Selasa, 03 Maret 2020

Menjelajah Yogyakarta: Wisata Jalanan hingga Warisan Budaya Dunia


Tulisan ini saya temukan di draft, ditulis sekitar akhir tahun 2014. Akan ada beberapa tulisan lama ataupun tulisan pelengkap yang akan saya post karena ternyata ada beberapa tulisan yang belum selesai. Rasanya mungkin seperti akan menjelajah lorong waktu, kembali pada cerita-cerita masa lalu.

Untuk kedua sahabat perjalanan yang selalu asik untuk diajak jalan.

Jadi ceritanya kami bertiga (saya, Niken, Imon) sedang senang-senangnya menyetir. Saya pribadi bahkan rela menjadi sopir ke mana-mana bahkan hanya sekedar mengeluarkan atau memasukkan mobil bapak.  Sejak awal tahun saya memang kembali mencoba lebih intens berada di balik kemudi. Setelah lama sekali tidak mengemudi, satu dua kali tentu saja masih belum lancar. Tapi alhamdulillah, setelah beberapa bulan akhirnya sudah diizinkan mengemudi, bahkan minggu lalu hingga ke Yogyakarta.

Perjalanan Yogyakarta ini sebenarnya cukup melenceng dari rencana. Awalnya kami bertiga ingin melihat pertunjukan sendratari Ramayana yang digelar di kawasan wisata Candi Prambanan. Karena jadwal pementasannya malam hari, akhirnya kami memutuskan perjalanan menginap. Pikir kami toh perjalanan jauh, tidak mungkin juga tengah malam kami akan pulang ke Madiun.

Akhirnya setelah mengalami perdebatan tanggal yang alot akhirnya kami sepakat memilih sebuah tanggal. Yang ternyata pada tanggal tersebut kami kehabisan tiket sendratari, juga penginapan yang sama sekali tidak bisa dipesan. Rupanya waktu itu bertepatan dengan minggu pertama liburan sekolah, dan tentu saja kami sama sekali tidak concern akan hal itu.

Tapi rencana harus tetap berjalan. Kami berangkat juga ke Yogyakarta pagi-pagi sekali dari Madiun. Alhamdulillah tidak ada hambatan berarti di perjalanan. Hanya saja jalanan memang agak ramai, sehingga waktu tempuh menjadi lebih panjang. Kami tiba di Yogyakarta hampir pukul 12 siang. Untung saja kami juga segera menemukan penginapan. 

Perjalanan dilanjutkan ke Tamansari. Kolam pemandian ini konon dulu digunakan oleh para gadis-gadis yang disukai oleh Raja. Di salah satu sisi kolam terdapat sebuah bangunan menyerupai menara intai yang tidak terlalu tinggi. Dari situlah nantinya Sang Raja menunjuk targetnya.

Tamansari dikelilingi oleh perumahan padat penduduk. Entah bagaimana dulu ceritanya tapi perumahan ini seperti berada di dalam area Tamansari. Ketika berkeliling kita serasa berjalan-jalan di depan pelataran rumah penduduk. Memanfaatkan posisi tersebut, banyak juga warga yang menjual pernak-pernik dari kerajinan, kain batik hingga lukisan di beranda rumahnya. 

Agak jauh di sisi yang lain, ada sebuah jalur seperti lorong yang menghubungkan Tamansari dengan sisa reruntuhan bangunan yang tampak seperti benteng. Sayang sekali, saya lupa mencatat namanya. Reruntuhan ini selain ramai oleh pengunjung, juga ramai dengan anak-anak dari lingkungan sekitar yang bermain bola. 

Perjalanan kami menjelajahi Tamansari terhenti karena hari yang semakin sore. Kami melanjutkan perjalanan untuk mengisi perut dan menuju ke tujuan selanjutnya: Malioboro!

***
Malioboro di musim liburan memang tidak pernah sepi pengunjung. Disisi kanan dan kiri jalan, pejalan kaki menyemut menikmati malam dengan berbelanja atau sekedar melihat-lihat. Kami bertiga menyusuri jalanan untuk sekedar mencari wedang ronde. Di depan pasar Beringharjo kami menemukan gerobak ronde yang tidak terlalu ramai. Segera kami memesan, dan menikmati semangkok wedang ronde sembari menatapi jalanan malioboro yang ramai bukan main. Setelah tandas, kami menyempatkan diri menikmati festival tarian di taman benteng Vredeburg. Belum sampai tuntas, mata saya sudah berat minta diistirahatkan. Apalagi saya mendapat jatah menyetir malam itu, jadilah sebelum semakin ngantuk akhirnya kami memutuskan kembali ke penginapan.
(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar