Minggu, 19 Februari 2012

SUPERTRIP 2012

Lagi-lagi deadline menjadi spirit booster tersendiri bagi saya. Deadline menjadi tersangka utama atas segala hal yang terhari malam itu dan keesokan harinya. Perjalanan ini panjang, melelahkan sekaligus menyenangkan...

Batas pengumuman nilai semakin dekat, PRS berarti sudah di depan mata pula. KP menjadi satu-satunya gunung es yang selama ini dianggap seolah-olah tidak ada. Namun tanpa adanya nilai resmi mata kuliah ini, cerita cinTA saya tidak akan pernah dimulai. Maka, berangkatlah kami mengadu nasib kembali ke Yogya dan Klaten demi secarik tanda tangan pembimbing.

Persiapan perjalanan ini tidak banyak, fokus ada pada tiga buah laporan dan tentu saja pocket camera. Selepas isya' saya dan Niken yang akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini segera berangkat menuju Kiara Condong. Kami tidak terlambat,menurut waktu yang tertera kira-kira kereta baru akan berangkat setengah jam lagi. Sambil melalui pemeriksaan, Niken bertanya kepada petugas di mana jalur kereta Kahuripan yang akan kami tumpangi.
"Itu mbak, sudah stand by," jawab Sang petugas mantap.
Kami bergegas menghampiri gerbong yang berada di jalur 5, mencari gerbong dan mengambil tempat duduk. Masih belum yakin, kami kembali bertanya pada seorang mas-mas petugas yang sedang menawarkan makan malam, "Ini Kahuripan kan Mas?" tanya saya, sambil memasang ekspresi tidak serius dia duduk di sebelah niken dan menjawab dengan nada seperti bercand,"ini Kuthojoyo mbak,"
melihat gelagat yang tidak bisa dipercaya, kami tidak ambil pusing, sepertinya mas-mas ini bercanda gumam kami sambil berpandangan.

10 menit..15 menit..kereta tidak juga berangkat. Kami berdua masih larut dalam obrolan ringan ketika sayup-sayup mendengar nama Kahuripan disebut akan segera berangkat setelah sebuah kereta baru saja merapat di stasiun. Kami juga bersiap, sebentar lagi berangkat batin kami. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan, beberapa saat kemudian kereta memang berangkat. Tapi bukan kereta kami, melainkan kereta di jalur sebelah!
Deggggg!
kami berdua pias seketika. Niken mulai tidak yakin, sayapun demikian. Yang lebih mengejutkan rupanya ada yang memiliki tiket dengan nomor tempat duduk yang sama dengan kami. Kami semakin mengkerut, fix ini mah, SALAH KERETA!

Kami berdua panik-panik lempeng, tapi rupanya kepanikan kami sempat tertangkap oleh seorang penumpang di sebelah. Olehnya kami disarankan untuk jujur saja pada petugas dan menumpang di gerbong makan. Ide bagus, meskipun begitu gami masih ragu. Kemungkinan terburuk adalah diturunkan, yang berarti gagal menuju Yogya, gagal menuju tempat KP, gagal mendapat tanda tangan, gagal mengumpulkan laporan tepat waktu dan artinya..gagal TA. Kami sempat berdiskusi lamaaa..sekali sampai akhirnya memutuskan untuk menuju gerbong makan dan menghubungi petugas.

Hampir di depan gerbong makan kami bertemu petugas yang mengecek tiket. Sok tenang kami mengulurkan tiket yang jelas-jelas sudah hangus. Petugas sempat menyuruh saya turun dan menuju kantor entah apa namanya untuk memperoleh penanganan. Tapi Niken berhasil membuat petugas mengizinkan kami ikut di gerbong makan. Alhamdulillah Ya Allah...lega sekali mendengarnya. Setelah berterima kasih kami segera menuju gerbong makan, sekilas..sempat terdengar ucapan petugas yang membuat saya banyak bersyukur atas perlindungan Allah, "Kalau bukan perempuan, pasti sudah diturunkan,"

Insiden tentang kereta bukan hal pertama yang saya alami bersama Niken. Dulu kami juga pernah tertinggal kereta di Gambir karena tertahan hujan selepas berkeliling di INACRAFT. Menginap semalaman di stasiun kereta adalah satu-satunya pilihan yang kami miliki, tentu saja ditemani nyamuk-nyamuk Jakarta yang tidak memberi kami kesempatan untuk tidur nyenyak.

Kembali ke Kuthojoyo, di gerbong makan kami mendapat tempat yang lumayan. Tapi bagian paling memalukannya adalah di gerbong itu juga kami menjadi bahan tertawaan para pegawai. Si mas-mas yang tadi kami tanyai sepertinya puas sekali menyindir setiap lewat, "Salah sendiri, dibilangin nggak percaya,"
Nasib, batin kami. Untunglah, Kuthojoyo hanya berhenti satu stasiun lebih dulu daripada stasiun Tugu. Begitu sampai Kutoharjo, kami berkemas dan bergegas mengejar Prameks-KRL mnuju Yogyakarta. Si mas-mas yang tadi masih dengan isengnya berseru "Kapan-kapan bareng Kuthojoyo lagi ya mbaaak!". Kami berdua hanya mempercepat langkah sambil menahan malu.

Stasiun Tugu.
Masih sama seperti beberapa minggu yang lalu, Yogyakarta juga masih sama mempesonanya. Masih jam tujuh waktu kami meninggalkan stasiun. Jalanan Malioboro yang biasanya macet masih lengang, padahal selama di Jogja sekali-kalinya lewat Malioboro sepi adalah hampir pukul 00.00, tengah malam. Kami menyusuri jalanan sambil sesekali mengambil foto. Ke Yogya itu berarti liburan, gurau kami miris. Pernah dua bulan singgah di kota ini membuat saya sedikit banyak hafal jalanan, tapi bukan rute transjogja. Kami kembali menuruti kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Aku bertanya jurusan menuju Tirtodipuran, dekat Pojok Benteng Kulon. Tiga orang mas-mas dengan mantap menyebut 2A kepada kami. Bahkan, begitu ada 2A yang tidak lama datang kami segera dibukakan pintu dan dipersilakan masuk.

Shelter Malioboro I di dekat Stasiun Tugu
Transjogja lagi, di jalanan ini. Batin saya sambil sedikit bernostalgia. Saya hampir hafal di luar kepala jalan-jalan tikus dari Yogya menuju Bantul. Banyak hal yang saya alami di kota ini. Kota Pelajar yang dulu pernah saya cita-citakan, kuliah di Yogya, begitulah wacananya. Meskipun berakhir di Bandung, rupanya Allah masih memberikan saya kesempatan untuk merasakan tinggal di Yogyakarta Hadiningrat, kota seniman yang penuh dengan kebudayaan. Sudah hampir tiga puluh menit saya di Transjogja, hmm..sedikit aneh. Harusnya lima shelter saja kami sudah sampai. Tapi ini sudah lebih dari lima shelter, arah lajunya juga semakin ke selatan. Mungkin, mengambil jalan berputar, batin saya menghalau kekhawatiran.

Satu jam.
Transjogja sudah semakin ke utara menyusuri jalanan di dekat Kridosono. Ini aneh! kami berada di arah ayng sangat berlawanan dari tujuan. Bantul itu di ujung selatan, dan Kridosono ini hampir di ujung utara. Kami berdua mulai panik, padahal kami harus mengejar waktu  untuk melanjutkan perjalanan ke Klaten, memburu jam 11 siang sesuai janji. Akhirnya saya bertanya kepada petugas dan mendapatkan jawaban yang membuat terduduk lemas. Rupanya kami salah armada, harusnya kami menumpang jurusan 3A Bukan 2A! 

Kami segera turun dan menunggu 3A di shelter Condong Catur. Kami berdua sudah tidak habis pikir, sebenarnya apa sih yang terjadi?? dua kali berturut-turut. Setelah yang paling fatal salah kereta, kini kami salah transjogja. Padahal kami bukannya sok tahu, tapi bertanya kepada petugas yang seharusnya mengerti lebih baik daripada kami. Satu jam kemudian kami kembali menuju pojok benteng barat. Saya yang hanya sekali menggunakan angkutan umum selama di Jogja-Bantul bingung sendiri mau naik apa menuju Tirtodipuran. Akhirnya saya memutuskan untuk naik bus. Ternyata jaraknya cuma 5 menit, kami hanya tertawa tawa menyadari kebodohan saya. Di bawah terik siang Yogyakarta kami memacu langkah. Memotong dua bentang jalan di tengah-tengah dehidrasi dan kelaparan. Maklum, sejak semalam perut kami belum diisi lagi.

Perjalanan kami yang sok-sok an seperti turis rupanya sangat menguras tenaga. Kami sampai di Tirtodipuran dengan bersimbah peluh dan perut kelaparan. Setelah beristirahat hampir 15 menit akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Klaten, tempat Niken mengadu nasib demi TA.

Klaten.
Sekitar satu jam setelah bus bertolak dari terminal Giwangan Yogyakarta akhirnya kami tiba di Klaten. Di sini, kejutan lain sudah menunggu. Sawah menghampar di sepanjang jalan menuju Wisanka-tempat KP Niken. Berbeda sekali dengan Tirtodipuran yang kecil di tengah kota dan losmen para turis asing. Wisanka sekaligus bengkelnya ada di satu lokasi, besar membentang jauh hingga di ujung. Panas semakin menyengat. Kami bergegas masuk dan membanting tubuh di kursi setelah mengucap salam pada dua orang baik lain yang muncul di cerita ini.

Wisanka, di pinggiran areal persawahan 
Makan, kami butuh makan segera. Mbak Citra dan Mas Ragil segera memboyong kami untuk makan siang. Akhirnyaa..saya bertemu nasi! benar-benar lapar rasanya. Ketika saya bilang porsi makan di Klaten itu kecil, mbak Citra dan Mas Ragil cuma senyum-senyum aja melihat saya yang notabene sudah menghabiskan sepiring nasi dan sepiring cap jay.

Selepas dhuhur dan beristirahat, rupanya masih ada kejutan lain hari ini. Pak Yos, pembimbing KP Niken rupanya tidak bisa datang dari Jakarta. Niken mulai panik, solusinya laporan harus dikirimkan setelah mendapat tanda tangan dari orang yang mewakili Pak Yos. Satu jam selanjutnya kami sibuk mencari dan menelepon agen-agen pengiriman paket dan ekspedisi. 

Setelah deal urusan paket dokumen, kami segera bertolak kembali ke Yogya. Tiket kami memang berangkat dari Yogya lagi. Hari ini sepertinya waktu kami hanya habis di atas bus dan kereta, tapi memejamkan mata barang satu dua jam saja belum. Kami lelah luar biasa sebenarnya, tapi perjalanan ini terlalu seru untuk dilewatkan. Hampir satu setengah jam kemudian kami sampai Giwangan. Tentu saja kami langsung mengarah kembali ke Tirtodipuran untuk mengambil laporan saya yang juga tertahan karena Pak Widi, kepala produksi yang harus bertanda tangan belum di tempat. Ketar-ketir juga melihat jam yang semakin dekat jam lima. Sebentar lagi berarti kantor juga tutup.

Untungnya mbak Haryati, tokoh lain yang super baik masih dengan sabar menunggu. Setelah tiga copy dokumen berada di tangan, kami kembali bertolak menuju shelter transjogja bersama mbak Har. Tujuan selanjutnya adalah Raminten, salah satu rumah makan yang cukup terkenal di Yogyakarta. 

Krisdosono (lagi).
Tepatnya kami berhenti di depan SMP 5. Berjalan sebentar menuju  Kotabaru, akhirnya kami sampai juga. Saya bergegas memesan makanan, nasi dengan pepes tuna dan segelas besar es teller menjadi pilihan saya. Es teler nya super manis dan super banyak! saya hampir tidak mampu menghabiskannya. Sambil ngobrol ngalor ngidul dan meluruskan kaki kami menghabiskan waktu. Kereta kami masih satu setengah jam lagi. Tapi kami mengalami trauma mendalam mengenai ketinggalan kereta setelah insiden terakhir. Datang lebih awal adalah pilihan terbaik. Sambil menunggu kami menjamak sholat dan meluruskan tulang punggung yang sudah sejak kemarin belum juga direbahkan.

Raminten, Kotabaru
Kereta datang lebih cepat dari jadwal. Niken masih di kamar mandi, saya agak khawatir takut tertinggal kereta lagi. Begitu Niken keluar kami bergegas menuju kereta, memastikan kami naik kereta yang benar lalu mengambil tempat duduk. Kami agak shock juga melihat tempat duduk yang anjlok sebelah.,joknya kempes. Ini memang kereta ekonomi, 35 ribu sampai Bandung..tapi seharusnya nggak begini juga kali,  batin saya dalam hati. 

Naik kereta ekonomi bukan hal baru bagi kami berdua. Meskipun tidak sering, tapi sudah cukup terbiasa lah dengan situasinya. Malam ini kami benar-benar lelah dan berharap bisa tertidur nyenyak setelah seharian penuh naik turun bus feat berjalan kaki. Setelah semalam suntuk berganti posisi, berpindah tempat, terantuk meja akhirnya kami sempat terpejam barang dua atau tiga jam. Alhamdulillah..fajar telah terbit, tampak dari jendela. Kereta sudah mendekati Jawa Barat.

Kiara Condong.
Dengan ransel di belakang dan langkah yang setengah diseret kami tiba hampir pukul 7.30 di Kiara Condong. Bergegas menuju jalan dan mencari angkot serta berdoa dalam hati agar tidak salah angkot. Waktu seperti berjalan lambat, angkot ini bejalan pelan, saya sudah resah dan berkali kali menanyakan jam pada Niken. Sudah hampir setengah delapan, jam 9 nanti saya harus ke kampus padahal.

Pukul 08.00 akhirnya kami sampai di dapur kosan. Niken merebus air untuk teh sementara saya berlari ke atas menyambar handuk. Hari ini luar biasa sekali, perjalanan melelahkan dua hari kemarin adalah satu hal yang tidak akan terlupakan. Kembali masuk kamar sekitar jam sembilan malam, saya membanting tubuh di kasur dan mengucap doa sebelum tidur.

Satu hal yang saya rasakan selama perjalanan ini, cinta Allah pada saya, dan cara-Nya membuat saya mengucapkan syukur. Banyak nikmat kecil yang terkadang tidak disadari oleh kenyamanan yang melenakan kita. Allah menjaga kami berdua dengan caranya sendiri, menguji kesabaran kami atas prasangka baik pada-Nya. Bersama dengan berbagai masa sulit, sebuah pertolongan kecil sekalipun rupanya sangat..sangat berarti. Perjalanan ke Yogya saya kali ini dipenuhi hal-hal luar biasa, benar-benar luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar