Hujan.
Musim yang paling kusukai sekaligus kubenci. Tahu kenapa? karena hujan akan selalu mengingatkanku kepadamu. Malam ini Bandung kembali diguyur hujan, deras sekali. Seperti saat terakhir kali aku bertemu denganmu tahun lalu. Aku selalu suka hujan sekaligus membencinya. Aku selalu suka ketika lelehannya membasahi setiap inci tubuhku ketika aku menangis menggigil, menyamarkan setiap kepingan hatiku yang ikut luruh jatuh menghantam tanah. Aku benci karena hujan selalu datang bersamaan ketika hatiku hancur.
Tahun lalu, Oktober juga kita sempat bertemu. Kau terdiam lama terpekur menatap tanah, mendiamkanku yang menatap penuh tanya. "Maafkan aku," katamu. Kata pertama yang terbata kau ucapkan sejak pukul tiga kita bertemu. Aku masih menatapmu dengan penuh tanda tanya, saat itu kurasa akan terjadi sesuatu yang salah. Benar saja, sepuluh menit kemudian semuanya selesai. Mengakhiri setahun penuh penantianku dalam percakapan-percakapan tengah malam kita, rindu-rindu yang terdiam di udara, dan tentunya cerita-cerita sejak tiga tahun lalu, sebelum kau memutuskan mengejar mimpimu di ibukota. Tahukah kau satu yang kusesali, harusnya saat itu aku bilang saja, aku cemburu pada ibu kota, nyatanya kini ia benar-benar merenggutmu. Tahukah kau? untuk pertemuan kita sore itu, aku mematut lama di depan kaca. Lima kali mengganti baju, lima kali pula mengganti kerudung. Aku menduga-duga, pasti ada yang istimewa hingga kau mengajakku bertemu di taman kota di hari Sabtu. Bukan long weekend, saat itu aku menduga pasti kau sangat merindukanku. Aku bahkan disangka gila karena beberapa kali terpergok tersenyum simpul sendiri di dalam angkot tanpa lawan bicara, tapi siapa peduli? aku akan segera bertemu lagi denganmu.
Benar saja. Rupanya benar ada yang istimewa sore itu. Selain hujan pertama sepanjang tahun mengakhiri kemarau panjang, ada yang lain yang juga turut berakhir. Aku, kamu dan empat tahun pertemuan kita juga turut berakhir bersama dengan hujan pertama di bulan Oktober.
"Kenapa.."
Hanya satu kata yang waktu itu bisa keluar dari bibirku yang bergetar, kerongkonganku seketika terasa kering, mataku berkedut menahan air mata yang semenit kemudian tumpah ruah tanpa suara.
"Kurasa, aku tidak bisa lagi membendung jarak di antara kita..." ucapmu pelan masih tanpa menatapku.
Aku begitu heran dan tidak mengerti, jarak Bandung-Jakarta hanya sepelemparan batu. Dan ya, harusnya aku mulai menyadari berapa kali kau rela menyempatkan datang menemuiku dalam jarak sepelemparan batu itu. Yang nyatanya seingatku bahkan lebih sedikit dari berapa kali aku mengganti bajuku untuk menemuimu sore ini. Aku bahkan tidak sempat berpikir untuk menuntut penjelasan lebih darimu. Aku terlalu sibuk berkata pada diriku jangan menangis sekarang, tidak ketika kau masih di depanku. Dan saat itupun aku gagal menahan tangisku yang pecah tepat ketika kau menatap mataku untuk pertama kalinya sore itu.
Kita tidak pernah menyelesaikan pembicaraan yang seharusnya akan menjadi panjang. Hujan mengakhirinya lebih cepat dari yang kubayangkan, atau mungkin juga yang kau bayangkan. Rintik yang perlahan menjadi deras seperti menjadi jeritan peluit yang menandakan waktu kita telah habis. Aku bahkan tidak ingat apa yang kuteriakkan untuk mengusirmu dari hadapanku. Sepertinya aku sempat memintamu untuk tidak pernah kembali menemuiku. Dan kau menepatinya hingga hari ini, setahun lebih dua puluh hari. Aku menghintungnya? ya, tentu saja. Hujan memberiku cukup waktu untuk berdiam dan menghitung berapa lama aku menangisi dan mengutukimu.
Hujan berangsur mereda. Berarti sudah hampir habis waktuku mengingatmu malam ini. Untung saja hujan di sini tidak pernah lama. Sejenak deras sejenak reda, setidaknya hujan masih berbaik hati untuk tidak lebih lama lagi memaksaku mengingat dirimu. Bersama titik hujan terakhir malam ini, aku menghitung hari. Membiarkanmu benar-benar pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar