Rabu, 03 Juni 2020

Vaksinasi di Tengah Wabah Corona, Perlukah?

Masih di tengah suasana PSBB, adanya Covid-19 membuat ada berbagai perubahan kebijakan di sana sini. Semenjak diterapkan social distancing dan lockdown, jadwal rutin Posyandu kami tentu ikut berubah. Setelah sempat ditiadakan, kini Posyandu diadakan di Puskesmas Botania. Artinya, akan ada antrian panjang yang melelahkan.

Awal bulan kemarin adalah kali ke dua saya menyambangi Puskesmas Botania untuk mengantarkan Ruby imunisasi. Setelah sebelumnya salah jadwal, kali ini saya datang terlambat. Hampir saja saya tidak mendapatkan antrian, rupanya antrian dibuka sejak pukul 08.00 pagi sedangkan saya baru datang pukul 10.00 WIB. Namun katanya rezeki tak kemana, Ruby mendapatkan nomor 120 dari 125 antrian yang dibuka. 

Imunisasi di tengah pandemi seperti ini mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Para petugas yang memakai APD lengkap, antrian panjang mengular di tengah cuaca terik, penerapan social distancing yang tentu saja tidak maksimal, dan saya yang menunggu kurang lebih satu setengah jam sembari menggendong Ruby yang meskipun bersimbah keringat tetap terlelap. Hari itu saya mengerjar 3 buah jatah imunisasi, Dpt 3, hib dan entah satunya terlupa. 

Karena tidak membawa ponsel saya jadi memiliki banyak waktu untuk mengamati sekeliling. Petugas-petugas yang kegerahan di balik APD, bayi-bayi yang rentan tanpa masker, petugas formulir yang mulai lelah meladeni pertanyaan-pertanyaan, juga petugas yang lelah berteriak agar para orang tua menerapkan aturan jaga jarak. Pasti hari-hari seperti ini akan menjadi masa yang meskipun sulit akan selalu dikenang. 

Angin sepoi-sepoi mengibarkan jilbab saya di tengah cuaca terik. Sambil sesekali menjaga jarak dari orang-orang yang berlalu lalang saya mencoba merekam momen yang semoga hanya terjadi sekali seumur hidup tersebut. Beberapa orang masih terlihat mengabaikan aturan jaga jarak, memakai masker juga bersentuhan. Bahkan salah seorang petugas posyandu masih dengan santainya memegang-megang ruby tanpa menggunakan hand sanitizer terlebih dahulu. Saya sudah ketar ketir dibuatnya. Ah, memang tak akan ada pernah yang ideal dalam realita masyarakat kita. Lalu, apakah harus kita datang dengan segala resiko untuk mendapatkan suntikan imunisasi?

Jawabannya adalah Perlu.

IDAI sudah menerangkan dalam pernyataannya terkait penyelanggaraan imunisasi di akhir masa tanggap darurat bahwa tidak ada lagi penundaan imunisasi bagi bayi dan anak yang berusia sangat muda, bahkan jika perlu diadakan program kejar imunisasi agar nantinya tidak menimbulkan munculnya kembali wabah penyakit akibat terbengkalainya imunisasi.

Bisa dibayangkan kan, misalnya kita melewatkan DPT (difteri, pertussis, tetanus), Hepatitis, polio yang seharusnya bisa dicegah tapi dikarenakan adanya penundaam imunisasi malah akhirnya muncul kasus terkait penyakit tersebut? Jadi seharusnya jangan sampai meninggalkan imunisasi meskipun di masa pandemi. Maka demi melengkapi imunisasi kami rela harus berpanas panas dan menerjang resiko besar bergabung bersama ratusan orang yang entah apa statusnya itu di Puskesmas.

Saya bergegas mendatangi tempat imunisasi di seberang tempat pendataan ketika antrian sudah melewati angka 100. Mendekap Ruby erat-erat di tengah antrian yang hampir tidak menyisakan celah. Usai mendapatkan dua suntikan di paha kanan dan kiri juga satu buah obat tetes (tanpa tangisan, wow!) , saya bergegas menuju parkiran tempat Abi dan Atha menunggu. Saya ingin cepat-cepat pulang, kembali ke rumah yang setidaknya menjadi tempat teraman.