Minggu, 08 Desember 2019

Menjadi Ibu Bahagia


Menjadi ibu tentunya merupakan sebuah hal luar biasa yang bisa jadi diidamkan oleh semua perempuan. Menjadi ibu juga dirasa oleh sebagian orang sebagai amanah, peran yang diberikan oleh Sang Kuasa untuk menjaga amanah berupa anak-anak. Bagi sebagian lagi menjadi ibu merupakan beban mental yang konon menguras tenaga. Lalu ibu yang manakah saya?

Bisa dibilang jika ditanya semua ibu apakah bahagia menjalani perannya pasti semua akan mengangguk setuju. Tetapi berapa persen bahagianya? Mungkin itu berbeda cerita. Saya sendiri saat ini sedang terus belajar untuk menjadi ibu yang bahagia. Kenapa sih penting sekali berbelit-belit berbicara tentang ibu yang bahagia? Karena perasaan bahagia ibu itu menjadi kunci, konon seorang ibu yang bahagia akan mampu membesarkan anak-anak yang bahagia.

Pernahkah kita sekali lagi berpikir: "Bahagia nggak sih saya menjalankan peran ini?" 
Bukan apa-apa, peran menjadi ibu ini sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan peran individu kita sebagai istri juga sebagai pribadi. Kita ingin dong menjadi ibu yang bahagia, dan saya yakin para ibu semua ingin menjadi yang terbaik bagi dirinya, komunitasnya, juga anak-anaknya. Nah masalahnya, terkadang sulit bagi kita untuk menjadi bahagia karena tuntutan peran yang tidak hanya satu. Di satu sisi kita menikmati membersamai si kecil dalam bereksplorasi, tapi disisi lain kita juga harus melakukan tugas harian mengurus rumah dan anggota keluarga lain (baca: suami). Lalu gimana caranya biar kita bosa tetap waras dan bahagia ditengah luar biasanya tugas pengasuhan dan domestik sehari-hari?

Jawabannya adalah dengan memiliki waktu untuk diri sendiri alias me time!

Yess..kemarin ketika diklat offline calon pengurus ibu profesional perihal pentingnya me time ini juga menjadi bahasan utama. Bahwa kita sebagai ibu, memerlukan waktu bagi diri kita untuk menjadi sumber kekuatan dalam menjalani aktivitas sepanjang hari. Bentuknya bisa berbeda beda bagi setiap ibu, pun durasinya juga bisa berbeda. Dan penting sekali mengkomunikasikan hal ini kepada pasangan agar ibu bisa mendapatkan me time yang dibutuhkan.

Saya pribadi merasa memerlukan waktu sendiri di pagi hari untuk menyelesaikan target amalan yaumiyah, dan kalau bisa beberes sebelum semua atau Atha bangun. Kalau tidak rasanya semua serba terburu-buru dan tidak selesai, akibatnya saya jadi grusa grusu dan sumbu pendek ke Atha. Kalau me time secara khusus, belum terpikir sih bentuknya seperti apa. Tapi terkadang saya melek di malam hari untuk menonton satu drama korea, atau membaca buku 15 menit di pagi hari. Yang paling sering, beberapa waktu terakhir justru saya menikmati momen beres-beres rumah ketika sedang sendiri karena pak suami berbaik hati mengajak Atha keliling sebentar agar anaknya nggak cranky, emaknya juga happy.

Sejauh ini, menjadi ibu bahagia merupakan hal yang susah-susah gampang untuk dilakukan apalagi dengan kehadiran anak kedua. Bisa dibilang saya belum sepenuhnya bisa beradaptasi dan lebih selow dalam urusan rumah, dan berujung pada turun drastisnya level kesabaran dalam menghadapi Atha. Selalu, setelah konflik dengan Atha terjadi saya kembali tersadar bahwa yang harusnya mengerti itu bukan Atha tapi saya. Saya selalu ingin semua beres, dan seringkali beranggapan Atha menjadi batu ganjalan agar semua to do list saya selesai seluruhnya. Semakin jauhlah saya dari definisi ibu bahagia. 

Lalu seberapa bahagia saya saat ini?

Mungkin 60-70%? Entahlah. Dalam hati saya bertekad untuk bisa menjalankan seluruh peran yang saya ambil dengan bahagia. Apalagi kondisi saya sekarang bisa dibilang jauh lebih baik daripada ketika awal kelahiran Atha dulu. Pada masa kelahiran Ruby kali ini saya merasa suami lebih suportif, saya sudah memiliki teman-teman online dan offline yang bisa diajak berdiskusi atau sekedar bercerita. 

Saya masih terus berusaha untuk menjadi ibu bahagia agar bisa membesarkan anak-anak yang bahagia. Dengan memaafkan diri saya sendiri ketika membuat kesalahan, dan berjanji untuk menjadi lebih baik setiap waktu.
Saya berusaha menjadi ibu bahagia dengan mengakui bahwa saya tidak bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna.
Saya berusaha menjadi ibu yang bahagia dengan menutup mata sejenak dari mainan dan buku-buku yang berserakan.
Saya berusaha menjadi ibu yang bahagia dengan menerima bahwa segala sesuatu akan ada waktunya.
Maka saya belajar menerima diri saya dalam kondisi saya sekarang, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan sekarang.

Semua orang berhak bahagia, seorang ibu juga berhak bahagia. Maka saya akan berusaha menjadi ibu bahagia. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar