding.

Karinding. Saya pun tidak familiar dengan kata ini. Kami mengangsur langkah ke depan sebuah pertunjukan dimana ada seorang lelaki setengah baya sedang seperti memainkan peran dengan serius. Setelah mendekat sepertinya Ia mengucapkan kata-kata perenungan, sepertinya juga doa. Yang jelas saya mendengar "Gusti Allah" dan "Sang Hyang Widi Wasa" di sebut sebut dalam bahasa sunda halus yang tentu saja tidak saya mengerti, mungkin hanya sepotong dua potong yang  bisa saya artikan. Namun menariknya, atmosfer yang terbangun di sekitar tempat pertunjukan mampu membuat para penonton terpekur di tengah keramaian. Mimik serius, alunan karinding yang dibawakan sekelompok anak-anak yang sepertinya masih di bangku SD dan SMP itu membuat banyak orang merapat menyaksikan pertunjukan. Yang subhanallah sekali, ada adek kecil sekitar 4 atau 5 tahun yang dengan cekatan memainkan Karinding meskipun dengan sesekali menoleh ke kanan kiri. 

Melihat pertunjukan ini, saya berpikir, 
Betapa kentalnya Islam dulu dengan adat istiadat kehidupan masyarakat. 
Tidak hanya di tanah kelahiran saya, tapi juga di tatar Sunda. Sayangnya seringkali masyarakat salah kaprah mencampur adukkan adat kesukuan dengan Islam, kalau tidak berhati-hati salah-salah bukan kehidupan agamis, tapi animisme dan dinamisme yang tumbuh subur. 

Lalu apa sesungguhnya Karinding? untuk apa masyarakat Sunda masih memegang teguh sebuah budaya yang terlihat sederhana ini?

Karinding
Karinding adalah alat musik tradisonal yang terbuat dari pelepah aren dan bambu yang digolongkan sebagai permainan rakyat. Menurut legenda, Karinding sudah ada sejak 300 tahun yang lalu. Kemampuan mengolah nada dan mengolah pernafasan menjadi salah satu syarat untuk memainkan Karinding. Karinding sering dimainkan ketika sedang di sawah, bersahut-sahutan bahkan dari bukit ke bukit. Selain untuk mengusir hama kerena sifat suaranya yang low decible,  Karinding juga dipergunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Uniknya, terdapat sebuah kepercayaan terhadap sebuah lagu yang tidak boleh dimainkan ketika malam hari. Lagu Dengkleng dianggap tabu untuk dimainkan di malam hari karena konon bisa mendatangkan macan Siliwangi.

Sejarah munculnya Karinding tertulis dalam naskah Sunda tertua, Siksakandang Karsian. Sedangkan menurut Kamus Ensiklopedi Sunda adalah karena cinta. Kisah cinta Kalamanda yang mengejar Sekarwati membuat Kalamanda menciptakan Karinding untuk memikat hati Sekarwati. Kini Karinding belum juga dikenal luas oleh masyarakat Indonesia umumnya, padahal kini karinding telah diabadikan di sebuah museum di Jepang. 

Usaha yang harus dilakukan masyarakat Sunda dan masyarakat Indonesia sepertinya harus lebih banyak lagi. Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, dimana setiap ragam budaya menjadi kekayaan yang menjadikan negara ini ada. Berbagai kisah luhur dibalik artefak budaya yang sering dipandang sebelah mata harusnya tidak hanya menjadi sekedar cerita. Namun bagaimana sebuah nilai luhur dapat menjadi bagian dari kehidupan bangsa.

***
Rupanya hari ini kami belum beruntung. Tukang odading yang menjadi motivasi sejak semalam sedang tidak berjualan. Kata bapak-bapak tukang parkir memang beberapa hari kedepan pun bapak odading belum akan berjualan. Akhirnya kami berakhir dengan choco top dan jamu kunyit asem di halaman parkir Mc.D Simpang.

Random...
ulang kami berkali-kali menertawakan diri sendiri.