Kamis, 23 April 2015

Bukan Travelogue: Pink Beach dan Senja di Bukit Mandalika (2)

Perjalanan berlanjut setengah tergesa. Rencananya sore ini kami akan mengejar matahari terbenam dari sekitar wilayah Pantai Batu Payung. Obrolan cukup berat mengenai regulasi migas di tanah air membuat saya mati kutu. Ah, kali ini saya hanya akan membuang pandangan ke jalanan yang rupanya sudah dekat dengan pantai.

Terik matahari sore segera menyambut kami sesampainya di Pantai Batu Payung. Pasir putih dengan butiran hampir sebesar merica menggelitik kaki dan memperberat langkah. Ombak cukup besar mengayun-ngayun kapal yang akan membawa kami ke lokasi Batu Payung. Adalah Anton, kapten kapal yang akan membawa kami menuju pulau di tepian Samudera Hindia sana. Dan kisah ini akan diwarnai oleh sekilas cerita tentang Anton.

Anton meneriaki kami agar menyingsingkan celana dan melepas alas kaki. Kontur pasir memang menyulitkan kami untuk bergerak. Dengan sigap Anton menaikkan sandal-sandal, meminta kami segera naik ke kapal lalu melepas sauh. Anton mengambil alih kendali, ayahnya tampak mengurus permesinan di belakang. Bersama kakak perempuannya, Anton duduk di ujung buritan kapal, mengambil posisi santai memandang lautan lepas. Mungkin saja hal ini sudah ratusan kali dilakukannya, menyeberangkan wisatawan untuk melancong. Dan saya berfikir, anak-anak macam Anton ini apakah memiliki kehidupan lain? Pertanyaan saya semakin memudar diterpa angin bercampur air. Kapal meloncat-loncat mengarungi gelombang menuju pulau yang dipenuhi batuan raksasa.

Sekitar 15 menit kemudian Anton memberikan tanda pada ayahnya untuk mematikan mesin. Kami memang sudah sampai di sebuah pulau yang dipenuhi dengan tebing batu berukuran besar-besar. Kapal tidak bisa berhenti di tepian karena koral-koral di perairan dangkal. Kami terpaksa nyemplung ke perairan dengan baju bersih yang baru saja di ganti-nggak rela banget rasanya- berjalan berjingkat meniti batuan. Semua kerepotan itu terbayar lunas sejak dari tepi, berbagai macam hewan dan rumput laut beraneka warna begitu memanjakan mata. Batu dengan ukuran besar-besar kami lewati sepanjang perjalanan menuju letak batu payung yang ternyata adalah batu yang menjulang tinggi yang bayangannya bisa menjadi tempat berlindung, seperti payung. Tapi memang eksotis banget sih, kami berasusmsi mungkin saja dulunya batu ini adalah serupa tebing yang akhirnya terkikis ombak. Terlepas dari itu semua yang paling ajaib adalah, ada penjual es kelapa muda di tengah pulau batu yang harus dijangkau dengan perahu. 

Anton memberi kode pada temannya untuk menyiapkan kami beberapa butir kelapa muda. Rasanya sungguh bagai oase di siang yang terik dan silau. Kami bertujuh memang sudah mulai lelah dengan agenda selam menyelam sepagi tadi. Setelah puas berfoto dan menghabiskan air kelapa, akhirnya Anton membawa kami kembali ke daratan untuk melanjutkan perjalanan untuk mengejar matahari tenggelam..
***
Perjalanan diteruskan setelah perdebatan mengenai dari mana seharusnya kami menyaksikan matahari tenggelam. Ada dua pilihan spot, Bukit Mandalika yang hanya sekitar beberapa kilo dari Batu Payung atau satu lagi saya lupa apa namanya yang masih agak jauh lagi baik berkendaranya atau berjalan kakinya. Tentu saja kami semua memilih opsi Bukit Mandalika yang tidak perlu ada acara jalan kaki sekitar dua kilometernya -_-, capek hidup kami kaka..

Tanpa ada bayangan setinggi apa bukit ini, saya mengayun langkah dengan malas. Menapaki tanjakan yang puncaknya sudah hampir dipenuhi oleh bule-bule yang sedang hore-hore. Hari itu para penganut agama Hindu memang sedang melaksanakan ibadah Nyepi, jadi para bule dari Bali sepertinya banyak juga yang ngungsi ke Lombok.

Rupanya bukit Mandalika ini tidak seterjal dan setinggi yang saya bayangkan, ya saya bayanginnya mendaki Ijen sih ;p, lumayan lah..kami menemukan spot yang cukup longgar. Hari masih sore, dari kejauhan garis pantai terlihat berkilap seperti minyak. Sebenarnya dari sini kami tidak akan bisa melihat matahari benar-benar tenggelam karena di depan kami masih terdapat beberapa lapis bukit yang berderet. Meskipun begitu pemandangan ini tetap saja luar biasa indah. Kami duduk berjajar membentuk dua shaf dan mengisi waktu dengan kegiatan masing-masing. Imon, Niken dan Supri di barisan terdepan asyik berbincang, Jojo sibuk mengambil foto, dan saya awalnya asyik bengong. Entah siapa yang memulai, obrolan tentang matahari tenggelam mulai bergulir. Ohya, Fajar sudah mengajak kami untuk turun, padahal matahari belum benar-benar menghilang. Padahal saya ingin sekali menunggu hingga langit berubah gelap. Rupanya tidak hanya saya, Ocha juga demikian. Well, kami ingin melewatkan senja di puncak bukit ini, bukit Mandalika. 

Bagi saya pribadi senja selalu memberikan perasaan sentimentil. Kalau kata Ocha, perasaan sendu. Kalau kata saya, bertemu dengan senja seperti mengucapkan perpisahan pada kawan lama, sedih tapi ya mau bagaimana lagi. Lalu Jojo mengingatkan kembali sebuah kalimat dari Spongebob tentang senja: 

"Mengapa harus ada matahari tenggelam di hari yang cerah?"

Ya, kenapa. Bisik saya dalam hati.

"Karena akan ada malam penuh bintang yang tidak kalah indah",

itu katamu Ko, Jojo mengingatkan.

Ah, ya, benar. Memang benar, kalimat ini menggambarkan dengan baik, apa yang tidak akan pernah terucap di antara kami masing-masing. Dan kami pun akhirnya menuruni bukit Mandalika, tepat ketika matahari senja beranjak turun ke peraduan untuk mempersilakan langit ditemani bintang-bintang. 
Anton, tampak cool di atas buritan kapal
Yah, ketauan di foto langsung pose >.<
Batu Payung
Kapan lagi minum kelapa muda di tengah samudera?
Batu-batu besar nan cantik di sepanjang pulau
Menyaksikan matahari beranjak tenggelam dari bukit Mandalika

*Foto by Jojo, Piko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar