Selasa, 27 Januari 2015

Gunung dan Laut, Lagi!

Saya berjalan lambat-lambat di belakang Imon dan Ocha. Jojo masih berjalan pelan meniti turunan di belakang. Sembari menahan agar tidak terpeleset saya melangkah tertahan, melempar pandangan sekali lagi ke sisi jurang menganga. Warna hangus dan lumut di sepanjang jalan menjadi teman saya menyepi di tempat yang jauh dari sepi.

Akhir Minggu lalu, saya randomly terjebak dalam sebuah perjalanan mendadak ke Banyuwangi: Ijen dan Red Island. Berangkat dengan persiapan seadanya, tanpa itinerary dan budget plan yang jelas, Sabtu sore Saya bersama Imon dan Jojo turun tergesa di Setasiun Sepanjang. Langit sudah berubah pekat ketika kami tiba. Benar saja, hujan segera datang tak lama kemudian.

Perjalanan panjang kami tempuh menuju Banyuwangi. Kawah Ijen menjadi tujuan pertama malam ini. Sekitar pukul 02.00 WIB kami sampai di lokasi. Para om-om segera menyiapkan peralatan dan perbekalan, ohya, perkenalkan teman seperjalanan saya kali ini: Imon, Jojo, Ocha, Sarip, Zainul, Lingga, dan Rosip. Lima diantaranya baru saja saya temui sore itu. Perjalanan panjang kali ini dihabiskan dengan segerombolan om-om ajaib yang ternyata sama serunya dengan anggota kelas bunga, setipe dan sama nggak jelas nya dengan mereka! haha!

Perjalanan menuju puncak ijen ternyata lumayan juga. Saya yang memang sejak awal tidak menyiapkan sandal gunung harus ekstra hati-hati menahan keseimbangan agar tidak terpeleset. Untung saja malam itu cerah. Meskipun dengan terengah-engah dan berkali-kali hampir menyerah karena medan yang semakin sulit akhirnya kami berhasil sampai kawah pada pukul 04.00 WIB. 

Kami memandang blue fire dari kejauhan, sejujurnya saya tidak menemukan yang istimewa dari blue fire ini. Padahal saya sudah berkacamata, tapi masih terlihat blur dan ..entahlah, tidak semenarik ceritanya saja. Tapi ketika pagi tiba, seketika kami disuguhi pemandangan yang luar biasa! Subhanallah, kawah besar berwarna hijau diselimuti asap kuning belerang, dengan bayang-bayang siluet bukit di permukannya membuat saya menganga. Allah memang tidak pernah gagal dalam menjadikan kata indah dan luar biasa untuk saling menerangkan satu sama lain. 

Saya dan Imon memilih lebih dahulu untuk meninggalkan para om-om untuk melanjutkan perjalanan menuju kawah yang memang masih harus turun ke bawah lagi. Kami berdua kembali menyusuri jalanan yang tadinya gelap tetapi kini menyuguhkan pemandangan yang luar biasa indah. Di sepanjang jalur pendakian, rupanya lereng yang ditumbuhi lumut membujur panjang, berdampingan dengan jurang landai berpasir. Sedari tadi banyak para pengangkut belerang berlalu lalang sembari memikul dua buah keranjang penuh-penuh, bersimbah keringat, menantang bahaya mendaki dan menuruni jalanan sempit dan curam. Saya terpekur sesaat, sembari bertanya kepada Imon,

"Kenapa di tahun 2015 masih saja ada orang-orang dengan kondisi seperti itu ya Mon?"

"Terkadang mereka bukannya tidak memiliki pilihan, tapi mungkin karena hanya itulah pilihan terbaik yang mereka miliki,"

Obrolan siang tadi di kereta tentang kondisi sosial masyarakat di Indonesia bersama Jojo memang masih melekat di kepala saya. Tentang kesenjangan, tentang prinsip hidup dan pendangan terhadap materi dan ilmu. Bagaimana di zaman sekarang uang memiliki kendali penuh terhadap banyak hal, banyak orang. Bahkan di tempat seperti ini, yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Uang masih saja memaksa manusia melakukan apapun, bahkan menantang bahaya. 

Perjalanan menuruni Ijen memang tidak seberat ketika mendaki. Beberapa saya hampir terpeleset krikil dan pasir, untung saja tidak sampai terjatuh. Hampir tiba di ujung rute saya sesaat melamun, sembari memandang kedua punggung teman saya yang perlahan menjauh. Sudah satu tahun sejak terakhir kami berperjalanan bersama. Suatu saat nanti, tidak akan lagi semudah ini pergi begitu saja dengan ransel lalu mengarungi jalanan yang asing. 

Tapi bukankah memang perubahan adalah sebuah keniscayaan? kita tidak bisa menghindari perubahan, tapi bisa berkompromi dengannya bukan? 

Turun ke bawah dengan sedikit perasaan sendu. Ah, tapi rasa kantuk yang lebih dahsyat memaksa mood saya turun. Setelah beberapa kali berfoto saya bergegas menggelar ponco dan terlelap (sesaat) diantara obrolan Jojo, Ocha dan Imon. Ah sudahlah, saya tidak bisa lebih lama lagi menahan kedua mata untuk tidak tertutup.
***

Rupanya rasa kantuk yang mendera begitu mudah terkalahkan oleh lapar. Sambil memicingkan sebelah mata, saya mendapati Jojo mengelap lensa kamera, Imon dan Ocha juga sedang ngobrol ringan. Imon menawarkan sisa kue bekal kemarin siang melihat saya mencari-cari makanan. Maklum, semua sudah hapal kalau saya bisa 'rewel' banget kalau mulai lapar, haha. Disumpal sepotong brownies dan cemilan akhirnya saya bergabung bersama om-om yang mulai terbangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Red Island, kami datang!

Perjalanan menuju Red Island kami tempuh dengan susah payah. Lagi, ide perjalanan dari gunung ke laut dengan mengandalkan GPS memang tidak bisa diandalkan, haha! Kami berkali-kali bertanya dan mendapati rute dengan jalanan yang rusak parah. Gimana saya bisa lanjut tidur kalau mobilnya gerak-gerak kaya kora-kora macem ini, heeyyy?? akhirnya hanya bisa merem-merem nyender dengan badan berkali-kali terguncang, sembari becanda menghibur diri *melas.

Sudah hampir dua jam dan belum terlihat ada jalanan bagus dan meyakinkan. Saya sempat turun untuk numpang ke kamar mandi di salah satu rumah warga ketika Sarip berhenti untuk bertanya. Dan ketika kembali saya disambut oleh es potong dan cilok! hahahaha, ini om-om ngeborong jajan di depan rumah orang! Another random action yang kocak, saya sih bahagia saja menerima sepotong es dari Ocha dilanjut seplastik cilok, laparnya kakaaaa..belum sarapan padahal abis hiking.

Setelah selesai ngemil, perjalanan kembali dilanjutkan. Adegan sasar menyasar masih berlanjut hingga beberapa jam kemudian, Akhirnya menjelang tengah hari, kami menemukan sign system menuju lokasi dan sampai dengan bahagia tiada terkira *mulai alay ya bahasanya.

Pasir putih dan angin laut menyambut kami seketika. Aaahhhh..lautan! Saya selalu tidak bisa tidak cinta dengan pasir putih dan ombak. Dari kejauhan terlihat tenda berwarna merah dan kursi malas yang berjejer rapi. Lumayan ramai sih, maklum hari Minggu. Ocha, Jojo dan geng Om-om segera bergegas melepaskan alas kaki dan menghambur ke pantai, lalu rebahan manis di kursi malas. Saya dan Imon memisahkan diri untuk sesi foto-foto sembari menikmati pemandangan. Ini sih sebanding dengan perjalanan setengah hari tadi. Saya lupa pegal-pegal akibat terguncang di jok belakang sepanjang hari.

Acara standar sih ya di pantai, minum es kelapa muda, foto-foto, bermain air, capek, lalu pulang. Dan coba tebak takdir apa yang harus saya terima setelah ini? Menyetiri om-om tadi sepanjang jalan pulang, sekuatnya deh sampai mana. Hahahaha, saya sih ngakak miris, ujung-ujungnya saya nyopir lagi..Serius nih kalian? tanya saya lagi. Tapi muka Sarip sudah kucel ngantuk setengah mati, yamanalah saya tega. Serem juga kali dibonceng mas-mas yang ngantuk berat. Oke baiklah, lagipula mengemudi lebih menyenangkan daripada dikocok di jok belakang. Hari itu saya mendapatkan gelar sopir Pantura.

Menyusuri jalur Pantura di malam hari melenakan rupanya. Jalanan sepi dan gelap membuat saya tanpa sadar memacu kecepatan tinggi. Beberapa kali sempat diprotes "jangan ganas-ganas, Kooo!", juga sempat membuat dag-dig-dug karena gagal putar balik, nyasar di halaman rumah orang. Sampai malam saya ditemani Imon dan Rosip yang masih siaga di setiap persimpangan. Jam 21.00 dan saya menyerah, upaya duet, trio hingga choir acapella sudah tidak mempan. Saya mulai mengantuk. Permen dan cemilan sudah tidak membantu. Imon menggantikan saya segera setelah berhenti untuk mengisi bahan bakar di Situbondo.

Kami kembali melaju di jalanan antar kota. Jok belakang mulai sepi. Sudah sejak tadi Jojo menyalakan MP3 dari ponsel untuk menghalau rasa kantuk saya dan Imon. Kami mulai mencari-cari lagu apapun dan diulang berapa kalipun hanya agar tidak tercipta keheningan. Beberapa kali Ocha sempat mengecek dari belakang kami ngantuk apa tidak sampai akhirnya dia tertidur juga. Jojo bertahan sambil sesekali kehilangan kesadaran, tidur-bangun-tidur-bangun. Saya mulai kehilangan fokus, saya mulai meracau. Mengobrol setengah bermimpi, berusaha mempertahankan kesadaran. Imon dan saya sudah mulai mengeluh satu sama lain, ngantuk berat! 

Demi mengusir kantuk, saya bernyanyi keras-keras lagu apapun yang terlintas. Hening, lalu saya mendengar Imon memanggil, 'Ko," Iya Mon! siap, saya harus kembali terjaga sambil sesekali mengambilkan Imon camilan. Dan bagian paling epic adalah ketika saya randomly menyanyikan sepotong lirik dari Donna Donna, lagu soundtrack film Gie. Kok ternyata Zainul dan Jojo ikut menyahut, belakangan saya menyadari kalau mereka turut prihatin terhadap kami yang setengah mati menahan kantuk. Rosip masih siaga beberapa kali ketik kami hampir salah jalan.

Lewat tengah malam dan kami baru sampai Bondowoso. Ah entah berapa lama lagi saya harus menahan kantuk. Kami berdua masih saling bahu membahu melakukan apa saja agar tidak tertidur. Ngobrol ngalor ngidul, menyanyi tidak jelas, hingga akhirnya mulai masuk tol dalam kota menuju Bungurasih. Beberapa orang mulai terjaga mencari-cari uang kecil untuk membayar tol, lalu tertidur kembali. Imon semakin kehilangan fokus, berkali-kali bertanya, "Ada motor di depan??" dengan nada panik. Saya yang sedari tadi menjawab, kosong, salip, ambil kiri, jangan turun dari jalan seperti kernet Sumber Sla*met, sempat keki juga. Ini di jalan tol kaka Imon, mana ada motor??

Hampir pukul 01.30 dini hari akhirnya kami masuk pelataran parkir Bungurasih. Saya sudah tidak sabar turun dan segera membereskan barang di bagasi. Rencana pulang isya sudah gagal total, haha. Prediksi kami, subuh nanti baru akan sampai Madiun. Kami semua, kecuali Ocha harus bekerja pula hari ini *lemes. Setelah dadah-dadah dan bertukar ucapan terimakasih kami akhirnya berpisah. *Ohya, sebelumnya Sarip menawarkan untuk ikut trip lagi minggu depan ke Madura. Kali ini saya harus menahan diri, tidak Ko, ingat Maret. Masih perlu nabung lagi buat bekal, hahaha. 

Setelah sholat di pelataran mushola *moshola di Bungurasih tutup pukul 21.00 dan baru buka lagi pukul 03.00, kami bergegas mencari bus. Ocha sempat menengok dan bertanya, "mau makan dulu nggak?", karena sedari tadi saya heboh kelaparan, mencari-cari sisa roti kismis di mobil. Saya menggeleng ngantuk, kode "Nggak, langsung aja cabut deh,". Kami segera menuju Sumber Sla*met dan mencari tempat duduk. Sesaat kemudian saya berpamitan kepada mereka bertiga sembari mengucap salam, "Mon, Jo, Cha, duluan ya, Assalammu'alaikum". Akhirnya, saya bisa tidur dengan tenang.

Badan saya terguncang-guncang dan beberapa kali melorot akibat bus yang melaju kencang. Baru satu jam-an dan Imon berkata sudah sampai Kertosono. Wah, cepat, gumam saya sambil mengantuk. Saya melanjutkan tidur hingga kembali terbangun ketika kernet berteriak, "Madiun, Madiun..siap-siap." Saya berdiri dengan mata setengah terpejam membangunkan Jojo yang masih tertidur di depan. Akhrnya, jam 04.00 pagi, kami tiba di Terminal Purabaya, Madiun. Dadah-dadah pada Ocha yang masih melanjutkan perjalanan ke Maospati dan Jojo yang segera mencari ojek, lalu saya dan Imon menunggu di jemput di pintu depan. Tidak berapa lama kemudian, Ibu Imon datang menjemput. Kami berdua menghempaskan badan ke jok mobil, dan menuju rumah.

Saya sampai di rumah ketika adzan subuh sayup-sayup terdengar dari masjid. Bapak sedang mengeluarkan motor hendak ke masjid ketika saya turun dari mobil. Setelah mengucapkan terimakasih pada Ibu Imon saya bergegas masuk, melempar tas, ganti baju dan sholat subuh. Akhirnya sampai juga di kasur. Senin pagi, dan saya jatuh tertidur seperti orang pingsan sepanjang pagi. Perjalanan penuh ke-random-an ini berakhir bahagia.

Tulisan mengenai perjalanan ini juga ditulis oleh Imon di Banyuwangi: Ijen, Bayuwangi: Ijen Part 2 , dan Banyuwangi: Ijen Part 3 dalam versi lebih detail dan lebih panjang *dan konon masih bersambung.

Mendaki Ijen bersama Om-om
(Masih) Bersama om-om di Red Island
Setiap perjalanan menawarkan cerita yang berbeda. Menghadirkan sensasi yang berbeda. Laut dan gunung memang selalu berjauhan. Tapi bukan berarti tidak bisa dihampiri dalam satu waktu. Setelah Papandayan-Rancabuaya kini Ijen-Red Island. Dari kereta hingga bus kota, mulai topik sejarah nusantara hingga pertanyaan 'Kapan' dan 'Siapa'. Waktu akan terus berjalan, semakin cepat tanpa pernah melambat. Tak menawarkan penghapus tapi menjanjikan banyak lembar baru. Perjalanan memberikan makna terhadap banyak hal yang sering kita lupa. Tuhan menyelipkan banyak hal untuk membuat kita mengingat bahwa selalu ada campur tangan-Nya dalam setiap peristiwa. Juga dalam pertemuan dan perpisahan.

*Foto diambil dari Flickr Yohanda Mandala a.k.a Jojo (jokidz90)

***

Sabtu, 17 Januari 2015

Baca, Baca, Baca!

Tahun lalu, menulis bagi saya adalah hal yang sangat berat untuk dilakukan. Kenapa? karena setahun belakangan saya nomaden, tidak memiliki kamar tetap yang bisa digunakan untuk menyepi. Sedangkan saya sama sekali tidak bisa menulis jika dalam kondisi ramai, rasanya nggak bisa lepas bebas. Padahal sebenarnya juga tidak ada yang mengintip sih..

Jadi setahun belakangan, saya menyebut diri saya sedang 'kehilangan kesaktian'. Tidak bisa menulis di Tumblr, apalagi di blog. Rasanya was-was dan khawatir, nanti kalau dibaca ini tulisan nyampah banget deh ya. Tapi tahun ini saya memutuskan untuk kembali menulis. Ah, biarkan saja orang berkata apa. Saya akan menulis, bahkan hal-hal yang random sekalipun.

Sebenarnya saat-saat ini, tidak ada kejadian berkesan apa gitu sih. Jadi untuk menulis seperti kehabisan bahan. Biasanya membaca merupakan jurus ampuh untuk memancing ide sehingga banyak ide bisa mengalir. Tapi beginilah, buku yang sedang saya baca inspiratif sebenarnya, sangat inspiratif malah. Tapi entah kenapa saya merasa topiknya agak berat, bahkan untuk mengikuti nya saja saya harus pelan-pelan. Efek lama tidak belajar juga berpengaruh mungkin ya. Ingin tahu buku apa yang saya anggap berat ini? Jangan tertawa kalau sebenarnya bukunya nggak 'seberat' itu. Saya sedang berusaha menikmati, 'Habis Galau Terbitlah Move On' karya J. Sumardianta. Bahkan tidak jarang saya harus mencari penjelasan tentang istilah-istilah bahasa indonesia dalam kbbi, atau sekedar wikipedia selama membacanya. 

J. Sumardianta memiliki kosa kata yang kaya, referensi cerita yang beragam, dan sumber yang luar biasa banyak pula. Beliau ini seorang pendidik, wajar memang ya seorang pendidik harus pandai, berwawasan luas, dan tepat sasaran. Tapi beliau agaknya 'di atas rata-rata'. Saya selalu senang dan kagum kepada orang-orang yang berwawasan luas, dan pada penulis yang 'berisi', bukan hanya menjual rangkaian kata indah tapi miskin makna. Terlebih humor seronok dangkal yang banyak beredar di pasaran.

Beberapa kali saya membaca buku, novel sih tepatnya, yang nggak jelas banget apa isinya. Ya memang buku murah, diskonan gitu, tapi saya tidak habis pikir kenapa ada penerbit yang mau menerbitkan. Ceritanya absurd, bahasanya saru, dan setelah selesai membaca pun, sepertinya saya malah kehilangan setengah akal karena jengkel. Kisah cinta memang menjadi topik yang tidak habis untuk ditulis, tapi ya mbok ya jangan gitu-gitu banget sih seperti di dunia ini tidak ada hal yang perlu diurus selain masalah cinta. 

Berbeda dengan 'penulis beneran', yang kalau membaca tulisannya kita mendapatkan sensasi yang lain. Gaya bahasanya akan sangat terasa berbeda. Kandungan informasi yang lebih bergizi juga sering didapat dari para penulis bagus. Karya favorit yang bisa membuat saya ternganga dan nagis bahagia, karena masih ada penulis yang se-oke ini adalah Supernova, Selimut Debu, Bumi Manusia, dan Negeri Para Bedebah. Saya pernah mencoba membaca karya penulis kawakan macam Buya Hamka dan N.H Dini, bahasanya bagus, ceritanya simple dan mengena. Tapi untuk yang N.H Dini ini temponya lambat. Mungkin karena yang saya baca adalah memoir. Ah, apalah saya ini berani mengomentari tulisan N.H Dini? coba, tulisan saya terlihat dibuat oleh 'orang yang membaca' tidak? *toyor kepala sendiri.


Rabu, 14 Januari 2015

Bicara Tentang Kematian

Terkadang kita lupa, bahwa dunia adalah fana. Kehidupan berjalan bersisian dengan kematian. Begitu juga dengan hari baik dan hari buruk, bagi saya sejatinya keduanya adalah sisi mata uang. Tergantung dari mana kita melihat. Keduanya ada, bersama, bukan saling menggantikan.

Saya nggak yakin lho sebenarnya mau nulis apa, ha!Tapi kan beberapa hari yang lalu saya berjanji akan kembali aktif blogging, menulis. Dan topiknya pun apa saja, terserah, nggak perlu berat, ringan-ringan kapas lah

Ohya, apakah saya sudah bercerita kalau saya sedang ikut les berenang? Tentu saja belum, wong blognya saja baru diupdate minggu lalu. (monolog)

Biarkan saya bercerita ya kalau begitu. Sudah lebih dari setengah tahun rasanya saya les berenang. Wuih, gaya ya, sudah jago dong sekarang, 6 bulan gitu? Sayang sekali, belum. Dan Maret semakin dekat, deg-degan nggak sih? saya nggak mau melewatkan pemandangan bawah lautnya 3 gili nanti, atau terpaksa 'nggandul' mas-mas tukang kapal, dan nggak punya foto underwater

Lupakan sebentar tentang foto underwater.

Sore tadi, sebelum 'berenang mandiri', (sebutan imon atas acara berenang sendiri karena pelatihnya tidak bisa hadir-red) saya mampir takziah ke rumah Bu Rina. Bu Rina inilah yang melatih kami berenang, dan sekarang sedang mendapat ujian dari Allah. Suaminya baru saja dipanggil Allah, dalam keadaan sehat. Meskipun dalam keadaan sehat, sebelumnya suami beliau memang sempat di rawat di Rumah Sakit karena penyakit diabetes. Tapi terlepas sakit atau tidak penyebabnya, bukankah kematian memang selalu datang tanpa memberi aba-aba? 

Mengapa kematian seolah olah menjadi hantu yang menakutkan bagi manusia hidup? bukankah setiap yang bernyawa akan merasakan mati? Tapi mengapa manusia diberikan insting untuk bertahan hidup? untuk berlari, menyelamatkan diri dari kematian?

Ah, saya bicara seolah-olah saya sudah siap mati. Apalah saya ini, setitik debu di alam semesta, yang bahkan untuk bangun di sepertiga malam terakhir pun enggan. Yang doa harian saja terpatah-patah luput dari hafalan. Yang mengaji saja, dengungnya kurang lama. Yang berenang di kolam satu meter saja takut tenggelam. Kontras, saya juga takut mati. 

Barusan, ibu saya mendapat telepon kalau om saya mengalami kecelakaan. Ibu panik di telepon, saya panik tapi tidak tahu harus ngapain. Saya ditinggalkan di rumah dan akhirnya membuka blog dan menulis, setelah lega mendapat kabar om saya baik-baik saja. Tadi, saya sholat isya' dengan pikiran ngglambyar kemana-mana, mengkhawatirkan kemungkinan terburuk. Alhamdulillah, situasi masih aman terkendali, om saya sehat, sesak dan muntah tetapi masih harus diobservasi lebih lanjut, khawatir luka dalam.

Lalu saya menyadari, kematian begitu dekat. Hidup berjalan beriringan dengan mati, mereka hanya menunggu kapan gilirannya tiba untuk bertukar shift. Keduanya siaga, saling menahan diri. 

Saya tentu saja tidak tahu kapan akan mendapatkan giliran. Takut mati? untuk sekarang, ya. Masih takut mati, jawabannya klise tapi tidak mengada-ada. Apa yang bisa saya bawa untuk perjalanan panjang menghadap Tuhan nantinya? Rapor hasil ujian kehidupan, hasil yang ditulis malaikat, ketahuan nanti kalau saya masih sering melamunkan hal remeh temeh macam: "Kapan gue ketemu jodoh?" bapak saya bahkan paranoia saya kenapa-napa sebelum sempat menikah lantas keluarga kami harus menghadapi kepunahan. Pupus, lenyap dari muka bumi.

Tapi bagaimanapun caranya, kita tidak bisa lari. Kematian bukan hanya urusan meninggalkan dunia. Tapi kematian meninggalkan jejak dalam orang-orang yang pernah berinteraksi dengan almarhum/almarhumah. Kisah manusia di alam dunia terputus dengan satu kata: Mati. Tapi ada tiga kata yang hidup selamanya: Amal, doa (anak shaleh/sholihah), dan Ilmu. Lalu seberapa banyak yang telah kita punya? 

Pertanyaan ini menohok ulu hati saya. 
Sekian.

Minggu, 11 Januari 2015

Selamat Ulang Tahun, Kita!

gambar: www.writeabout.com
Hari ini, tepat 4 tahun 'permainan' ini dimulai. Saya menyadari bahwa telah jatuh cinta terlalu dalam padanya. Pada setiap cerita yang kami temani, pada setiap momen spesial yang membersamai. Dan setiap ucapan terimakasih dan emoticon senyum setelah bungkusan-bungkusan itu tiba, sepertinya akan membuat saya gagal berpaling, selamanya.

Jika ditanya dari mana mulainya, semua ini dimulai dari sebuah tugas mata kuliah dengan beban 3 sks di tahun ke-3 perkuliahan. Dosen kami, Pak Susanto, memberikan sebuah  tugas besar dengan menantang kami membuat sebuah 'usaha' selama satu semester. Dan Taraaaa! jadilah ce.ri.ta!
Simpel ya? nggak seru? iya sih, awalnya meskipun saya sangat bersemangat sampai mengabaikan tugas besar 6 sks, tapi ce.ri.ta saat itu masih belum seru seperti sekarang. Dan karena kesibukan masing-masing, setelah menuntaskan laporan akhir semester ce.ri.ta sempat sirna dari muka bumi.

Tahun 2012 setelah saya lulus, keinginan untuk meneruskan ce.ri,ta kembali muncul. Upaya restruksturisasi dimulai. Hunting bahan, riset produk, pembuatan label, perumusan konsep ala-ala desainer kami terapkan. Maklum, sarjana desain anyaran, berusaha menerapkan ilmu yang didapat selama bangku kuliah serta masih idealis. Hasilnya, mentok di konsep tapi lambat berjalan. Rupanya kami terlalu banyak berpikir sehingga lupa mengeksekusi.

Masih di tahun yang sama, Allah memberikan sedikit ujian kepada saya. Sebuah kecelakaan minim drama menimpa ketika hendak menitipkan CV untuk melamar pekerjaan. Waktu itu saya sudah mendapatkan ultimatum dari kedua orang tua: kerja, atau pulang ke Madiun!

Patah kaki yang saya alami membuat semua aktivitas keluar rumah saya terpaksa berhenti. Dari situ, akhirnya kami mencoba mencari kesibukkan yang dapat dilakukan dari kamar kosan saja. Dan saya menemukan pekerjaan saya: menggambar. Niken, yang selalu dipenuhi ide dan dilengkapi dengan hobi 'nggrathil'-nya, membuat sample kartu ucapan untuk wisuda bersama sebuah plakat akrilik. Sejak saat itu, hampir satu minggu penuh kami bergadang hingga dini hari menyelesaikan pesanan. Tangan saya rasanya hingga kapalan dan nyeri karena terlalu banyak menggambar. Sejak saat itu, ce.ri,ta seperti terlahir kembali.

Awal kembalinya ce.ri.ta di akhir tahun 2012 memang belum cukup kuat untuk dijadikan alasan untuk kembali tidak mencari pekerjaan. Di akhir tahun 2012 pula, setelah badai kesibukan ce.ri,ta surut, saya menerima panggilan kerja dari sebuah perusahaan gift dan craft di Bandung. Wawancara dan testing berjalan mulus, seiring dengan kaki saya yang mulai pulih saya mendapatkan berita baik. Saya diterima menjadi seorang Desainer Produk, sesuai dengan bidang keilmuan yang saya tekuni dan tamatkan dengan hasil luar biasa.

Tahun 2013 menjadi tahun kerja keras bagi saya. Menjadi anak baru di sebuah perusahaan yang sedang berkembang rupanya menyita banyak waktu. Saya harus banyak belajar untuk mengakselerasi skill, sembari tetap mengerjakan proyek-proyek ce.ri.ta. Berangkat jam 06.00 pagi dan pulang jam 18.00, disambung mengerjakan pesanan yang tak jarang hingga menjelang tengah malam. 6 hari dalam 1 minggu, menyisakan satu hari Minggu untuk rehat yang tak jarang terinterupsi pula. Seiring berjalannya waktu, beban pekerjaan kantor membuat saya lebih sering mengambil jam lembur. Jam istirahat sering pula saya gunakan untuk menyicil desain atau mengerjakan revisi. Melelahkan dan membebani memang, ibuk sempat beberapa kali menasehati agar menghentikan ce.ri.ta karena saya dan Niken sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.

Akhir bulan Agustus, sepertinya saya sudah berada pada titik jenuh. Perkembangan ce.ri,ta yang semakin baik membuat saya kehabisan energi. Ucapan ibu masih teringat, dan saya mulai mempertimbangakan untuk memilih. Perjalanan hampir satu jam menuju kantor setiap harinya memberikan waktu lebih bagi saya untuk berpikir dan menimbang. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajak Niken untuk pulang, dan berkonsentrasi penuh di ce.ri.ta. Seperti biasa, Niken tidak banyak berkomentar. Saya tahu, keputusan ini bukan keputusan ringan-ringan kapas (Tulisan terkait kegalauan tersebut bisa dibaca di sini). Pulang ke Madiun dan meninggalkan Bandung secepat ini bahkan sama sekali tidak terbayang sebelumnya. Pulang berarti terpisah secara fisik dari semua koneksi yang ada di Bandung. Pulang berarti harus mencari lagi sektor penunjang produksi ce.ri.ta. Pulang berarti menghadapi pertanyaan dari tetangga, kerabat, sanak keluarga: kenapa seorang lulusan institut terbaik bangsa masing ngganggur cantik di rumah? #eh. Dan akhirnya, kami berdua, Saya dan Niken tetap memilih pulang, meninggalkan Bandung tepat pada 31 Desember 2014. (Tulisan yang dibuat sebelum benar-benar pulang, ada di sini)

Di sinilah saya sekarang. Di kamar lama saya, ditemani segelas teh hangat di siang hari bolong buatan bapak saya yang me-restock es teh di freezer. Menikmati hari Minggu pada ulang tahun ke-4 ce.ri.ta.  4 tahun sudah rupanya sejak saya bersama Pipit, Niken dan Arum memulai dari Bandung, di depan pintu kamar kosan saya sembari berdepat nama apa yang cocok. 1 tahun 11 hari saya dan Niken meninggalkan Bandung, dengan memboyong serta ce.ri.ta. Ah, selamat ulang tahun, semoga nanti akan ada yang ke-25, ke 50, ke-100 dan seterusnya. Selamat ulang tahun untuk kita,
cerita kita baru saja dimulai...

Madiun, 11 Januari 2015


Minggu, 04 Januari 2015

2015!

Sebuah grup yang saya ikuti pada sebuah aplikasi chatting sejak satu tahun lalu tiba-tiba berubah nama menjadi: 2015. Dan beberapa orang didalamnya merespon secara seragam, mengisyaratkan betapa mereka merasa waktu cepat sekali berlalu. Ya, berlalu.

Rencana awal saya malam ini adalah melanjutkan acara menonton dorama yang beberapa hari terakhir setia mengantar tidur. Namun, rupanya saya berubah pikiran lantas membuka lagi blog yang rasanya sudah sangat lamaaaaaaaa....sekali tidak disentuh. Dan, seketika saya ingin menulis!

Tahun baru benar-benar sudah tiba. Saatnya menyusun berbagai target dan mulai merealisasikannya. Tapi, saya benar-benar masih belum bisa meninggalkan 2014! Nggak move on ya.. 
2014 memaksa saya kembali pulang ke kampung halaman, meninggalkan hingar bingar Bandung.
2014 adalah tahun dimana dua bulan pertama saya begitu rajin bangun pagi dan mengeluarkan mobil dari garasi.
2014 saya mendapatkan SIM A, dan beberapa kali menggoreskan atau menabrakkan mobil, baik mobil Ibu, atau mobil Bapak.
2014 saya melakukan beberapa perjalanan ke luar kota, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, beberapa diantaranya, saya diperbolehkan membawa mobil bersama teman-teman.
2014 adalah tahun dimana saya memiliki banyak kesempatan untuk jalan-jalan!Yes!
2014 saya nekat belajar berenang, berkali-kali tersedak air kolam dan beberapa kali sport jantung karena merasa hampir tenggelam. Yah, at least saya kenalan dengan genangan air.
2014 adalah tahun dimana badminton bisa menjadi rutinitas mingguan.
2014, saya masih ditanyain "Kapan nikah?" ketika lebaran dan sayah masih cengar-cemgir menjawabnya: "Doakan aja, " -sok diplomatis.

Ahh, bagaimanapun setiap tahun akan memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Dan kini 2015 telah tiba di depan mata. Saya yakin, 2015 menawarkan banyak hal luar biasa seperti banyaknya libur-long weekend, yang berarti adalah liburan, yang berarti adalah bekerja lebih keras untuk menggalang dana liburan! haha. Dan di tahun 2015, saya berharap agenda terselubung saya berjalan lancar!

Last, but not least. Saya akan berusaha lebih giat lagi menulis di sini. Karena banyak hal terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Bagi saya, diri saya yang sekarang adalah sekumpulan masa lalu, yang dilengkapi oleh segala konspirasi masa sekarang, sembari menyusun dan menunggu tangan takdir di masa mendatang, Melupakan masa lalu? better to keep and learn from it ;)

Selamat datang 2015!