Oke, baiklah. Saya mendompleng sedikit dari jam kerja untuk membuat tulisan ini. Maafkan saya pak kepala RND, tapi kalaupun tidak,sepertinya selama lima belas menit ke depan saya masih belum juga membuka file riset saya. *nyengir.
Titik Nol milik Agustinus Wibowo tergeletak di meja kerja. Belum ada separuh perjalanan hingga lembar terakhir. Dan ini juga bukan lapak yang seharusnya saya gunakan untuk mengoceh panjang lebar tentang sebuah buku ataupun penulisnya. Tapi saya tidak tahan untuk tidak berkomentar secara subjektif, sebagai pembaca yang tersentil bukannya sebagai tukang resensi. Dan yang saya tuliskan ini yakinlah bukan rangkuman ataupun spoiler buku yang membuat Anda semua kecewa, tapi hanya sekelumit pertanyaan-pertanyaan dan perasaan-perasaan yang muncul begitu tiba-tiba.
Dua puluh tiga tahun. Belum ada sebuah perjalanan besar yang pernah saya lakukan. Iri? tentu saja. Tapi saya belum leleah menghibur diri bahwa semua orang telah memiliki jatah cerita masing-masing. Tapi ada satu kesamaan: Makna. Apakah makna yang telah ditemukan ataukah yang sedang dicari?
"Gue lagi ngapain dan mau ngapain?"
Beberapa orang terdekat saya begitu gemar sekali menimba ilmu. Lulus sarjana, mengambil pendidikan pasca sarjana. Lalu menyambung lagi dengan pasca pasca sarjana alias doktoral. Bahkan yang lebih luar biasa, ada juga yang menempuh pascasarjana-nya dua kali sebelum mengambil program doktoral. Ya Saudara-saudara, dua kali mengerjakan thesis. Itu berita buruknya.
Oh, sudah mulai terasa penuh emosi dan bau-bau curahan perasaan yang menggelora ya?
Bagaimanalah. Saya masih seringkali goyah dengan apa yang saya pilih. Apa yang mau saya lakukan, untuk apa yang telah saya lakukan, bagaimana melakukannya. Pusing? Ya..ya..saya mengerti. Mungkin kalau Carl Jung tanpa sengaja menemukan link tulisan ini di direktori Google, pasti saya akan dikatai belum beraktualisasi diri. Tapi nyatanya, percaya tidak percaya, saya memang..labil.
Catatan perjalanan Agustinus Wibowo kembali menusuk-nusuk dan mengoyak bungkusan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam entah dimana, yang sekali dua kali muncul selama satu jam perjalanan Tamansari-Ujung Berung yang penuh dengan kentut bus-bus kota yang dengan tidak sopannya tetap merayap perlahan. Apa sih yang saya kejar? apa yang saya ingin temukan dengan segala ketidaknyamanan ini? kebimbangan antara "mending gue stay di jalur profesi, kerja sampai mabok, " atau "Gue pengen lanjutin sekolah gue, sampai muka gue kaya laporan," atau "Mending gue nikah aja dan semuanya, selesai."
Ups, yang terakhir jangan di perpanjang.
Saya kehilangan banyak sekali quality time. Berjibaku dengan rutinitas dan segala hal yang belakangan disebut dengan pekerjaan. Bukan hanya di kantor, tapi juga di kamar kosan. Pekerjaan saya tidak ada habisnya. Lha kenapa masih mau dikerjain?
Jangan tanya. Saya rasa semua orang memerlukan pekerjaan untuk mempertahankan eksistensi. Minimal untuk menjawab pertanyaan adik kelas yang tidak sengaja berpapasan di jalan depan kampus. Lantas pekerjaan ekstra? upaya jadi entrepreneur kecil-kecilan ini, anggap saja tabungan. Lantas dimanakah bingungnya? bukankah semuanya sudah terjawab? Nah lo..
Manusia. Saya ini manusia biasa. Tapi rasanya porsi berpikir saya sedikit tidak biasa. Saya sering capai sendiri meladeni pikiran-pikiran yang melantur meminta jawaban. Tentang buat apa saya hidup di dunia? Apa peran besar yang bisa diambil? Apakan benar jalan ini yang akan saya tempuh kedepannya? Untuk siapa semua keterkekangan, perasaan terbebani yang kadang silih berganti dengan syukur yang buncah, keamanan, dan keterjaminan? Slot kosong yang kadang terisi oleh makna selintas, "saya ada untuk ini". Saya kehilangan makna. Makna yang sampai detik ketika menuliskan ini menghilangkan faktor manusia dengan Penciptanya. Menghilangkan variabel makhluk dan Tuhannya. Yang rupanya begitu rumit dan menyakitkan. Yang tidak terpikirkan dan tidak akan sampai jika dicari-cari dengan logika. Kepercayaan pada Tuhan yang memegang peta, rute kendali akan kemana hidup saya ini menjadi satu-satunya tali pegangan yang membuat saya bertahan untuk tetap waras. Entah apa jadinya jika Tuhan pun ikut berlalu pergi, bisa gila? bahkan sepertinya saya akan langsung tiada.
Bagian terbaik dari semua ini adalah saya masih bisa percaya, akan ada banyak hal yang tidak terduga. Yang tidak selalu sesuai estimasi, yang kadang tidak bisa dikalkulasi apakah akan terjadi atau tidak. Yang menjadi satu-satunya harapan ketika sepertinya sama sekali tidak ada harapan. Semoga Tuhan tidak lelah menahkodai kapal kehidupan saya. Selalu menggiring sesuai peta yang entah seperti apa, melalui jalur mana. Masalah tujuan akhir, sepertinya Tuhan masih membuka kesempatan untuk nego. Tentang akna hidup, yang ini juga Tuhan..masih bisa di nego bukan? Beri saya waktu untuk terus bisa berbincang dengan-Mu ;)
Suntuk kerjo yo ko..?? hahahaa sabar2...
BalasHapus