Minggu, 04 Desember 2011

Bandung, Minggu Pagi

Bandung di Minggu pagi jujur saja, jarang sekali bisa saya nikmati. Kali ini saya memilih "turun ke jalan" dengan sweater gombrong dan training parasit biru sragam TPB serta sebuah sepatu pinjaman. Inilah hari minggu pagi,

Ditemani dua teman sekosan yang terpaksa bangun pagi karena ajakan random saya yang terdengar sangat menggiurkan :
"Besok lari pagi yuk! trus makan odading di Simpang," 
Dan terjebaklah mereka dengan ajakan "makan odading", hehehe.. 

Kami bertiga berangkat menyusuri jalanan Kebon Bibit. Tujuan pertama: Kampus. Lari pagi keliling kampus dengan seragam olahraga, eksis sekali kami hari ini. Tapi intinya bukan di lari pagi, bukan di kampusnya. Lalu apa? jangan penasaran..sebentar lagi saya akan bercerita tentang jalanan Dago di hari Minggu.

Dago, Minggu pagi.
Setiap hari Minggu jalan Dago ditutup hingga pukul 10.00, ada 'car free day' ceunah, artinya pejalan kaki, pengendara sepeda, in-line skater, hingga beneran para skater bebas berlalu lalang. Hari ini tidak terlalu ramai, kami menyusuri jalanan dengan berjalan pelan dan sesekali menghindari pengguna sepeda. Tampak beberapa kerumunan di beberapa titik. Sayup suara karinding terdengar dari jauh, inilah yang membuat kami berhenti, Karinding.

Karinding. Saya pun tidak familiar dengan kata ini. Kami mengangsur langkah ke depan sebuah pertunjukan dimana ada seorang lelaki setengah baya sedang seperti memainkan peran dengan serius. Setelah mendekat sepertinya Ia mengucapkan kata-kata perenungan, sepertinya juga doa. Yang jelas saya mendengar "Gusti Allah" dan "Sang Hyang Widi Wasa" di sebut sebut dalam bahasa sunda halus yang tentu saja tidak saya mengerti, mungkin hanya sepotong dua potong yang  bisa saya artikan. Namun menariknya, atmosfer yang terbangun di sekitar tempat pertunjukan mampu membuat para penonton terpekur di tengah keramaian. Mimik serius, alunan karinding yang dibawakan sekelompok anak-anak yang sepertinya masih di bangku SD dan SMP itu membuat banyak orang merapat menyaksikan pertunjukan. Yang subhanallah sekali, ada adek kecil sekitar 4 atau 5 tahun yang dengan cekatan memainkan Karinding meskipun dengan sesekali menoleh ke kanan kiri. 

Melihat pertunjukan ini, saya berpikir, 
Betapa kentalnya Islam dulu dengan adat istiadat kehidupan masyarakat. 
Tidak hanya di tanah kelahiran saya, tapi juga di tatar Sunda. Sayangnya seringkali masyarakat salah kaprah mencampur adukkan adat kesukuan dengan Islam, kalau tidak berhati-hati salah-salah bukan kehidupan agamis, tapi animisme dan dinamisme yang tumbuh subur. 

Lalu apa sesungguhnya Karinding? untuk apa masyarakat Sunda masih memegang teguh sebuah budaya yang terlihat sederhana ini?

Karinding
Karinding adalah alat musik tradisonal yang terbuat dari pelepah aren dan bambu yang digolongkan sebagai permainan rakyat. Menurut legenda, Karinding sudah ada sejak 300 tahun yang lalu. Kemampuan mengolah nada dan mengolah pernafasan menjadi salah satu syarat untuk memainkan Karinding. Karinding sering dimainkan ketika sedang di sawah, bersahut-sahutan bahkan dari bukit ke bukit. Selain untuk mengusir hama kerena sifat suaranya yang low decible,  Karinding juga dipergunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Uniknya, terdapat sebuah kepercayaan terhadap sebuah lagu yang tidak boleh dimainkan ketika malam hari. Lagu Dengkleng dianggap tabu untuk dimainkan di malam hari karena konon bisa mendatangkan macan Siliwangi.

Sejarah munculnya Karinding tertulis dalam naskah Sunda tertua, Siksakandang Karsian. Sedangkan menurut Kamus Ensiklopedi Sunda adalah karena cinta. Kisah cinta Kalamanda yang mengejar Sekarwati membuat Kalamanda menciptakan Karinding untuk memikat hati Sekarwati. Kini Karinding belum juga dikenal luas oleh masyarakat Indonesia umumnya, padahal kini karinding telah diabadikan di sebuah museum di Jepang. 

Usaha yang harus dilakukan masyarakat Sunda dan masyarakat Indonesia sepertinya harus lebih banyak lagi. Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, dimana setiap ragam budaya menjadi kekayaan yang menjadikan negara ini ada. Berbagai kisah luhur dibalik artefak budaya yang sering dipandang sebelah mata harusnya tidak hanya menjadi sekedar cerita. Namun bagaimana sebuah nilai luhur dapat menjadi bagian dari kehidupan bangsa.

***
Rupanya hari ini kami belum beruntung. Tukang odading yang menjadi motivasi sejak semalam sedang tidak berjualan. Kata bapak-bapak tukang parkir memang beberapa hari kedepan pun bapak odading belum akan berjualan. Akhirnya kami berakhir dengan choco top dan jamu kunyit asem di halaman parkir Mc.D Simpang.

Random...
ulang kami berkali-kali menertawakan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar