Hari keenam, perihal makan sendiri ini masih juga bisa meyulut pertengkaran di antara saya dan Atha. Hari ini, sudah jam 11 saya keluar kamar dan mendapati Atha belum juga sarapan.
Saya mulai terpantik, ada bibit emosi.
Sepiring menu sarapan pagi sudah berada di atas meja makan. Saya kembali menyampaikan bahwa Atha makan sendiri, umi juga sarapan. Kita makan sama-sama karena umi sudah lapar sekali. Drama pun di mulai..
Atha menolak makan sendiri. Saya menjawab datar, Atha makan sendiri, Atha sudah bisa. Tetapi Atha bersikeras minta disuapin, satu suap umi satu suap Atha. Saya masih kukuh tidak mau menyuapkan makanan. Tetapi, sembari menolak..ancaman keluar dari mulut saya.
Kalau nggak makan sendiri nggak usah pergi main, ucap saya.
Saya mengabaikan rengekannya, dan 'memaksa' Atha dengan gesture, ekspresi, bahkan intonasi. Berhasil sih, pada akhirnya Atha makan sendiri. Tapi sambil menangis, kesel, marah. Sayapun heran dengan diri saya tadi pagi, kenapa saya harus memaksa?
Lagi-lagi saya hanya berorientasi pada hasil, sehingga mencederai proses. Saya melupakan bahwa proses itulah yang penting, yang akan melekat dalam ingatannya hingga nanti.
Ah, besok harus memperbaiki kembali peta tujuan dan strategi eksekusi.
(Tidak ada gambar, lupa ambil gambar karena sedanh marah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar