Rabu, 14 Januari 2015

Bicara Tentang Kematian

Terkadang kita lupa, bahwa dunia adalah fana. Kehidupan berjalan bersisian dengan kematian. Begitu juga dengan hari baik dan hari buruk, bagi saya sejatinya keduanya adalah sisi mata uang. Tergantung dari mana kita melihat. Keduanya ada, bersama, bukan saling menggantikan.

Saya nggak yakin lho sebenarnya mau nulis apa, ha!Tapi kan beberapa hari yang lalu saya berjanji akan kembali aktif blogging, menulis. Dan topiknya pun apa saja, terserah, nggak perlu berat, ringan-ringan kapas lah

Ohya, apakah saya sudah bercerita kalau saya sedang ikut les berenang? Tentu saja belum, wong blognya saja baru diupdate minggu lalu. (monolog)

Biarkan saya bercerita ya kalau begitu. Sudah lebih dari setengah tahun rasanya saya les berenang. Wuih, gaya ya, sudah jago dong sekarang, 6 bulan gitu? Sayang sekali, belum. Dan Maret semakin dekat, deg-degan nggak sih? saya nggak mau melewatkan pemandangan bawah lautnya 3 gili nanti, atau terpaksa 'nggandul' mas-mas tukang kapal, dan nggak punya foto underwater

Lupakan sebentar tentang foto underwater.

Sore tadi, sebelum 'berenang mandiri', (sebutan imon atas acara berenang sendiri karena pelatihnya tidak bisa hadir-red) saya mampir takziah ke rumah Bu Rina. Bu Rina inilah yang melatih kami berenang, dan sekarang sedang mendapat ujian dari Allah. Suaminya baru saja dipanggil Allah, dalam keadaan sehat. Meskipun dalam keadaan sehat, sebelumnya suami beliau memang sempat di rawat di Rumah Sakit karena penyakit diabetes. Tapi terlepas sakit atau tidak penyebabnya, bukankah kematian memang selalu datang tanpa memberi aba-aba? 

Mengapa kematian seolah olah menjadi hantu yang menakutkan bagi manusia hidup? bukankah setiap yang bernyawa akan merasakan mati? Tapi mengapa manusia diberikan insting untuk bertahan hidup? untuk berlari, menyelamatkan diri dari kematian?

Ah, saya bicara seolah-olah saya sudah siap mati. Apalah saya ini, setitik debu di alam semesta, yang bahkan untuk bangun di sepertiga malam terakhir pun enggan. Yang doa harian saja terpatah-patah luput dari hafalan. Yang mengaji saja, dengungnya kurang lama. Yang berenang di kolam satu meter saja takut tenggelam. Kontras, saya juga takut mati. 

Barusan, ibu saya mendapat telepon kalau om saya mengalami kecelakaan. Ibu panik di telepon, saya panik tapi tidak tahu harus ngapain. Saya ditinggalkan di rumah dan akhirnya membuka blog dan menulis, setelah lega mendapat kabar om saya baik-baik saja. Tadi, saya sholat isya' dengan pikiran ngglambyar kemana-mana, mengkhawatirkan kemungkinan terburuk. Alhamdulillah, situasi masih aman terkendali, om saya sehat, sesak dan muntah tetapi masih harus diobservasi lebih lanjut, khawatir luka dalam.

Lalu saya menyadari, kematian begitu dekat. Hidup berjalan beriringan dengan mati, mereka hanya menunggu kapan gilirannya tiba untuk bertukar shift. Keduanya siaga, saling menahan diri. 

Saya tentu saja tidak tahu kapan akan mendapatkan giliran. Takut mati? untuk sekarang, ya. Masih takut mati, jawabannya klise tapi tidak mengada-ada. Apa yang bisa saya bawa untuk perjalanan panjang menghadap Tuhan nantinya? Rapor hasil ujian kehidupan, hasil yang ditulis malaikat, ketahuan nanti kalau saya masih sering melamunkan hal remeh temeh macam: "Kapan gue ketemu jodoh?" bapak saya bahkan paranoia saya kenapa-napa sebelum sempat menikah lantas keluarga kami harus menghadapi kepunahan. Pupus, lenyap dari muka bumi.

Tapi bagaimanapun caranya, kita tidak bisa lari. Kematian bukan hanya urusan meninggalkan dunia. Tapi kematian meninggalkan jejak dalam orang-orang yang pernah berinteraksi dengan almarhum/almarhumah. Kisah manusia di alam dunia terputus dengan satu kata: Mati. Tapi ada tiga kata yang hidup selamanya: Amal, doa (anak shaleh/sholihah), dan Ilmu. Lalu seberapa banyak yang telah kita punya? 

Pertanyaan ini menohok ulu hati saya. 
Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar