Minggu, 14 Juli 2013

Menikah dan Pernikahan

Tulisan ini ditulis beberapa bulan yang lalu. Di tengah hari, di meja kerja diantara berbagai kewajiban yang harus diselesaikan

Wots, jangan keburu ngakak dulu dan mengatai saya galau. Ini adalah bahasan sok serius dari orang yang juga sok serius di usianya yang ke-23. Tapi tunggu, sudah saatnya memikirkan tentang menikah dan pernikahan sekarang. Karena tentu saja, menikah dan pernikahan membutuhkan persiapan yang matang. Menikah dan pernikahan bukan hanya urusan cinta atau tidak cinta semata. Bukankah menikahi seseorang berati menikahi seluruh keluarganya? jadi ketika langit bergetar oleh ikrar penyerahan tanggung jawab dari seorang ayah kepada seorang suami, tidaklah disangsikan seberapa sakral prosesi menikah dan sebuah pernikahan.

Jika menyimak berbagai referensi mengenai ilmu tentang menikah dan pernikahan yang sekarang sedang sangat eksis beredar di pasaran, tentu saya akan segera tahu betapa menyenangkan menikah katanya. Tapi tidak sedikit pula yang menggarisbawahi, bahwa kebahagiaan menikah dan pernikahan pun tidak lepas dari berbagai persyaratan. Kalau orang bilang, artinya menikah bukan semata-mata punya teman curhat 24 jam, supir pribadi juga pengawal pribadi, tapi pernikahan juga memiliki konsekuensi.

Bagi lajang yang sudah terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri, menikah berarti memiliki helper pribadi. Dadah deh sama urusan ke bengkel sendirian, ganti lampu mati sendirian, juga jadi kuli sendirian, what a wonderful life banget sepertinya. Tapi apakah siap, saya, yang selama ini sangat tangguh, fleksibel mau kemana pulang jam berapa sama siapa, mau ngapain, mau makan apa nggak makan, mau sakit apa nggak sakit dan segala yang dilabeli dengan "itu urusan gue" harus berbagi waktu dan pikiran, rela atau tidak rela. Kehidupan pribadi harus siap ditempatkan diurutan kesekian. Tidak akan mudah bagi saya. Tapi itulah menikah dan begitu cara kerja pernikahan. Berbagi.

Dan terlepas dari urusan berat atau tidak beratnya menikah dan sebuah pernikahan, bagi saya kedua hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Sebuah sunnah rasul yang nilainya mampu menggenapkan separuh agama. Karenanya, bagi saya menikah bukan hanya urusan hati tapi juga urusan logika, perhitungan, juga masa depan dunia-akhirat. Pernikahan adalah sebuah pakta kesepakatan, "yuk kita ke surga bareng-bareng", dengan cara yang diusahakan dan dipersiapkan dari masing-masing individu untuk dicapai bersama. Jadi bukankah kalau begitu menikah dan membangun pernikahan memerlukan bekal? tentu saja!
Jadi doakan saja setelah Anda bertanya kepada saya "Kapan menikah?", agar bekal yang harus dipersiapkan segera cukup. Cukup pantas dan sepadan dengan kualitas seorang imam berprospek melahirkan generasi andalan. Karena jodoh tidak dituliskan atas nama siapa dengan siapa, melainkan kualitas versus kualitas. Jadi, mari menjemput jodoh terbaik dengan menjadi pribadi terbaik, bismillah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar