Rasa bosan mulai merayapi pikiran saya. Malam masih gelap, jalanan tanah masih becek. Sesekali keheningan terusik oleh langkah kaki rombongan lain yang seperti kami, berharap berjumpa matahari di puncak. Dan kami masih belum juga menemukan pos 4, sunrise camp. Boro-boro nge-camp, jam sudah menunjukkan hampir jam 3 pagi sedangkan tanjakan ini seperti tidak akan pernah usai.
Dari kesemua track yang sudah dilewati, memang track setelah pos 3 ini yang paling sulit. Tanjakan semakin tinggi, jalanan semakin sempit, gelap malam membuat jalan serasa tidak berujung. Saya berusaha tidak memikirkan kapan sampai, pun kaki saya sudah mulai terasa gempornya. Tiba-tiba saja, jalanan berubah menjadi seperti undakan. Seperti ada bambu yang disusun untuk menahan tanah. Jalanan yang semula dikelilingi pepohonan perlahan mulai menampakkan landscape kota Wonosobo di bawah dengan kerlip lampu di kejauhan. Rombongan lain semakin berdekatan satu sama lain. Tapi tentu saja ritme langkah kami sama-sama lambat. Rombongan semakin sering berhenti untuk sekedar menyambung nafas. Dari kejauhan kami mendengar keramaian.
Bayangan tentang sunrise camp yang sudah dekat rupanya hanya praduga yang tak berdasar. Undakan demi undakan kami lewati dengan menyeret langkah. Rijal beberapa kali terdengar mempertanyakan apakah benar ini sudah dekat dengan sunrise camp. Tiba tiba saja, di bawah kilatan lampu senter saya menemukan sebentuk familiar berkilat diterpa temaram lampu. Gilig, basah, dan menjijikkan: cacing tanah! Ewwwwurghh, saya sudah menahan teriakan dan berusaha kalem agar tidak berlari atau loncat kemanapun. Yang saya takutkan terjadi, Niken hanya berkomentar dengan datar: "kamu pikir dari tadi nggak ada cacing?"
Perjalanan berlanjut, perlahan medan menjadi semakin datar. Kami sejenak berhenti dan mengedarkan pandangan. Rupanya sudah sampai di Sunrise Camp! Beberapa meter dari tempat kami berdiri, puluhan atau bahkan ratusan tenda warna-warni berjajar tak beraturan. Riuh rendah suara para pendaki yang masih terjaga bergema dari kejauhan. Rasanya saya ingin segera berlari dan menemukan tempat untuk rebahan sembari menunggu matahari terbit! Tapi ya menurut ngana..kami melintasi lokasi pendirian tenda yang katanya di malam akhir pekan seperti ini itu dipenuhi oleh sekitar 3000 pendaki. Tidak heran jika dalam tulisan yang saya temui tentang Gunung Prau, sering disebut seperti pasar malam. Berjalan melewati tali, dan pasak yang hanya menyisakan jalanan setapak. Kami menuju sebuah tanah yang terlihat lapang yang bersih dari tenda.
Lokasi yang kami tuju ini rupanya memang spot untuk melihat sunrise. Disini para pendaki tidak diperbolehkan untuk menggelar ponco atau mendirikan tenda. Akhirnya saya bersama Imon dan Niken duduk di bawah semacam tugu sembari menanti subuh. Dingin udara pagi pegunungan membuat sekujur tubuh menggigil. Untung saja tidak lama, adzan subuh berkumandang. Kami bergegas melakukan sholat subuh secara berjamaah dan bergantian. Ini kali kedua, saya mendirikan sholat subuh di tanah terjal pegunungan. Suara Imon bergetar melantunkan surat pendek, dari kejauhan, terdengar suara imam jamaah yang lain membaca surat pendek dengan lantang dan indah. Ah, Subhanallah, Allahu Akbar. Saya terharu, 2565 mdpl yang apalah jika dibandingkan Mahameru. Tapi tetap saja, konon, di puncak gunung yang lebih dekat pada langit seseorang akan lebih bisa merasakan Kebesaran Tuhan. Disinilah saya pagi ini, dengan kaus dan celana bersimbah tanah, menyungkur sujud. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar